Kata Bijak;

“Setiap manusia mempunyai kekuatan sejarah yang menyingkapkan masa lalunya. Sejarah telah mendudukkan kembali dalam ukuran yang lebih berat dan kokoh bagi yang bersangkutan dan beribu-ribu rahasia dari masa lalu terbit kembali dari lubuk yang tersembunyi dari cahaya matanya. Masih tidak ada sahabat yang tidak mengerti arti mimpi yang akan menjelma menjadi kenyataan sejarah satu saat nanti, karena terkadang masa lalu masih belum semua nampak. Banyak kekuatan yang agaknya belum kita ketahui”



-Friedrich Nietzsche

Selasa, 20 Desember 2011

Strategi Pembangunan Politik

Perumusan metodelogi dalam ilmu ilmu sosial secara sadar biasanya tertinggal sedikit di belakang peristiwa-peristiwa nyata dalam kehidupan. Masalah timbul, barulah usaha untuk mengatsainya menyusul. Perumusan kembali teori dasar dalam studi bidang ilmu apapun agaknya mencerminkan kecenderungan yang terjadi sebelumnya dalam kehidupan nyata, teori menyusul kehidupan nyata. Proses mengejar ini memiliki cirri-ciri dramatis, semacam Umwalzung der Wissenschaft yang telah dianalisa oleh Thomas Kuhn dalam the structure of scientific revolutions. Penekanan pada masalah-masalah atau teori lama ditinggalkan, perumusan baru diciptakan dan system baru mulai diadakan.
Dengan demikian, proses perubahan sosial yang lamban pun akan menjadi bahan-bahan perbedaan pendapat serta rekontruksi teoritis yang dramatis. Sebab penekanan dan perubahan sering terjadi tetapi kurang dramatis dalam ilmu sosial dibandingkan dalam ilmu alamiah tentunya adalah bahwa dalam ilmu sosial persyaratan ketat teoritis tidaklah dipertahankan. Karena itu dalam ilmu sosial makin jarang orang mengikat diri pada salah satu paradigm, dan pilihan-pilihan yang terbuka makin banyak, meskipun demikian, drama perubahan konsepsional sering menutupi batas-batas inkrementalisme dalam kehidupan nyata.
Kesatuan dan universalitas tekanan untuk pembangunan inilah yang menyebabkan orang memandang dunia terbagi ke dalam dua kategori masyarakat, yang sudah membangun dan yang kurang membangun (develop dan lessdevelop). Universalitas inilah bersama dengan penyebutan dalam ketegori yang merupakan unsur baru serta merupakan keterlibatan emosional yang dihadapi para pemimpin dunia berkembang, sehingga ini tidaklah berarti bahwa karena para pelakunya memandang masalah itu demikian maka kitapun harus memandangnya demikian pula dalam usaha menganalisa cara-cara menghadapi tekanan itu. Pengertian pembangunan, sebagaimana telah berkembang, membawa sertya beberapa implikasi itu dapat disimpulkan ke dalam empat bagian:
a. Seperangkat prioritas definisi tentang arti pembangunan sebagai proses dan pandangan mengenai keadaan sudah berkembang dan terbelakang
b. Seperangkat nilai-nilai yang menjadikan pembangunan sebagai sesuatu yang ingin atau harus dicapai
c. Hubungan timbal balik antara masyarakat sudah berkembang dan masyarakat terkebelakang
d. Kesadaran akan adanya hierarki terselubung mengenai pembangunan setidak-tidaknya dalam pikiran yang membuat analisa, kalau tidak dalam pikiran para pelaku

1. Prioritas Definisi
Asal mula dari dasar-dasar pengertian pembangunan adalah dalam arti ekonomi – akibat dari pembedaan antara pertumbuhan. Pertumbuhan dibedakan dari perhatian pada perubahan-perubahan yang mendasar dalam ketegori sosial ekonomi, di antara mana industrialisasi adalh yang paling penting. Analisa-analisa dimasa lampau menyadari pentingnya factor-faktor sosial politik akan tetapi memandangnya sebagai bagian yang terpisah, walaupun berhubungan baik sebagai kondisi-kondisi prasyarat atau sebagi akibat pembangunan politik.
2. Nilai-nilai
Sesungguhnya masalah nilai-nilai dan tujuan-tujuan menjadi persoalan penelitian begitu asumsi teleologis dari model barat ternyata banyak memiliki kekurangan. Dengan adanya ikhtiar untuk memusatkan nilai-nilai dan tujuan-tujuan masyarakat sebagai hal khusus, suatu variable tambahan telah masuk dalam perumusan tentang keadaan modern yang selama ini telah disepakati (yaitu yang mendekati tingkat yang dicapai di sana harus dinilai dari nilai-nilai yang Nampak dari peranan internasional yang telah dipilihnya dan dari segi kepribadian.
3. Hubungan antara dunia maju dan dunia terkebelakang
Terlepas dari masalah-masalah penetrasi imperialism (baik yang nyata maupun yang khayalan) baik teori pembangunan maupun kehidupan nyata selam 20 tahun belakangan ini senantiasa menekankan interdependensi antara keduanya. Selama dunia barat yang industrial dipandang sebagi model yang patut ditiru, model itu dipakai juga sebagai ukuran kesanggupan berprestasi dalam menelaah masyarakat keseluruhan maupun proyek-proyek individual, pembaharuan teknologis, administrasi dan sebagainya. Pandangan mengenai adanya ukuran-ukuran prestasi secara komparatif pada setiap tingkatan adalah pengertian dasar dalm masyarakat industry dan dengan sendirinya melekat pula pada gagasan umum mengenai pembangunan. Setelah gagasan pembangunan yang linier/teleologis mulai pudar, tiadanya pengganti prestasi komparatif yang layak menyebabkan dipertahankannya dunia maju sebagai gambaran umum mengenai tujuan akhir, meskipun tidak lagib sebagai proses terperinci yang patut ditiru. Gambaran ini berubah0-ubah menurut pandangan yang bertentangan mengenai hakikat pembangunan.
Dibawah ini adalah variasi pokok yang dapat kita jumpai dalam kepustakaan:
a. Pandangan yang makin redup, yang memandang dunia barat sebagai proses industrialisasi yang tak terelakkkan dan/atau sebagai percontohan (teleologis linier)
b. Pembedaan konsepsional antara maju dan terkebelakang (modern dan non-modern) tanpa teleology linier. Kristalisasi dan spesifikasi dari pembangunam dan terkebelakang sebagai dua jenis kategori analisa yang berbeda sering dijumpai dalam kepustakaan Amerika.
c. Sejumlah analisa yang berkisar pada imperialism sebagai konsep sentral, yang memandang dunia ketiga sebagi tempat pertarungan baru dari perjuangan kelas masyarakat industry. Dikemukakan pula disini revolusi dunia ketiga melawan dunia pertama kadang-kadang melawan dunia kedua sebagai factor baru dalam revolusi proletar. Pendekatan ini mencerminkan pembagian antara ideology kapitalis dan anti kapitalis dalam menganalisa masyarakart industry yang kapitalis.
d. Perumusdan baru sejarah sosial politik barat sebagai rangkaian krisis atau tahap yang harus dilalui guna mancapai keadaan modern. Variasi dari fungsionalisme ini banyak menggunakan skala waktu. Beberapa masa tenang antara krisis-krisis dipandang sangat esensial, sedangkan urutan munculnya krisis-krisis itupun penting diketahui.
e. Akhirnya, penolakan model dan dan sejarah dunia maju sekarang sebagai hanya secara sedikiti saja relevan dengan keadaan dunia ketiga sekarang dalam artian teori umum pembangunan, sekalipun kedua dunia tetap erat berhubungan melalui interaksi, pertukaran, pengaruh dan juga pengendalian empiris.
4. Urutan dan hierarki pembangunan
Perspektif teleologis lama dan usaha mencari indikator-indikator pembangunan menimbulkan banyak latihan akademis sekitar urutan dan herarki pembangunan

Beberapa Persyaratan Teori Baru Tentang Pembangunan
ada baiknya disusun kembali kerangka konsepsional yang dapat dengan lebih jitu menganalisa data secara lebih tepat. Boleh jadi jalan terbaik unutuk memperinci hambatan-hambatan ialah untuk mendaftarkan sejumlah bidang permsalahan yang selama ini terlantar atau kurang ditelaah secara teliti
1. Dunia yang berkait-kaitan
Bagaimana menggeser pengertian mengenai suatu keadaan dari gambaran-gambaran model dan abstrkasi-abstraksi historis yang lahir akibat adanya apa yang dinamakan Negara maju apa yang disebut Negara-negara terkebelakang kea rah pengertian kait-mengaitnya kedua jennies dunia tadi, baik persamaan maupun perbedaannya. Kait-mengaitnya masyarakat dan kelompok masyarakat adalah terutama suatu kenyataan empiris, yang kemudian terbagi menjadi beberapa bidang konsep
2. Stabilitas dan kegoncangan
Masalah lain adalah obsesi kita dengan pengutamaan stabilitas sebagai prasyarat mutlak bagi pembangunan. Implikasi dari asumsi yang tertanam dalam pemikiran kita ini sangatlah penting, sebab implikasi tadi membuat kita menganggap penting hal-hal yang sebenarnya kurang penting.
3. Penduduk
Kesulitan dalam menggunakan kategori analisa sosial politik tradisional dan dalam menyesuaikan pengetahuan pada perkembangan-perkembangan dunia sekarang, membuat ikhtiar mancari factor-faktor baru lebih mendesak lagi. Kita sering mendengar bahwa sekarang tentang ledakan penduduk dan beberapa hal lagi mengenai strategi demografis, agraris serta ekonomi yang harus ditempuh dalam usaha mengelakkan malapetaka. Tetapi kita buta semua konsekuensi sosial politik dari ledakan penduduk tersebut.
4. Jenis bangsa
Salah satu masalah amat penting dalam studi mengenai proses – khususnya proses seperti pembinaan bangsa, mobilisasi dan integrasi – adalah bentuk dari identifikasi diri sendiri kolektif yang mana yang hendak digunakan. Beberapa penemuan dan hasil penelitian menunjukan bahwa jenis bangsalah (setidak-tidaknya dalam jangka waktu panjang) yang perlu diperhatikan.


