Antagonisme politik menurut Duverger merupakan unsur yang paling penting dalam politik; karena antagonisme ada, maka harus ada usaha (berbagai komunitas/kelompok lawan) untuk menghilangkannya atau sekurang-kurangnya untuk menguranginya guna mencapai integrasi sosial. Sudut pandang antagonisme politik, bagi kaum konservati tradisional; adalah perjuangan untuk merebut kekuasaan untuk menempatkan “elite”-mereka yang mampu melaksanakan kekuasaan- melawan “massa”- mereka yang menolak untuk mengakui superioritas alami dari elite dan haknya untuk memerintah. Artinya, ada ras-ras superior, yang ditentukan untuk berkuasa, dan ras-ras inferior yang bisa berpartisipasi dalam proses peradaban hanya dibawah bimbingan ras-ras superior. Bagi kaum liberal, menolak paham tentang ketidaksamaan alami dikalangan kelompok-kelompok sosial atau ras. Mereka melihat perjuangan politik sama seperti perjuangan ekonomi: berebut sumberdaya yang terbatas atas pemuasan kebutuhan yang tidak terperi, dimana setiap orang mencoba meraih keuntungan sebesar-besarnya bagi dirinya dengan merugikan orang lain. Disini homo politicus, tidaklah berbeda dengan homo economicus. Pergumulan politik mempunyai motif yang sama dengan seperti persaingan ekonomi dalam kondisi yang disebut struggle for life. Sedangkan bagi kaum Marxis, antagonisme politik, hakekatnya juga bersifat ekonomis, tetapi mereka lebih tergantung pada sistem produksi daripada persaingan bagi benda-benda konsumsi. Keadaan teknologi menentukan cara berproduksi, pada gilirannya menghasilkan kelas-kelas sosial pemilik faktor produksi (kaum kapitalis) yang sangat dominan atas mereka yang hanya memiliki tenaga saja (kaum pekerja). Kaum kapitalis akan mempertahankan terus dominasinya atas kaum tidak berpunya itu yang secara alami akan menolak mati-matian penindasan tersebut. Konsekuensinya, kata Duverger, perjuangan politik disebabkan perjuangan kelas.
Selain ketiga pandangan tersebut, juga ditandai dengan lahirnya teori-teori psikoanalisa yang menjelaskan motivasi psikologis tentang pergolakan-pergolakan politik. Konflik-konflik batin, misalnya, menghasilkan frustrasi yang berkembang kearah kecenderungan agresi dan dominasi. Bahwa homo politicus: keuntungan material dari kekuasaan bukanlah selalu motif utama yang mendorong manusia untuk mengejarnya.
Sebab-Sebab Antagonisme Politik
Secara katagorikal, antagonisme politik dibedakan pada tingkat individu seperti kecerdasan pribadi dan faktor psikologi serta lainnya pada tingkatan kolektif seperti faktor-faktor rasial, perbedaan di dalam kelas-kelas sosial, dan faktor-faktor sosiokultural. Setiap katagori sesuai dengan sebuah bentuk perjuangan politik. Perjuangan yang berputar disekeliling kekuasaan terjadi diantara individu-individu dalam pertentangan yang bersaing mendapatkan portofolio kabinet, kursi parlementer, pos menteri, berbagai jabatan publik dan sebagainya. Dalam konteks lebih luas, konflik-konflik individual ditingkatkan magnitudenya oleh konflik-konflik universal antar kelompok di dalam masyarakat- ras, kelas, komunitas, lokal korporasi, bangsa-bangsa dan seterusnya. Dua jenis kepentingan perjuangan -individu dan kolektif- menjadi campur baur. Arti pentingnya kemudian ditafsirkan secara berbeda oleh ideologi politik yang dianut: ideologi liberal terutama mempertimbangkan konflik-konflik individual dan mengabaikan konflik kolektif; ideologi sosialis dan konservatif berbuat persis sebaliknya, yang pertama menekankan konflik-konflik kelas, dan yang kedua, konflik diantara ras-ras atau “kelompok horizontal” (bangsa-bangsa, agama-agama,dan semacamnya).