KESIMPULAN
Dalam menekankan bidang permasalahan serta kesulitan yang kita jumpai dalam teori-teori pembangunan sekarang, khususnya dalam menunjukkan bahwa kita sekarang memasuki babak akhir dan bukannya landasan tolak dari usaha yang telah dimulai selama sepuluh tahun yang lalu, terlepas dari bahwa mengecilkan sumbangan yang telah ada pada saat sekarang. Gagasan tentang adanya teori pembangunan saja sudah membantu mengatasi masalah sempitnya pandangan yang dilakukan dalam studi mengenai masing-masing masyarakat serta membantu menghubungkan peralatan konsepsional pada dunia yang nyata. Minat terhadap teori pembangunan telah disebabkan baik karena kebutuhan kebijaksanaan organisasi pemerintah dan internasional, maupun karena usaha kaum ilmuwan di Negara yang sedang berkembang yang diseret secara terbuka dan tiba-tiba ke dalam system pergaulan internasional.

Zulfiadi Ahmedy

Jumat, 16 Desember 2011

Renungan; Devitalisasi Militer sebagai kekuatan Politik

Introduksi

Kekuatan politik adalah segala sesuatu yang berperan dan berpengaruh di dalam dunia politik. Kekuatan politik dapat juga dikatakan sebagai segala sesuatu yang terlibat secara aktif dalam kekuatan politik tertentu. Kekuatan politik terbagi menjadi dua, kekuatan politik yang terorganisir dan yang tidak terorganisir. Kumpulan dari orang-orang yang peduli pada isu-isu yang ada, maupun yang berideologi atau persepsi sama kemudian saling mempengaruhi dan berinteraksi satu sama lain, sehingga menghasilkan suatu keputusan bersama.
Kekuatan politik sangat berperan dalam sistem politik Indonesia. Ada banyak kekuatan politik di Indonesia, namun yang benar-benar berpengaruh dan menonjol hanya beberapa saja. Kekuatan-kekuatan politik tersebut adalah TNI atau ABRI, Polri, organisasi cendekiawan, lembaga-lembaga pendidikan (universitas), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Pers, organisasi penelitian, kekuatan politik yang berbasis daerah, kelompok kemasyarakatan yang berbasis pada Agama (NU, Muhammadiyah, dll), buruh dan pekerja, mahasiswa, partai-partai politik, dan masih banyak lagi lainnya. Kekuatan politik Indonesia dapat berupa institusi maupun individu. Contoh kekuatan politik individu yang ada di Indonesia adalah seperti Gus Dur. Meskipun ia tergabung dalam Nahdlatul Ulama (NU), namun ia mempunyai pengaruh tersendiri dalam dinamika politik Indonesia di luar organisasi itu sendiri. Selain itu ia juga merupakan orang yang pernah menjabat sebagai orang nomor satu di Indonesia.
Seorang jurnalis pernah menuliskan hal ini dalam artikelnya, bahwa bila ingin membuat pemerintahan yang utuh, semua kekuatan politik yang ada harus dapat dikuasai atau dimonopoli dengan baik seperti apa yang terjadi pada era Orde Baru pimpinan Soeharto. Setelah 32 tahun lamanya Soeharto menjabat sebagai Presiden RI, rezimnya akhirnya runtuh karena ia kehilangan kuasa atas hal-hal penting yang menjadi penopang pemerintahan pimpinannya. Ketika itu kabinet pemerintahan terpecah belah, DPR menarik dukungannya bahkan sampai memintanya mengundurkan diri, pengusaha-pengusaha swasta yang menjadi penopang modal menjadi tidak tertarik dengan usaha-usaha lokal, bahkan semakin banyak yang menanamkan modal di luar negeri, selain itu militer sedang dihadapkan dengan konflik internal sehingga menjadi terpecah belah. Karena itulah kekuatan-kekuatan politik tersebut harus benar-benar diperhatikan dalam membentuk pemerintahan, bukan berarti harus dimonopoli namun lebih tepat dikatakan harus diselaraskan agar dapat membangun pemerintahan menuju keutuhan dan keselarasan.
Pada karya tulis kali ini, kekuatan politik yang akan dibahas adalah kekuatan politik ABRI atau TNI dalam dinamika politik di Indonesia. ABRI yang kemudian kembali menjadi TNI setelah Polri dipisahkan, merupakan intitusi milter yang tentunya mempunyai pengaruh besar terhadap dinamika politik Indonesia. Melihat sejarah yang ada, anggota militer (purnawirawan) pun bisa menjadi seorang pemimpin negara. Contohnya bisa kita lihat secara jelas yaitu, Presiden RI saat ini, Susilo Bambang Yudhoyono yang merupakan seorang mantan petinggi militer yang berkecimpung di dunia politik.


TNI (ABRI) Sebagai Kekuatan Politik Indonesia

Tentara Nasional Indonesia (TNI) merupakan salah satu kekuatan politik Indonesia yang terbesar dan dapat dikatakan sebagai kekuatan yang berpengaruh besar. Pada awalnya dibentuk dengan nama Badan Keamanan Rakyat (BKR), kemudian bertransformasi menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), lalu diubah lagi menjadi Tentara Keamanan Indonesia (TKI), kemudian diubah lagi menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI), hingga pada bulan November 1958 TNI akhirnya diubah lagi menjadi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). ABRI terbagi lagi dalam Angkatan Darat (AD), Angkatan Laut (AL), Angkatan Udara (AU), dan Kepolisian. Pada dasarnya, meskipun telah melewati perjalanan panjang dalam pembentukannya dan beberapa kali melakukan perubahan nama, kekuatan politik ini dari dulu hingga sekarang bergerak di bidang keamanan dan pertahanan di Indonesia .
Dahulu Jenderal A.H. Nasution mengemukakan gagasan mengenai partisipasi ABRI dalam pemerintahan untuk ikut membina negara tanpa ada niatan untuk memonopoli seluruh kekuasaan. Gagasan ini bertujuan agar ABRI dapat lebih menyatu dengan rakyat dan selalu siap membantu rakyat, tidak hanya mengenai soal keamanan dan pertahanan negara saja tetapi berpartisipasi di setiap permasalahan yang mucul di masyarakat. Gagasan Jenderal A.H. Nasution ini dikenal sebagai konsep ‘Jalan Tengah’ atau Dwifungsi ABRI.
Pada saat ABRI lahir ditengah-tengah kekuatan sosial dan politik yang kurang kuat, kekuatan ABRI sangat diperlukan untuk menutupi cela-cela dalam mengatasi masalah-masalah yang muncul, agar pemerintahan tetap stabil. Pada era Orde Baru pimpinan Soeharto lahirlah konsep ‘Dwi- Sifat dwi-fungsi ABRI bertujuan sebagai institusi formal yang bergerak di bidang pertahanan dan keamanan serta di bidang sosial-politik Indonesia. Fungsi ABRI ini kemudian diperkukuh melalui Undang-Undang. Hal ini tercantum dalam UU No. 16 tahun 1969 tentang Susunan dan Keanggotaan MPR, DPR, dan DPRD serta dicantumkannya fungsi ABRI sebagai ‘alat negara dan kekuatan sosial’, UU No. 20 / 1982, tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertahanan Negara, khususnya pasal 26 dan 28. Kemudian perihal mengenai dwi-fungsi ABRI ini diperkukuh kembali melalui landasan konstitusional dengan mencantumkannya dalam UUD 1945. Tercantum dalam pasal 2 ayat (1) mengenai keanggotaan MPR, pasal 21 mengenai hak DPR mengajukan rancangan Undang-Undang, dan pasal 30 mengenai hak dan kewajiban warga negara dalam usaha membela negara , kemudian Tap MPRS No. II / 1960 semakin menambah leluasa ruang gerak ABRI. Sebagai kelanjutan UU tersebut, dikeluarkan pula UU No. 2 tahun 1988 tentang prajurit ABRI. Dalam UU yang sama, pasal 6, disebutkan secara jelas bahwa ABRI mempunyai peran dwi-fungsi, yaitu sebagai kekuatan pertahanan-keamanan dan sosial-politik.
Sebagai institusi militer, tidak dapat diingkari bahwa ABRI memegang posisi yang sangat berpengaruh pada zaman Orde Baru. Hal ini dikarenakan, pemerintah mendukung sifat dwi-fungsi ABRI sehingga ABRI bisa lebih leluasa bergerak tidak hanya di bidang pertahanan keamanan (hankam), tapi juga bidang sosial-politik terutama setelah diperkukuh melalui berbagai undang-undang. Peran ABRI dalam bidang pertahanan dan keamanan tidak perlu dipertanyakan lagi, dapat dilihat dari sejarah dimana ABRI menjadi salah satu faktor pendukung yang kuat ketika Indonesia memperjuangkan kemerdekaannya sejak dahulu. Ketika itu namanya memang belum menjadi ABRI, namun tetap merupakan institusi yang sama. Fakta lain bahwa ABRI menjalankan fungsi bidang pertahanan dan keamanan adalah ketika pemberontakan PKI dan gerakan-gerakan separatis lainnya di daerah-daerah menjadi reda. ABRI juga membantu Indonesia memperkukuh posisinya di dunia Internasional dengan pengiriman Pasukan Garuda ke barbagai negara untuk membantu menyelesaikan konflik-konflik di negara-negara tersebut.
Pada masa Orde Baru, kekuatan ABRI diberbagai bidang dapat dikatakan dominan, bahkan sampai berperan menjadi co-ruler. Undang-undang mengenai dwi-fungsi ABRI memudahkan para anggotanya untuk lebih leluasa bergerak dalam kehidupan sosial-politik baik dalam pemerintahan atau secara formal, maupun di luar pemerintahan atau secara informal. Selain jumlah anggota ABRI yang bergerak dibidang sosial-politik tergolong banyak, efek atau pengaruh yang dihasilkan juga besar bagi pemerintahan dan masyarakat Indonesia. Besar pengaruhnya dapat dilihat dari kemajuan yang dihasilkan dalam pembangunan. Secara gamblang dapat dikatakan bahwa ABRI ketika itu telah menguasai seluruh aspek-aspek yang ada, baik yang formal maupun informal.
Setelah semuanya berjalan cukup lama, lama-kelamaan sifat dwi-fungsi ABRI ini menjadi suatu doktrin yang menyebar menjadi sifat multi-fungsi ABRI. Semakin lama kegiatan ABRI sebagai institusi militer formal, maupun aktivitas para anggotanya dalam berbagai aspek menjadi semakin meluas. Karena dapat bertindak secara leluasa, apalagi dengan pengukuhan mengenai sifat dwi-fungsi dalam undang-undang, mulai terlihat tindakan-tindakan penyelewengan terutama dari sisi birokrasi kepemerintahan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya divisi-divisi dalam pemerintahan yang dikuasai ABRI mulai dari yang terendah hingga yang teratas. Selain dari sisi politik, dari sisi militer pun ABRI mulai terlihat semena-mena, padahal tujuan utama yang ingin dipenuhi dengan dibentuknya ABRI itu sendiri adalah untuk menjaga pertahanan dan keamanan negara. Namun yang dirasakan masyarakat justru tindak kekerasan terhadap segala bentuk protes atau demonstrasi yang dilakukan berbagai kalangan, selain itu ABRI sering kali menyelesaikan berbagai konflik dengan kekerasan tanpa melakukan pendekatan yang lebih halus terlebih dahulu. Kelamaan masyarakat yang menerima perlakuan seperti itu melihat ABRI hanya sebagai alat kekerasan dan kekuasaan, karena ABRI menghalalkan segala cara agar dapat mempertahankan kekuasaannya. ABRI jadi terlihat sebagai rekan penguasa dibanding institusi militer yang bertujuan untuk menjaga pertahanan dan keamanan negara.
Meskipun demikian, hal ini bukan sepenuhnya menjadi kesalahan ABRI. Pemerintah Orde Baru juga telah banyak membuat ABRI berada di posisi terpojok antara menjalankan kewajiban –atau lebih tepatnya membela majikannya- dibanding berdiri sebagai stabilisator atau pun sebagai dinamisator bagi masyarakat. ABRI, seperti kita ketahui, selama 32 tahun ini telah menjadi alat untuk mempertahankan status quo pemerintahan Soeharto lewat cara militernya. Hal ini lama-kelamaan menjadi sorotan yang cukup tajam di Indonesia. Konflik ABRI, peran dan kekaryaannya yang diimplementasikan lewat doktrin dwi-fungsinya telah membawa pro dan kontra di kalangan masyarakat politik, bahkan masyarakat awam sekalipun, yang kemudian mengakibatkan banyaknya demonstrasi yang bermaksud untuk menumbangkan peran dwifungsi ABRI.
Beberapa pengamat politik mengatakan, sebaiknya ABRI kembali pada posisi semula, yaitu sebagai alat pertahanan negara saja, dengan kata lain meninggalkan peran dwifungsinya. Sedangkan PDI Perjuangan menyatakan bahwa kekuatan politik riil ABRI tetap merupakan suatu hal yang harus diperhitungkan. PDI Perjuangan lebih memilih bersikap realistis dengan mengatakan bahwa perubahan dan penghapusan peran dwifungsi ABRI tidak bisa dilakukan secara mendadak. Alasannya, masyarakat Indonesia sudah sekian lama terbiasa hidup dengan doktrin tersebut, sehingga jika dwifungsi dilepas sama sekali, hal yang mereka takutkan adalah masyarakat awam yang belum matang secara politik akan bertambah bingung.


Menolak kembalinya dwi fungsi ABRI

Wacana Dwi fungsi ABRI harus benar-benar ditolak, tuntutan ini tidak bisa lagi ditawar-tawar, tidak ada lagi garis mundur, karena : pertama, dwiungsi ABRI itulah yang memberi legitimasi kepada para prajurit TNI untuk berpolitik dan menjarah seluruh ruang-ruang kehidupan sipil; kedua: akibat dari dwifungsi itu melahirkan penderitaan dan kesengsaraan bagi rakyat. Seperti pembantaian dalm peristiwa pasca G30 S PKI, Aceh, Tanjung Priok, Lampung, pencaplokan Timor Loro Sae dan Papua Barat, juga korban penculikan, penyiksaan, penghilangan paksa, pemenjaraan tanpa pengadilan, dan perempuan-perempuan korban pemerkosaan yang telah kehilangan kehormatan hidupnya. Dan juga kaum buruh yang yang diupah sangat rendah, petani yang digusur tanahnya dan mereka yang mengalami ancaman terror dan intimidasi. Ketiga: selama dwifungsi ABRI masih bercokol, selama itu pula demokrasi selalu berada di bawah ancaman. Dwifungsi itu ibarat pedang Damocles yang sewaktu-waktu siap memancung leher rezim demokrasi.


REFERENSI

Pontoh, Coen Husain. Menentang Mitos Tentara Rakyat. 2005. Yogyakarta: Resist Book

Samego, Indria. Bila ABRI Menghendaki; Desakan Kuat Reformasi Atas Konsep Dwifungsi ABRI. 1998. Bandung : Mizan

Sundhaussen, Ulf. Politik Militer Indonesia 1945 - 1967. 1986. Jakarta : LP3ES





Zulfiadi Ahmedy

Minggu, 11 Desember 2011

“Jantong Hatee” Rakyat Aceh Kini

“Tekad bulat melahirkan perbuatan nyata, Darussalam menuju pelaksanaan cita-cita”. Demikian goresan emas sarat makna yang kini berdebu dan terukir bisu pada monumen Kopelma Darussalam.
Sungguh merisaukan hati mengamati dinamika kehidupan perguruan tinggi kita sekarang. Betapa tidak, sensasi menyampaikan aspirasi melalui demonstrasi oleh mahasiswa yang seyogyanya dilakukan untuk menyuarakan kepentingan masyarakat, justru berbalik tertuju pada kampusnya sendiri.
Demonstrasi untuk menyuarakan kekecewaannya tidak hanya terjadi di Unsyiah yang notabene adalah “jantong hatee” rakyat Aceh. Isu yang diangkat mulai dari tuntutan dosen agar kembali ke kampus, protes dan pemboikotan kenaikan SPP, menuntut transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan, sampai yang terakhir adalah menolak politisasi kampus.
Lalu, timbul tanda tanya menggelikan. Mahasiswa di daerah lain kapan menyusul? Kita berharap semoga tidak terjadi lagi. Masih banyak cara lain yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan permasalahan. Mulai dengan obrolan ringan non formal, surat kepedulian melalui kotak-kotak saran, surat resmi lembaga mahasiswa, dialog, pengiriman delegasi untuk audiensi atau publikasi melalui media massa untuk sekedar pressure.
Fenomena demonstrasi mahasiswa terhadap elit (penguasa) kampusnya, mengindikasikan cara mencari solusi di atas sudah tidak efektif lagi. Selama masih memiliki itikad baik, maka demonstrasi tidak perlu terjadi. Karena demonstrasi adalah langkah terakhir (last step) dalam menyuarakan aspirasi.
Betapa pengelolaan lembaga pendidikan tinggi kita sedang mengalami komplikasi “penyakit kronis”, transparansi dan akuntabilitas pengelolaan anggaran yang lemah, arogansi elit kampus dalam pengambilan dan pelaksanaan kebijakan, birokrasi pelayanan publik yang tidak professional dan carut-marut, tanggung jawab pengajar yang lemah terhadap tugas, bahkan indikasi politisasi aset dasar peradaban bangsa.
Ironisnya lagi, saat gerakan mahasiswa menuntut perbaikan, direspon dengan sikap anti-kritik (antipati), malah diancam dengan sanksi akademik. Kita bersedih sekaligus tertawa dibuatnya. Diingatkan untuk lebih baik kok marah? Salah besar, jika aksi, kritik dan gagasan konstruktif dicurigai, dianggap ancaman dan harus disingkirkan. Karena upaya pengekangan terhadap aktifitas mahasiswa adalah proses pembodohan dan pembunuhan karakter. Sifat kritis-konstruktif mesti dibangun menjadi karakter intelektual. Seharusnya mereka diarahkan menuju pembangunan karakter (Character Building) tersebut. Tentunya dalam mengasah intelektualitasnya melalui kritik-kritik sosial yang beretika.
Ada beberapa alasan menurut penulis, Pertama terbukanya akses mendapatkan informasi terhadap asset dan anggaran dengan penerapan transparansi dan akuntabilitas pengelolaannya. Semua pihak dimungkinkan untuk mendapatkan informasi, yang bagi pengelola kampus kita di Aceh masih dianggap “teritorial” kekuasaan yang tertutup untuk umum. Akses untuk memperoleh informasi ini secara otomatis berfungsi pengawasan bersama (public controlling¬). Sehingga setiap ada kesalahan (penyimpangan) bisa langsung diperbaiki bersama.
Kedua, terdapat ruang partisipasi untuk para pihak dalam setiap perumusan dan pengambilan kebijakan. Sehingga, setiap kebijakan yang diputuskan bisa mengakomodir hak dan kebutuhan semua pihak. Hal ini akan membentuk dan membangun tanggung jawab bersama dalam implementasi dan pengawasannya. Sekaligus berfungsi sebagai sosialisasi kebijakan.
Ketiga, karakteristik pro kritik dan i’tikad baik dalam menyelesaikan permasalahan. Hemat penulis, setiap ada pemasalahan, upaya penyelesaiannya tidak sampai pada last step penyampaian aspirasi, yaitu demonstrasi mahasiswa terhadap kampusnya sendiri. Sehingga tidak menjadi preseden buruk bagi dinamika demokrasi dalam ranah kampus, “rumahnya” para intelektual.
Selama belum ada partisipasi para pihak dalam perumusan dan pengambilan kebijakan, belum siap menerima kritik serta itikad baik untuk menyelesaikan masalah. Maka kita yakin, masih akan ada demonstrasi selanjutnya di “Jantung hati” masyarakat Aceh atau kampus-kampus daerah lainnya. Dan energi pergerakan masih akan terkuras untuk menuntut perbaikan kampusnya sendiri, yang seyogyanya dipakai untuk menyuarakan kepentingan masyarakat. Setiap tindakan egois individual yang dipraktekkan dalam pengelolaan lembaga pendidikan tinggi adalah proses penghilangan jati diri intelektual dan merupakan proses penghancuran yang sistematis terhadap sebuah peradaban.
Sejatinya, lembaga pendidikan tinggi adalah barometer alam demokrasi yang menjadi teladan bagi lembaga-lembaga lain, khususnya lembaga pemerintahan. Kampus dengan tradisi intelektual yang independen menjadi hilang ruhnya, saat pengelolaannya tidak lagi mencerminkan kehidupan demokrasi yang berbasis akademik, sosial dan spiritual. Lalu, monumen Kopelma Darussalam hanyalah seonggok batu pualam yang makin berdebu dan kehilangan makna.
Dan mari kita berharap untuk dapat merealisasikan goresan emas pada monumen Kopelma Darussalam. Menurut penulis, mengembalikan kejayaan Darussalam tidak mesti mengikuti ambisi untuk menjadi yang paling atas, tapi cukup dengan memperbaiki apa yang selama ini dianggap perlu perbaikan di dalam kampus kita sendiri dengan saling mendengar, menyediakan kebutuhan subtantif dari pengembangan intelektualitas itu sendiri dan yang paling penting adalah mengedepankan ego sosial daripada ego pribadi, maka dengan itu Penulis yakin kita semua dapat mengembalikan kejayaan darussalam bersama-sama, dan kampus “Jantong Hatee” kembali menjadi lembaga intelektual kepercayaan dan patut dibanggakan oleh masyarakat Aceh, semoga..


Zulfiadi Ahmedy
Mahasiswa Ilmu Politik FISIP Unsyiah
(Ketua Umum BEM FISIP Unsyiah)

Senin, 05 Desember 2011

Aceh Dalam Sejarah Pergolakan Politik Indonesia

Aceh memiliki sejarah militansi memerangi orang-orang Portugis di tahun 1520-an dan menantang penjajah Belanda dari 1873 sampai 1913, dan melancarkan perlawanan Islam terhadap Republik Indonesia di tahun 1953. Perlawanan itu, pemberontakan, disebut Darul Islam, bertujuan mendirikan sebuah Republik Islam atas seluruh wilayah Indonesia, hal yang juga menjadi tujuan kelompok-kelompok Islam militan di Jawa Barat dan Sulawesi Selatan.
Pemberontakan ini berakhir 1962, ketika, Pemerintahan Soekarno memberi jaminan bahwa Aceh akan diberi status sebagai sebuah daerah istimewa dengan otonomi luas di bidang agama, hukum adat dan pendidikan. Tetapi, selama bertahun-tahun, janji ini secara umum tidak terpenuhi. Pemberontakan separatis di Aceh dewasa ini dimulai 4 Desember 1976, ketika Muhammad Hasan di Tiro mendeklarasikan kemerdekaan Aceh. Di Tiro dan para pengikut setianya telah terlibat adalam pemberontakan Darul Islam 1953, tetapi kali ini pemberontakan mereka yang diberi nama Gerakan Aceh Merdeka (GAM) secara jelas berniat memisahkan diri dari Republik Indonesia. Tidak lama setelah deklarasi kemerdekaan tersebut, kekuatan bersenjata GAM mulai menyerang pasukan pemerintah, hal yang mengundang kembali operasi penumpasan pemberontakan oleh pemerintah.
Pada tahun 1983, kekuatan GAM sudah dikalahkan di lapangan dan Di Tiro lari keluar negeri. Ia bersama beberapa pengikutnya akhirnya menjadi warganegara Swedia. Dalam sebagian besar dekade 1980-an, GAM menguat lagi, merasionalisasi status politiknya dan memperkuat sayap militer Angkatan Gerakan Aceh Merdeka (AGAM). Dalam periode ini, sebagian dari 400 kader Aceh dilaporkan dikirim ke Libya untuk latihan militer. Tahun 1989, GAM merasa cukup kuat untuk sekali lagi menjajal pemerintah Indonesia, menyerang pasukan pemerintah, warga sipil dan orang-orang yang dicurigai sebagai mata-mata. Pemerintah membalas dengan operasi militer dan tindak penumpasan berskala besar.
Pada tahun 1992, tampak bahwa Pemerintah mengendalikan situasi sepenuhnya. Tetapi, operasi militer yang ditandai dengan pelanggaran hak-hak asasi manusia dalam skala, memicu keberatan publik terhadap Pemerintah di Jakarta. Pelanggaran hak asasi manusia di Aceh menjadi sorotan publik tidak lama setelah Presiden Soeharto melengser dari kekuasaan dalam kerusuhan politik Mei 1998.
Ditekan oleh teriakan publik di seluruh Indonesia atas penganiayaan dan pelanggaran hak asasi manusia di Aceh, Pangab Jenderal Wiranto meminta maaf atas ekses-ekses militer dari 1989 sampai 1998 dan mencabut status Aceh sebagai sebuah daerah operasi militer (DOM), menjanjikan penarikan sejumlah besar tentara dari provinsi itu. Meski demikian, perdamaian tak kunjung datang, karena GAM memanfaatkan demoralisasi militer, melancarkan serangan besar-besaran. Konfrontasi bersenjata dimulai lagi.
Pertengahan 1994, organisasi GAM pecah ketika para pejabat GAM yang berbasis di Kuala Lumpur membelot dari kepemimpinan GAM yang berbasis di Swedia, termasufk Hasan di Tiro. Tampaknya perbedaan utama antara dua faksi GAM ini ialah mengenai bentuk pemerintahan Aceh setelah kemerdekaan.
Di Tiro lebih suka sebuah monarki dengan dirinya sebagai Sultannya, sedangkan kelompok Kuala Lumpur menghendaki sebuah republik Islam modern. Di Tiro yang mengklaim diri sebagai keturunan Sultan Aceh mendapatkan dukungan dari sebagian terbesar kekuatan GAM yang beroperasi di provinsi itu.


Pergolakan Sejarah

Sejarah aceh adalah rangkaian kisah tentang kepahlawanan orang aceh dan kebingungan militer. Keperwiraan orang aceh dalam bertempur memang sulit terbantahkan. Bahkan, hingga pada detik-detik pergolakan aceh pada beberapa tahun yang lalu dan mungkin juga akan terjadi pada masa yang akan datang. Dibanding perang jawa atau lebih dikenal perang diponegoro (1825-1830), sejarah tak pernah mencatat adanya jenderal Belanda yang tewas. Berbeda jauh dengan sejarah perang Aceh, perlawanan rakyat di Aceh menorehkan catatan bahwa empat jenderal belanda pun ikut tewas.
Banyaknya korban itu jelas membuat Belanda putus asa. Catatan-catatan komandan perang belanda di aceh juga menunjukan betapa mereka memuji ketangguhan tentara aceh. Mereka juga menuliskan bahwa keliatan tempur musuhnya itu setaraf dengan pasukan kaisar prancis, napoleon Bonaparte. Pang nanggroe ulama besar yang dihormati oleh orang aceh sebagai orang yang keramat dan kebal senjata. Oleh pasukan marsose di bawah brigade Mosselman, dikenal sebagai ahli penyamaran dan jebakan. Kepiawaian pejuang aceh aceh tak kalah canggih dengan kecerdikan gerilyawan vietkong ketika melawan tentara amerika serikat di akhir decade 1960-an.
Pada beberapa tahun yang lalu, melalui tokoh-tokoh gerakan aceh merdeka, minus Hasan tiro yang memang tak ikut berperang di tanah rencong, kepahlawanan itu mulai bangkit kembali. Suasana revolutif sudah mulai terlihat. Suasana sosiologis aceh pasca DOM (daerah operasi militer) sama seperti keadaan aceh pada 1913 pasca perang aceh (1873-1913) bahwa terdapat luka mendalam yang bersifat kejiwaan. Anthony Reid menggambarkan situasi ini sebagi kehancuran, tekanan jiwa dan sakit mental. Pembantaian keji dan biadap yang dilakukan TNI sebagi representasi kezaliman Negara terhadap orang aceh merupakan modal kemanusiaan yang paling besar artinya bagi bangkitnya sebuah revolusi. Pembantaian pulalah yang menjadikan orang aceh kehilangan kepercayaan kepada Negara, atau pemerintah pusat dalam idiom politik mereka. Keluarga-keluarga di aceh mulai menjadi keluarga gerilya, di manapun kaphe (kafir) atau pa’i ditemukan, maka akan dituikam secara kejam dan membabi buta. Tujuannya hanya satu : untuk mencapau mati syahid yang diidam-idamkanpara pejuang aceh. Dalam bahasa belanda gejala ini disebut atjeh moorden atau istilah asli aceh asli disebut aceh pungo (aceh gila)
Situasi imagined community, meminjam istilah Benedict Anderson , yang dulu sangat dipertahankan aceh, tiba-tiba berubah menjadi situasi yang egois. Rakyat aceh yang paling teretekan selama berdirinya republic indonesia, yang dalam sebutan mereka disebut kaphe Indonesia-jawa. Sebutan ini memperlihatkan betapa tidak compatible-nya alam ideologis orang aceh dengan ornag Indonesia umumnya. Dan dari semua kondisi yang tengah membara ini, aceh adalah lahan tersubur bagi munculnya revolusi islam.
Sikap berani mati yang tumbuh selam perang melawan kaphe (kafir) belanda itulah yang sampai kini terpatri kuat dalam benak rakyat aceh. Dan landasan keagamaan yang paling popular di dalam melakukan perlawanan adalah Al-Quran surat IV ayat 76, “hendaklah mereka yang menjual akhirat dengan penghidupan dunia, berperang pada jalan Allah, karena barang siapa berperang pada jalan Allah lalu terbunuh atau menang, maka kami akan beri kepadanya ganjaran yang besar”.
Maka menjadi sederhanalah pilihan hidup bagi orang-orang aceh: terbunuh atau menang. Situasi inilah yang dihadapi TNI di aceh. Lebih membingungkan lagi, bagi masyarakat aceh, TNI itu sangat kasihan: bergaji rendah, bertugas berat menumpas para mujahidin, dan jika mati nanti malah masuk neraka.
Lebih-lebih, kalau turun gunung ke Gampng-gampong, kisah-kisah tentang kepahlawanan Gerakan Aceh Merdeka begitu mengharukanbirukan. Sementara kisah tentang ketakutan dan terbirit-biritnya TNI begitu sarkastis nya. Kobaran semangat jihad fisabillah akan semakin jelas bila merujuk pada Hikayat Prang Sabi yang biasa didendangkan rakyat aceh yang pada saat itu didendangkan oleh anak-anak muda. Kepahlawanan itulah hingga kini masih tampak kuat pada tentara, sepatu lars, bahkan todongan senjata bukan hal menakutkan.
Dan kebetulan pula, kisah seorang janda yang menikam perwira marsose belanda Schimdt dengan sebilah rencongnya, saat era 1990-an juga terjadi pada diri wanita setengah baya asal Meunasah Blang Gampong Kandang, Aceh Utara. Pada malam pertama seusai penggerebekan markas Ahmad Kandang, ia dengan sangat berani masuk dalam kerumunan tentara yang tengah menjaga rumah sakit umum dan tanpa disangka, secara tiba-tiba dia menikam dua tentara. Rasa takut sepertinya sudah menghilang dari hatinya. Dia sudah tak takut lagi kepada siapapun setelah suaminya dibunuh TNI tanpa alasan yang jelas. Bagi orang aceh pada saat itu, TNI adalah mesin pembunuh yang sedang kebingungan yang tidak dapat lagi membedakan dengan jelas mana Gerakan Aceh MErdeka dan mana yang bukan Gerakan Aceh Merdeka. Minimnya ilmu antropologi bagi TNI telah mengakibatkan kefatalan yang luar biasa dan harus dibayar tunai oleh menuntut ganti nyawa secara tunai setelah serangkaian tuntutan Due Process of Law gagal diakomodasikan oleh pemerintah
Maka pada saat itu, eskalasi persoalan aceh demikian cepat terjadi: mulai dari tuntutan pencabutan DOM, permintaan kedatangan Habibie ke aceh referendum, dan akhirnya tuntutan kemerdekaan bagi aceh sebagai harga mati. Pemerintah pusat terlalu yakin dengan politik tarik ulurnya kepada rakyat aceh yang sudah terlalu kecewa dengan janji-janji palsu yang terlalu sering diumbar.
Menurut Gustave Le Bon , jika keadaaan arus bawah masyarakat sudah direspons oleh elite, maka revolusi akan mudah tersulut. Untuk kasus aceh, proses adanya sebuah revolusi merupakan kejadian yang sangat luar biasa, sangat kasar dan merupakan suatu gerakan yang paling terpadu dari seluruh gerakan-gerakan sosial apa pun
Bila ditinjau dari sudut kajian kajian psikologis sosial, menurut Eisenstandt, revolusi adalah sebuah ungkapan atau permakluman final dari suatu akumulasi pergolakan emosi mendalam yang tidak tertampung dari suatu keinginan otonom yang mampu merengkuh seluruh kapasitas yang dimiliki keorganisasian ataupun ideology dari berupa protes sosial yang dilakukan secara seksama dan cermat. Apalagi, bila dikaitkan dengan kekhususan dari revolusi tersebut, yakni adanya sebuah citra utopis atau pembebasan yang bertitik tolak pada lahirnya symbol-simbol persamaan, kemajuan dan kemerdekaan dengan memusatkan pendangannya bahwa segala tindakan yang diakibatkan bergulirnya sebuah revolusi, maka akan melahirkan suatu tatanan kehidupan sosial baru yang lebih baik.
Begitu pula tentang sebab musabab berbagai peristiwa yang tak hanya bersifat temporer atau frustasi marjinal atau kegelisahan saja. Namun meminjam istilah Theda Skocpol , “revolusi itu pun muncul karena berbagai anomaly (pergeseran) sosial dan ketimpangan yang sangat fundamental. Terutama disebabkan oleh pengaruh pertikaian antar elite perpaduan pergolakan teersebut denag kekuatan sosial, ataupun karena konflik golongan yang berlarut-larut dan menyebar.
Jika nanti sebuah revolusi islam di aceh hadir dengan berbagai latar belakang tersebut di atas, maka yang timbul kemudian adalah adanya berbagai gambaran tentang pengaruh atau akibat dari adanya revolusi.
Pertama, akan muncul suatu perubahan secara kekerasan terhadap rezim politik yang ada, didasari oleh legitimasi maupun symbol-simbolnya sendiri
Kedua, penggantian elite politik dan kelas yang sedang berkuasa dengan lainnya. Kerajaan wali naggroe hasan tiro begitu membayang di pelupuk mata orang aceh
Ketiga, perubahan secara mendasar seluruh bidang kelembagaan utama –terutama dalam hubungan kelas dan system ekonomi- yang menyebabkan modernisasi di segenap aspek kehidupan sosial, pembaruan ekonomi dan indistrialisassi, serta menumbuhkan partisipasi dalam dunia politik. Bayangan tentang gaji 4 juta rupiah per bulan tanpa harus bekerja dan setiap orang dewasa dibagikan satu mobil kijang adalah sebagian dari harapan material orang aceh jika merdeka kelak.
Keempat, pemutusan secara radikal dengan segala hal yang telah lampau (yang dijelaskan oleh Alexis de Toequeville sebagai diskontinuitas yang relative)
Kelima, memberikan ikatan ideologis dan orientasi kebangkitan (millenarian) mengenai gambaran revolusioner. Hal ini mengandaikan bahwa revolusi tidak hanya membawa transformasi kelembagaan dan system moral yang akan melahirkan manusia baru. Dibuangnya system pendidikan pancasila dan diganti dengan system dari hasan tiro merupakan seberkas sinar harapan hasil millenarian aceh.
Dalam konteks aceh, mungkin menarik konseptualisasi Carl J. Friedrich bahwa revolusi menyiratkan sesuatu yang baru dengan bahasa yang kabur, logika yang lain dan revolusi dari seluruh nilai-nilai. Maka revolusi politik dapat dirumuskan sebagai pejungkirbalikkan tatanan kekuasaaan politik.
Namun kemungkinan revolusi sebagai historical inevitability di aceh akan menyerupai apa yang oleh Eugene Kamenka rumuskan bahwa revolusi merupakan suatu perubahan mendadak dan tajam dalam siklus kekuasaan sosial. Ia tercermin dalam perubahan radikal terhadap proses pemerintah yang berdaulat pada segenap kewenangan dan legitimasi resmi, dan sekaligus perubahan radikal dalam konsepsi tatanan sosialnya. Transformasi demikian pada umumnya telah diyakini tak akan mungkin dapat terjadi tanpa kekerasan. Tapi seandainya mereka melakukannya tanpa pertumpahan darah, tetap masih dianggap sebagai revolusi.
Akankah terjadinya revolusi islam di aceh sebagaimana pernah dikatakan Samuel Huntington sebagai “suatu pengjungkirbalikkan nilai-nilai, mitos, lembaga-lembaga politik, stuktur sosial, kepemimpinan, serta aktivitas mauppun kebijaksanaan yang telah dominan di masyarakat?” semua gambaran teoritis ini bisa memberikan suatu pemandangan umum bahwa di aceh paling mungkin terjadinya sebuah revolusi politik. Tekanan hidup dan penipuan politik yang dilakukan pemerintahan pusat terhadap mereka telah membuat mereka cukup geram. Namun semua itu hanya mungkin dilakukan jika atas nama islam, agama yang secara tradisi telah melekat dengan semangat dan jiwa-jiwa revolusioner orang-orang aceh.

Sebuah Peluang

Selama pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, terdapat sebuah jendela peluang bagi perdamaian di Aceh yang bisa diraih bersama kedua pihak, setidaknya untuk sementara waktu. Tawaran dialog dari pemerintahan Wahid diterima secara positif oleh faksi GAM pimpinan Hasan di Tiro. Mei 2000, wakil dari Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka menandatangani di Jenewa sebuah dokumen yang disebut "Saling Pengertian bagi Jeda Kemanusiaan untuk Aceh".
Tujuannya, memberi kesempatan bagi penyaluran bantuan kemanusiaan yang sangat dibutuhkan rakyat Aceh. Hal ini dicapai melalui serangkaian perundingan rahasia yang dimediasi Henri Dunant Center, sebuah LSM internasional. Saling pengertian yang ditandai tangani itu merupakan langkah membangun rasa saling percaya (Confidence Building Measures/CBM) yang menciptakan landasan bersama bagi kedua pihak untuk melanjutkan dialog.
Kendati perkembangan ini disambut baik oleh rakyat Aceh yang tercabik-cabik oleh perang, namun tidak demikian halnya bagi banyak kalangan di Jakarta. Salah satu alasannya, DPR merasa tidak dikonsultasi, sedangkan alasan lainnya bahwa tidak terjadi perdebatan di media massa atau di mana pun tempat para pakar dan kaum akademisi bisa mengutarakan pandangan mereka.
Perunding dari pihak Indonesia adalah Dr N. Hassan Wirajuda, waktu itu Wakil Tetap RI di PBB di Jenewa, yang kemudian menjadi Menlu RI. Pemerintah RI dengan hati-hati menjelaskan bahwa Dr Wirajuda, ketika mewakili Pemerintah, tidak berunding dalam kapasitasnya sebagai Wakil Tetap RI untuk PBB di Jenewa.
Keterangan ini untuk meredam banyak kritikan bahwa dengan berunding dengan GAM Pemerintah sudah melakukan kesalahan besar dan pihak GAM sudah mengantongi sebuah kemenangan diplomatik, karena kesediaan berunding dengan GAM mengimplikasikan pengakuan, menempatkan GAM, setidaknya secara teoretis, dalam posisi sejajar dengan Pemerintah. Bagi sejumlah anggota parlemen, akademisi dan media massa, pertemuan di Jenewa itu memprensentasikan internasionalisasi masalah Aceh. Reaksi negatif ini menjadi lebih mudah dimengerti karena banyak kalangan menilai lepasnya provinsi Timor Timur sebagai konsekuensi dari internasionalisasi masalah Timor Timur.
Kendati demikian, pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid terus mengupayakan dialog. Meski dengan begitu banyak kesulitan, sebagian akibat situasi di lapangan, dialog terus melangkah laju sehingga pada Januari 2001 kedua pihak mencapai "Saling Pengertian Sementara" yang berisi banyak ketentuan yang memungkinkan pengaturan mengenai pemeriksaan pelanggaran yang terjadi dan menjalankan upaya-upaya membangun saling kepercayaan.
Sampai pertengahan 2001, pihak Pemerintah terus menawarkan otonomi khusus, dan kedua pihak sepakat mengadakan dialog informal yang melibatkan berbagai pihak, yaitu semua sektor masyarakat Aceh, termasuk GAM. Tetapi selama tujuh bulan sesudah itu, dari Juli 2001 sampai Februari 2002, dialog macet, terutama karena kesulitan-kesulitan di lapangan akibat meningkatnya kontak senjata.
Sementara itu, Megawati Soekarnoputri yang lebih berpandangan nasionalis dibanding Wahid, telah mengambil alih kekuasaan, dan ia menunjuk perunding pihak Indonesia, Dr Hasan Wirajuda sebagai Menlu RI. DALAM wilayah Asia Tenggara dan di antara beragam negara yang menjalin hubungan bilateral dengan Indonesia, dan juga pada forum-forum internasional seperti Gerakan Non-Blok (GNB), Konferensi Organisasi Islam (OKI), Uni Eropa (EU) dan lain-lain, terdapat dukungan sangat kuat bagi kedaulatan dan integritas wilayah Republik Indonesia, khususnya dalam hubungan dengan kasus Aceh dan bahkan dengan masalah Papua.
Di sisi lain GAM tidak mendapatkan dukungan eksternal atas klaimnya untuk menjadi negara tersendiri, kecuali mungkin dari beberapa LSM (lembaga swadaya masyarakat). Memang benar GAM mendapat latihan militer dari Libya tetapi tidak lebih dari itu. Sampai tingkat tertentu, GAM memang mengendalikan suatu kekuatan dan mendapat dukungan tertentu, yang masih sulit untuk diestimasikan, dari rakyat Aceh sendiri.
Sementara itu, berkembang kekhawatiran yang luas dengan berlanjutnya kekerasan yang menyebabkan begitu seringnya pelanggaran hak asasi manusia dan menyebabkan begitu banyak orang Aceh meninggalkan tempat tinggal mereka. Sedangkan semua ini menyebabkan buruknya kehidupan sosial-ekonomi di Aceh.
Kekhawatiran ini diterjemahkan dalam bentuk tekanan domestik dan internasional atas kedua pihak (RI dan GAM) agar segera menghentikan konflik, menciptakan perdamaian yang tahan lama dan membangun kembali kehidupan sosial-ekonomi di provinsi NAD.
Sejumlah pengamat telah mengidentifikasi salah satu hambatan paling ekstrem bagi perdamaian di Aceh, dan itu adalah situasi bahwa praktik korupsi sedemikian meluas. Pihak-pihak yang menikmati keuntungan dari praktik ini tidak berniat memecahkan atau menghentikannya. Terdapat laporan bahwa terus terjadi penyelundupan besar-besaran barang-barang mewah di pelabuhan bebas Sabang. Pemerintahan RI sampai tingkat tertentu bisa menekan praktik korupsi ini dengan mengekang para pejabat lokal dan otoritas lain di Aceh agar lebih bertanggung jawab. Tetapi pengekangan ini kemungkinan membawa dampak buruk tersendiri.

REFERENSI
Al Chaidar. 1999. Aceh Bersimbah Darah. Pustaka Al-Kautsar
Al Chaidar. 1999. Gerakan Aceh Merdeka. Jakarta: Madani Press
Al-Mubarak, Taufiq. 2009. Aceh Pungo. Banda Aceh: Media
Munir. 1998. Propaganda, Bentuk Komunikasi Massa. Jakarta: UI press

www.harian-aceh.com
www.asnlf.org



Zulfiadi Ahmedy
Mahasiswa Ilmu Politik FISIP Unsyiah
(Mantan Ketua Umum BEM FISIP Unsyiah)

Senin, 28 November 2011

Antagonisme Politik

Antagonisme politik menurut Duverger merupakan unsur yang paling penting dalam politik; karena antagonisme ada, maka harus ada usaha (berbagai komunitas/kelompok lawan) untuk menghilangkannya atau sekurang-kurangnya untuk menguranginya guna mencapai integrasi sosial. Sudut pandang antagonisme politik, bagi kaum konservati tradisional; adalah perjuangan untuk merebut kekuasaan untuk menempatkan “elite”-mereka yang mampu melaksanakan kekuasaan- melawan “massa”- mereka yang menolak untuk mengakui superioritas alami dari elite dan haknya untuk memerintah. Artinya, ada ras-ras superior, yang ditentukan untuk berkuasa, dan ras-ras inferior yang bisa berpartisipasi dalam proses peradaban hanya dibawah bimbingan ras-ras superior. Bagi kaum liberal, menolak paham tentang ketidaksamaan alami dikalangan kelompok-kelompok sosial atau ras. Mereka melihat perjuangan politik sama seperti perjuangan ekonomi: berebut sumberdaya yang terbatas atas pemuasan kebutuhan yang tidak terperi, dimana setiap orang mencoba meraih keuntungan sebesar-besarnya bagi dirinya dengan merugikan orang lain. Disini homo politicus, tidaklah berbeda dengan homo economicus. Pergumulan politik mempunyai motif yang sama dengan seperti persaingan ekonomi dalam kondisi yang disebut struggle for life. Sedangkan bagi kaum Marxis, antagonisme politik, hakekatnya juga bersifat ekonomis, tetapi mereka lebih tergantung pada sistem produksi daripada persaingan bagi benda-benda konsumsi. Keadaan teknologi menentukan cara berproduksi, pada gilirannya menghasilkan kelas-kelas sosial pemilik faktor produksi (kaum kapitalis) yang sangat dominan atas mereka yang hanya memiliki tenaga saja (kaum pekerja). Kaum kapitalis akan mempertahankan terus dominasinya atas kaum tidak berpunya itu yang secara alami akan menolak mati-matian penindasan tersebut. Konsekuensinya, kata Duverger, perjuangan politik disebabkan perjuangan kelas.

Selain ketiga pandangan tersebut, juga ditandai dengan lahirnya teori-teori psikoanalisa yang menjelaskan motivasi psikologis tentang pergolakan-pergolakan politik. Konflik-konflik batin, misalnya, menghasilkan frustrasi yang berkembang kearah kecenderungan agresi dan dominasi. Bahwa homo politicus: keuntungan material dari kekuasaan bukanlah selalu motif utama yang mendorong manusia untuk mengejarnya.

Sebab-Sebab Antagonisme Politik

Secara katagorikal, antagonisme politik dibedakan pada tingkat individu seperti kecerdasan pribadi dan faktor psikologi serta lainnya pada tingkatan kolektif seperti faktor-faktor rasial, perbedaan di dalam kelas-kelas sosial, dan faktor-faktor sosiokultural. Setiap katagori sesuai dengan sebuah bentuk perjuangan politik. Perjuangan yang berputar disekeliling kekuasaan terjadi diantara individu-individu dalam pertentangan yang bersaing mendapatkan portofolio kabinet, kursi parlementer, pos menteri, berbagai jabatan publik dan sebagainya. Dalam konteks lebih luas, konflik-konflik individual ditingkatkan magnitudenya oleh konflik-konflik universal antar kelompok di dalam masyarakat- ras, kelas, komunitas, lokal korporasi, bangsa-bangsa dan seterusnya. Dua jenis kepentingan perjuangan -individu dan kolektif- menjadi campur baur. Arti pentingnya kemudian ditafsirkan secara berbeda oleh ideologi politik yang dianut: ideologi liberal terutama mempertimbangkan konflik-konflik individual dan mengabaikan konflik kolektif; ideologi sosialis dan konservatif berbuat persis sebaliknya, yang pertama menekankan konflik-konflik kelas, dan yang kedua, konflik diantara ras-ras atau “kelompok horizontal” (bangsa-bangsa, agama-agama,dan semacamnya).

Bakat-bakat individual/pribadi ini berasal dari faktor-faktor biologis menurut konsep Charles Darwin tentang struggle for life. Menurut Darwin dalam Origin of Species (1859), setiap individu harus bertempur melawan yang lain untuk kelangsungan hidup, dan hanya yang paling mampu berhasil. Proses seleksi alam ini menjamin terpeliharanya spesis maupun pemeliharaannya. Tokoh SYL dan HAS, sedang berada di medan struggle for life, karena mereka masing-masing sebagai pemimpin sebuah “koloni” yang memiliki prinsip: kekalahan berarti musnahnya spesis dan koloni. Teori Darwin adalah ekuivalen biologis dari filsafat Borjuis yang doktrinnya tentang persaingan bebas adalah manifestasi ekonomisnya; perjuangan bagi eksistensi dengan demikian menjelman menjadi perjuangan untuk memuaskan kebutuhan manusia. Didalam arena politik, dia menjadi “perjuangan untuk posisi utama” (struggle for preeminence) (G.Mosca), dan ini menjadi basis teori tentang Elite: bahwa persaingan merebut kekuasaan akan memunculkan yang terbaik, yang paling mampu, dan mereka yang mampu memerintah.


Pada kecenderungan psikologis, dikatakan bahwa antagonisme politik akibat dari frustrasi psikologis yang berhubungan dengan konflik dari masa kanak-kanak yang dini yang terkubur dalam alam tidak sadar. Bahwa pengalaman dari masa kanak-kanak mempunyai pengaruh yang menentukan terhadap perkembangan psikologis berikutnnya dari seorang individu. Dalam masa kanak-kanak yang dini, orang tua memegang peranan yang sangat penting; seorang pribadi merumuskan dirinya dalam hubungannya dengan masyarakat melalui mereka. Setelah itu, hubungan orang tua secara tidak sadar mempengaruhi semua hubungan sosialnya yang lain, terutama yang menyangkut otoritas. Kepatuhan pelaku politik untuk tetap berada di jalur hukum dan otoritas pada kondisi yang semakin menyesakkan dan membuka peluang untuk chaos, adalah refleksi psikologis hubungannya dengan orang tuanya. Sebaliknya, kondisi Psikologis pada pelaku politik yang “ngotot” memaksakan “golden ball” pada injury time, adalah prosesi kecemasan dari keterpaksaan atas hilangnya “surgawi” pada masa kanak-kanak yang oleh Sigmund Freud disebut infantile sexuality (seksualitas masa kanak-kanak). Kekuasaan, adalah surgawi yang akan pergi setelah Pilkada. Hal ini sangat mencemaskan. Pengalaman “traumatik” ini akan dibawanya kemasyarakat, dimana dia harus mengganti prinsip kesenangan dengan prinsip kenyataan, “realty principle”, yang berarti dia harus melepaskan kesenangan atau membatasinya dengan sangat keras. Dia tidak lagi menggenggam “rasa ketakutan” orang yang takut dimutasi atau non-job. Dia harus patuh pada peraturan, kewajiban dan larangan yang memaksanya. Konflik antara tuntutan masyarakat dan keinginan untuk kesenangan ini menghasilkan frustrasi yang kemudian menjadi sebab fundamental bagi lahirnya antagonisme sosial.


Dari Antagonisme menuju Integrasi


Integrasi politik tentu menjadi harapan setiap pelaku politik yang sehat. Namun, haruskah integrasi politik dilalui terlebih dahulu oleh jalan “rusak” yang disebut konflik? Memang ada ambivalensi antara Konflik dan integrasi. Walau berhadapan, tapi keduanya juga saling melengkapi. Antagonisme politik menghasilkan konflik, tetapi, juga sekaligus menolong membatasi konflik dan meningkatkan integrasi. Setiap perjuangan berisikan mimpi tentang perdamaian dan merupakan usaha merealisasikan mimpi tersebut. Memang, selayaknya Konflik dan integrasi, dipandang bukan sesuatu yang berlawanan, tetapi menjadi bagian tidak terpisahkan dari proses umum yang sama. Bahwa konflik secara alami akan menuju integrasi, dan antagonisme cenderung - mudah-mudahan- menuju ke arah menghapus dirinya sendiri (self elimination) dan berikutnya menghasilkan harmoni sosial.

Antagonisme adalah sisi lain dari mata uang politik. Itu adalah aksioma yang terkubur peradaban politik berbasis konsensus dan integrasi. Namun, betapapun terabaikan, aksioma itu terbukti solid. Segala upaya untuk membatalkannya selalu rontok di tengah jalan.
Sejarah republik ini membuktikan, Orde Lama gagal mengintegrasikan tiga ideologi dalam satu payung "nasakom". Juga Orde Baru. Politik netralisasi antagonisme Orde Baru lewat doktrin "SARA" berantakan.

Antagonisme


Carl Schmitt, filsuf Jerman, menyebutkan, antagonisme tidak sama dengan permusuhan pribadi yang bisa diselesaikan lewat jabat tangan. Demokrasi liberal adalah catatan sejarah kegagapan mengenali bentuk murni antagonisme. Bagi demokrasi liberal, masyarakat memerlukan konsensus kokoh, berbasis imparsialitas. Dan konsensus itu harus produk dari deliberasi rasional.
Antagonisme menolak demokrasi liberal yang mengambil model deliberatif. Antagonisme bukan sesuatu yang bisa dinegosiasikan layaknya tawar-menawar harga di pasar. Antagonisme juga tidak bisa direduksi menjadi tabrakan kepentingan yang bisa dimusyawarahkan sebab struktur kawan-lawan tidak sama dengan struktur rekan-kompetitor atau teman-musuh. Konsensus dalam kerangka antagonisme selalu bercorak konfliktual.
Riwayat republik ini mengguratkan fakta, konsensus tak pernah tak retak. Konsensus tentang konstitusi, misalnya. Konsensus pelbagai kelompok kepentingan tahun 1945 yang menghasilkan undang-undang dasar menyembunyikan antagonisme. Antagonisme itu tak juga terselesaikan dalam upaya konstituante menyusun undang-undang dasar baru. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 mengakhiri apa yang sebagian kalangan anggap sebagai bulan madu demokrasi liberal.
Akhirnya, masyarakat demokratik diikat nilai yang dipaksakan dari atas. Alias, sebuah antagonisme baru mengemuka. Ikatan nilai itu lalu dimasalahkan berbagai kelompok antagonis yang sedianya tak bersedia diikat. Ledakan politik pun muncul dan orde yang baru mengemuka. Gawatnya, kelompok tertentu dikorbankan dalam transisi ke-orde-an. Sebagai tumbal sejarah, komunis dijadikan semacam spectre guna mengawasi dan mengendalikan berbagai kelompok antagonis.
Kaum muda lalu menjadi pengelompokan paling abstrak dalam struktur politik antagonistik. Namun, kekuatan mereka terbukti kokoh dalam menjebol kejumudan politik kaum tua. Tahun 1998, misalnya, merupakan momen kaum muda menarik garis dari kaum tua yang notabene koruptif. Hanya saja antagonisme dalam masa kanak-kanak reformasi itu amat bercorak "momentuasi". Artinya, momentum yang membuat struktur antagonistik tercipta. Sementara, orang lupa, di dalam kaum muda ada spektrum ideologi yang tidak sederhana.
Terbukti, tidak lama setelah reformasi digulirkan, kaum muda terpecah ke pelbagai pengelompokan baru. Ada yang mengorganisasi diri menjadi partai baru, ada yang bergabung ke partai lama, dan ada yang tetap berdiam di masyarakat sipil. Lalu orang mulai ribut tentang pembajakan reformasi oleh elite lama. Ini agak berlebihan sebab tak bisa disangkal, konsensus yang dibuat kaum muda tahun 1998 bersifat "momentuasi", bukan ideologis. Konsensus yang tercipta tidak meredam antagonisme. Dengan kata lain, ada peluang besar keterpecahan, lalu diambil alih oleh orang-orang lama yang lebih solid.
Tegangan pendek
Pertanyaannya, jika pengelompokan kaum muda begitu abstrak dan mudah pecah, mengapa memiliki daya dobrak? Mengapa sebuah pengelompokan yang sejatinya merupakan agregat ideologi bisa mementalkan kemapanan. Hipotesa saya sederhana. Momentum membuat pengelompokan melupakan perbedaan di antara mereka. Krisis ekonomi yang dirasakan secara merata membuat target mereka jelas: penguasa lalim nan koruptif.
Masalahnya, ketika kekuasaan tidak lagi dijangkarkan pada ideologi tunggal, siapa target operasi kaum muda? Penguasa pascareformasi tidak lagi jelas: liberal, sosialis, atau konservatif? Kaum muda bisa saja menyusun ideologi tanding seperti ekonomi pasar sosial. Namun, pertanyaannya, apakah ideologi itu bisa mewakili spektrum ideologi yang ada pada kaum muda. Apabila saya seorang neoliberal, pasti memiliki persoalan dengan konsensusideologis sosialisme pasar macam itu.
Jawaban lebih teoretis dari hipotesa sederhana saya datang dari filsuf Slavoj Zizek. Dikatakan, politik adalah fenomena purba yang sudah ada sejak Yunani Kuno. Tepatnya saat kaum demos (kaum yang tak tercatat dalam struktur sosial yang mapan) menuntut hak artikulasinya. Mereka menuntut suaranya didengar,dikenali, dan disertakan dalam ruang publik.
Sebilah paradoks mengemuka. Kaum tak terdengar merepresentasikan dirinya sebagai wakil universalitas. Kami yang tidak tercatat dalam struktur sosial mapan adalah rakyat keseluruhan. Kami selaku keseluruhan melawan mereka yang mewakili kepentingan partikular. Maka, konflik politik selalu melibatkan ketegangan antara tubuh sosial yang terstruktur dengan bagian-tanpa-bagian atau bagian yang mengaku keseluruhan. Dalam bahasa Zizek,politik merupakan tegangan pendek antara universal dan partikular yang mendestabilisasi struktur social yang rapi.

Konflik politik bukan sekadar debat rasional antara pelbagai kepentingan guna mencapai saddle point. Konflik politik adalah perjuangan agar artikulasi satu kaum atau kelompok didengar dan dikenali sebagai artikulasi rekan sepadan. Pertaruhan utama bukan isi artikulasi (sosialisme pasar atau liberalisme sosial), tetapi hak untuk didengar selaku rekan sepadan.
Kaum muda adalah kelompok antagonis yang berperan mendestabilisasi kemapanan sosial. Karena itu, soal ideologi biar diurus belakangan.
Juga, jangan mencari-cari konsensus ideologis yang jelas sia-sia. Yang terpenting, tubuh sosial yang sudah terorganisasi rapi dilanda gempa politik berskala tinggi. Itu saja. Setelah itu biarlah satu per satu memilih jalan politik masing-masing. Yang penting, jaringan tetap dijaga dan komunikasi berlanjut sebab jika kaum muda kukuh bertahan sebagai keutuhan, gempa politik akan menimpanya di kemudian hari.


zulfiadi ahmedy

Sabtu, 12 November 2011

Gagalnya Reformasi Birokrasi

Rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap system birokrasi pemerintah dapat diwajarkan, karena melihat dari sisi kemanusiaan yang begitu naïf. Dalam mendapatkan akses pelayanan public misalnya, penyedia akses pelayanan public tadi harus mempertimbangkan sisi kemanusiaan, ketika orang awam yang tingkat pendidikannya rendah, berada dalam golongan menengah ke bawah, kemudian memerlukan akses pelayanan darurat untuk pengurusan administrasi public, ini dapat menjadi salah satu pertimbangannya untuk sedikit memudahkan akses pelayanan public, tapi harus dalam konteks yang bersih dan sehat. Dapat dipastikan bahwa orang lebih memilih diam dan tidak mau repot dalam mendapatkan akses pelayanan public tadi, karena beranggapan sangat sulit dan terkesan terbelit-belit. Pada akhirnya muncul alternative-alternatif lain untuk mendapatkan akses pelayanan public yang lebih mudah dan beresiko pastinya, terutama jika menyangkut dengan hukum. Orang akan memanfaatkan hal-hal yang lebih instant dalam mendapatkan akses pelayanan public tadi, sector yang rentan terjadi adalah pada bidang kesehatan, pengurusan administrasi pubik, seperti pengurusan Kartu Tanda Penduduk (KTP), pengurusan Surat Izin Mengemudi (SIM), dan lain-lain. Modusnya seringkali atau bahkan memang dengan cara-cara kotor dan melanggar hukum, yang seperti membayar petugas (suap), menggelapkan asset Negara, menyelewengkan kewenangan, dan sebagainya. Hal ini dapat berakibat fatal pada perkembangan sumber daya manusia yang optimal, seolah-olah terkesan adanya pendidikan fiktif bahwa birokrasi tersebut harus dimanipulasi secara komprehensif pada semua bidang pelayanan public. Kemudian seperti apa mudahnya mendapatkan akses pelayanan public bagi orang-orang tertentu, misalnya pejabat, militer, dan orang-orang golongan menegah ke atas yang mempunyai kepentingan tertentu, terutama yang menyangkut dengan kepentingan elit politisi. Serta orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat atau “relasi khusus” dengan orang-orang di atas tersebut. Hal tersebut di atas merupakan gambaran bagaimana carut-marutnya system birokrasi dalam akses pelayanan public.
Jika melihat kebelakang maka perjalanan bangsa ini dalam membenahi dirinya dalam hal reformasi birokrasi sebenarnya cukup panjang dan melelahkan. Pada saat orde lama dan orde baru, keberadaan birokrasi disalahartikan oleh penguasa, yang pada akhirnya birokrasi dijadikan tunggangan untuk tetap mempertahankan kekuasaan.
Tahun 1998 seharusnya menjadi tonggak berdirinya sebuah kepemerintahan baru yang mampu menciptakan kesejahteraan umum bagi masyarakat. Berawal dari naiknya harga kebutuhan pokok, sampai langkanya minyak tanah, bahkan harga minyak tanah yang seharusnya dapat disesuaikan oleh kantong rakyat malah melebihi harga bahan bakar premium kendaran bermotor. Suatu hal yang ironis memang. Dan ini tidak sekedar menjadi pekerjaan rumah bagi para wakil rakyat yang konon lebih mementingkan meng-amandemen UUD dari pada memikirkan keadaan rakyat yang sedang mengalami kelaparan akibat terhimpitnya perekonomian keluarga, tetapi menjadi tanggung jawab dunia akhirat bagi mereka. Semenjak reformasi bergulir, gaung reformasi birokrasi telah menjadi agenda bersama dalam mengatasi krisis saat itu, namun justru reformasi birokrasi masih tertinggal jauh dibandingkan dengan reformasi politik dan reformasi perundang-undangan.
Barangkali partai politik - yang telah beralih fungsinya, yang dulunya sebagai jembatan antara rakyat dan pemerintah sekarang menjadi pemutus rakyat dan menjadi reklame birokrasi – lebih mementingkan berapa jumlah kursi di gedung pantat (MPR/DPR) yang akan mereka dapatkan pada pemilihan umum yang akan datang. Fenomena ini bukanlah hal yang luar biasa pada saat sekarang ini, melainkan santapan para wakil rakyat yang heboh akan berapa gaji, tunjangan ini, tunjangan itu yang akan mereka kantongi di balik jas-jas mewah dan safari mereka. Fenomena ini tak lebihnya perceraian selebriti yang haus akan berita harta gono-gini di televisi nasional.
Apakah kinerja mereka sebanding dengan apa yang mereka dapatkan? Pertanyaan ini apabila ditanyakan ke masyarakat luas akan didominasi oleh jawaban yang singkat, padat dan jelas, yaitu Tidak!. Banyak sekali permasalahan yang terjadi di dalam negara ini. Pertama, prahara buruknya birokrasi pemerintah yang semakin lama semakin jauh dari apa yang harusnya dikedepankan pada waktu awal reformasi, yaitu “Good Governance”. Kedua, adanya politisasi birokrasi yang membuat tidak maksimalnya pelayanan public di masyarakat. Ketiga, terjadinya perubahan drastis dalam Undang-Undang, dimana para wakil rakyat lebih mementingkan ke-individualisme mereka dan lebih mengedepankan kroniisme di dalam kebijakan yang mereka buat.
Prinsip-prinsip good governance yang pada awal reformasi didengungkan oleh para petinggi Negara ini dan tak ketinggalan para wakil rakyat, adalah omong kosong belaka. Ketika mereka beranjak naik menjadi penguasa birokrasi, apa yang mereka implementasikan tak sebanding dengan janji-janji mereka. Alih-alih sejahtera, yang ada sengsara.
Banyak sekali contoh yang dapat diambil akibat buruknya birokrasi di negeri ini, antara lain, pertama tragedi tsunami yang menimpa rakyat Aceh, Pangandaran dan Yogyakarta. Kedua tragedi gempa di daerah pesisir barat pulau Sumatera, Papua, selatan Jawa dan sebagian pulau Sulawesi. Ketiga lumpur lapindo di Sidoarjo. Dan masih banyak lagi. Dari sebagian tragedi tersebut, masyarakat yang seharusnya mendapatkan hak mereka akibat menjadi korban, malah menjadi bahasan yang sangat ulet di tingkatan para elite pilitik. Bahkan yang lebih ironis adalah, orang yang bermain dalam lingkungan tersebut dan mengatasnamakan korban bencana tadi.
Dana bantuan yang seharusnya mudah mereka dapatkan dan sangat mereka nantikan, sampai detik ini hanya kurang dari seperempat yang dijanjikan oleh pemerintah. Yang lebih kacau lagi kasus Lumpur Lapindo di Sidoarjo. Dampak yang diakibatkan oleh meluapnya Lumpur sangatlah luas. Dari mulai ditutupnya pabrik-pabrik yang mengakibatkan ribuan karyawan menjadi pengangguran, rumah-rumah masyarakat yang tergenang, para perajin di Sidoarjo, warung-warung kecil, bahkan akses jalan utama ke tiap-tiap desa terputus akibat luapan Lumpur Lapindo. Seharusnya perusaahan yang menaungi lapindo haruslah bertanggung jawab atas apa yang terjadi di Sidoarjo, Jawa Timur. Pemerintah tak perlu menjadikan kasus ini menjadi bencana nasional, karena penyebab terjadinya luapan Lumpur tersebut adalah kesalahan dari Perusahaan tersebut, dan pemerintah tidaklah harus mengganti rugi. Apakah pemerintah takut untuk mengatakan yang sebenarnya terhadap public? Ataukah adanya pemegang saham di perusahaan tersebut menduduki jabatan petinggi negara (Menteri) saat itu? Itu baru satu kasus dari ribuan kasus buruknya kinerja birokrasi di Negara ini.
Tak sedikit pula penyakit birokrasi kita . Masih banyaknya KKN, keserakahan, fanatisme, iri hati, adu domba, hingga adanya perampokan dalam administrasi, pembunuhan karakter, penjajahan, pemalsuan dan rekayasa administrasi membuat bangsa kita semakin terpuruk akibat watak yang rakus di dalam hati para wakil rakyat yang ironisnya kita pilih langsung dalam pemilu. Seharusnya kepercayaan yang telah rakyat berikan terhadap para wakil rakyat yang duduk di dalam lembaga-lembaga tinggi negara dapat mereka kaji dan laksanakan secara benar. Yang terjadi bahkan seperti mencari bagaimana modal kampanye mereka yang telah mereka keluarkan kembali menjadi dua kali lipat. Ironis memang ulah para petinggi negara ini.
Tuntutan untuk segera merealisasikan reformasi birokrasi semakin menguat, tuntutan ini bukan hanya berasal dan masyarakat sipil dan dunia usaha, namun juga dari internal pemerintah semakin mengkristal. Tuntutan yang semakin menguat dari internal Pemerintah sebenarnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan Pengawai Negeri. Dalam hal ini sudah tentu tekanan utamanya adalah adanya kenaikan gaji yang signifikan, begitu juga tentang status kepegawaian mereka.
Masalah penegakan hukum, masyarakat kita masih apatis melihat aparat hukum dalam menyelesaikan suatu kasus. Persoalan utamanya terletaknya sudah hilangkan kepercayaan masyarakat karena kasus – kasus hukum justru berpihak kepada yang berkuasa dan berduit, sebaliknya rakyat biasa hanya akan pasra dihadapan penggawa hukum. Penyimpangan dan jual beli kasus bukan hal yang tabu dilakukan oleh aparat penegak hukum, bahkan dengan gamblang mereka bisa mengatakan ”hukum adalah kami”. Alasan aparat hukum dalam malakukan penyimpangan profesi cukup sederhana; ”Gaji mereka sangat kecil”, sehingga jalan keluar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya adalah menjual hukum itu sendiri.
Reformasi Birokrasi bisa difokuskan pada upaya peningkatan kesejahteraan aparat hukum, dalam hal ini yang akan menjadi fokus adalah Kepolisian, Kejaksaan, Peradilan, dan Militer. Bila dilihat dari kemampuan Anggaran Negara yang tersedia maka keempat instansi tersebut juga belum sepenuhnya dilaksanakan secara bersamaan.
Ketika kebijakan negara tidak dapat menjadi barometer kesejahteraan masyarakat, begitu juga pelayanan yang masyarakat terima. Pelayanan yang seharusnya ditujukan pada masyarakat umum kadang dibalik menjadi pelayanan masyarakat terhadap negara. Pemerintahan milik masyarakat akan tercipta jika birokrat dapat mendefinisikan ulang tugas dan fungsinya. Patut diduga bahwa banyak birokrat yang tidak banyak memahami secara pasti atau setdaknya tidak mengerti filosofi pelayanan yang akan diberikannya sehingga pelayanan publik yang diimpikan oleh masyarakat jauh dari kenyataan yang mereka alami.
Dengan demikian, pelayanan public adalah pemenuhan keinginan dan kebutuhan masyarakat oleh penyelenggara negara. Negara didirikan oleh publik (masyarakat) tentu saja dengan tujuan agar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Sampai kapan negara kita akan mengalami dekadensi dalam birokrasi administrasi pemerintah. Kita harus bangkit, rakyat sesungguhnya tidaklah bodoh, melainkan terlalu pasrah terhadap keadaan mereka dan selalu beranggapan ini adalah cobaan dari Tuhan Yang Maha Esa. Solusi Good Governance yang seharusnya menjadi kunci kebangkitan, seakan terlupakan akibat semakin tebalnya kantong, dompet dan buku tabungan para wakil rakyat. Mari bersama-sama kita bangkit memperbaiki tatanan system birokrasi yang sudah rusak, kita tinggalkan masing-masing kepentingan, kita kedepankan pembangunan suprastruktur, yang birokrasi termasuk dari salah satunya.

Rabu, 02 November 2011

Mengurai Kartel Politik Era Reformasi

Pada dasarnya kartel adalah penggabungan kelompok kepentingan yang bertujuan memonopoli teristimewanya hak dalam mengatur yang menguntungkan mereka. Dalam dinamika politik, terutama dalam mekanisme perpolitikan partai, partai-partai bekerjasama sebagai suatu entitas untuk menjaga kepentingan bersama, hal ini cenderung corrupt (penyalahgunaan kekuasaan) jika mereka berada dalam lingkungan eksekutif maupun legislatif, misalnya menjadikan lembaga negara sebagai sumber keuangan utama bagi partai, sehingga KKN sangat rentan terjadi. Mereka membentuk koalisi untuk memperoleh kekuasaan secara berlebihan dengan bergabungnya banyak partai yang sarat kepentingan, koalisi terbentuk dari partai-partai yang pada dasarnya berbeda ideology antara satu dengan lainnya, akan tetapi mereka bekerjasama untuk memperoleh kepentingan masing-masing dalam wadah yang sama, sehingga kepentingan rakyat banyak menjadi prioritas nomor sekian. Kekuatan mereka jika bersatu bisa menjadi rival yang kuat untuk menghimpun suara yang banyak dalam pemilihan jabatan politik. Inilah yang menjadikan alasan mengapa pemimpin terpilih harus memenuhi syarat bahwa dengan menang harus merangkul semua kekuatan politik terutama partai politik. Seorang jurnalis pernah menuliskan hal ini dalam artikelnya, bahwa bila ingin membuat pemerintahan yang utuh, semua kekuatan politik yang ada harus dapat dikuasai atau dimonopoli dengan baik seperti apa yang terjadi pada era Orde Baru pimpinan Soeharto.
Pemerintahan yang ideal selayaknya mempertimbangkan koalisi yang terlalu berlebihan, sehingga mampu mengambil arah kebijakan yang efektif dan efesien tanpa harus terlalu mempertimbangkan kepentingan partai koalisinya, akan tetapi jika bahan pertimbangannya adalah kepentingan golongan dalam lingkungan kekuasaan, maka yang terjadi adalah pembagian kekuasaan yang proporsional baik dalam perlemen maupun kabinet pemerintahan eksekutif, sehingga menempatkan orang-orang yang tidak berkompeten (non qualified) dalam bidang jabatan yang diperolehnya, sehingga arah kebijakan yang diterapkan jauh dari kebutuhan rakyat. Hal ini membuat kesejahteraan semakin menjadi tidak terjamin. Apa yang kita harapkan dari reformasi 1998 yaitu kehidupan ideal tidak akan pernah terwujud jika masih mempertimbangkan kepentingan partai secara akomodatif.
Sejatinya kebijakan publik yang diambil harus sesuai dengan kebutuhan rakyat, tidak menempatkan rakyat sebagai komoditas kepentingan. Sehingga bisa mewujudkan kehidupan ideal yang diinginkan. Pada dasarnya, partai adalah sarana yang paling efektif untuk menyalurkan kepentingan rakyat secara aspiratif, akan tetapi pada realitanya, rakyatlah yang dijadikan sebagai komoditas kepentingan mereka tadi. Dengan sebuah kartel yang menyengsarakan rakyat, partai tadi menyatakan bahwa ideologi mereka berpihak kepada rakyat, akan tetapi pada kenyataannya keuangan negara secara legal maupun illegal dikuras habis-habisan oleh mereka yang berada dalam pemerintahan dan parlemen.
Sudah saatnya kita bersatu untuk dapat memahami realitas politik di negeri plural ini. Dengan pemahaman yang matang, kita mampu untuk mengurai kartel-kartel yang menyengsarakan rakyat, sehingga kehidupan ideal yang diinginkan terwujud secara utuh dan dirasakan bersama oleh semua lapisan masyarakat.