Bakat-bakat individual/pribadi ini berasal dari faktor-faktor biologis menurut konsep Charles Darwin tentang struggle for life. Menurut Darwin dalam Origin of Species (1859), setiap individu harus bertempur melawan yang lain untuk kelangsungan hidup, dan hanya yang paling mampu berhasil. Proses seleksi alam ini menjamin terpeliharanya spesis maupun pemeliharaannya. Tokoh SYL dan HAS, sedang berada di medan struggle for life, karena mereka masing-masing sebagai pemimpin sebuah “koloni” yang memiliki prinsip: kekalahan berarti musnahnya spesis dan koloni. Teori Darwin adalah ekuivalen biologis dari filsafat Borjuis yang doktrinnya tentang persaingan bebas adalah manifestasi ekonomisnya; perjuangan bagi eksistensi dengan demikian menjelman menjadi perjuangan untuk memuaskan kebutuhan manusia. Didalam arena politik, dia menjadi “perjuangan untuk posisi utama” (struggle for preeminence) (G.Mosca), dan ini menjadi basis teori tentang Elite: bahwa persaingan merebut kekuasaan akan memunculkan yang terbaik, yang paling mampu, dan mereka yang mampu memerintah.
Pada kecenderungan psikologis, dikatakan bahwa antagonisme politik akibat dari frustrasi psikologis yang berhubungan dengan konflik dari masa kanak-kanak yang dini yang terkubur dalam alam tidak sadar. Bahwa pengalaman dari masa kanak-kanak mempunyai pengaruh yang menentukan terhadap perkembangan psikologis berikutnnya dari seorang individu. Dalam masa kanak-kanak yang dini, orang tua memegang peranan yang sangat penting; seorang pribadi merumuskan dirinya dalam hubungannya dengan masyarakat melalui mereka. Setelah itu, hubungan orang tua secara tidak sadar mempengaruhi semua hubungan sosialnya yang lain, terutama yang menyangkut otoritas. Kepatuhan pelaku politik untuk tetap berada di jalur hukum dan otoritas pada kondisi yang semakin menyesakkan dan membuka peluang untuk chaos, adalah refleksi psikologis hubungannya dengan orang tuanya. Sebaliknya, kondisi Psikologis pada pelaku politik yang “ngotot” memaksakan “golden ball” pada injury time, adalah prosesi kecemasan dari keterpaksaan atas hilangnya “surgawi” pada masa kanak-kanak yang oleh Sigmund Freud disebut infantile sexuality (seksualitas masa kanak-kanak). Kekuasaan, adalah surgawi yang akan pergi setelah Pilkada. Hal ini sangat mencemaskan. Pengalaman “traumatik” ini akan dibawanya kemasyarakat, dimana dia harus mengganti prinsip kesenangan dengan prinsip kenyataan, “realty principle”, yang berarti dia harus melepaskan kesenangan atau membatasinya dengan sangat keras. Dia tidak lagi menggenggam “rasa ketakutan” orang yang takut dimutasi atau non-job. Dia harus patuh pada peraturan, kewajiban dan larangan yang memaksanya. Konflik antara tuntutan masyarakat dan keinginan untuk kesenangan ini menghasilkan frustrasi yang kemudian menjadi sebab fundamental bagi lahirnya antagonisme sosial.
Dari Antagonisme menuju Integrasi
Integrasi politik tentu menjadi harapan setiap pelaku politik yang sehat. Namun, haruskah integrasi politik dilalui terlebih dahulu oleh jalan “rusak” yang disebut konflik? Memang ada ambivalensi antara Konflik dan integrasi. Walau berhadapan, tapi keduanya juga saling melengkapi. Antagonisme politik menghasilkan konflik, tetapi, juga sekaligus menolong membatasi konflik dan meningkatkan integrasi. Setiap perjuangan berisikan mimpi tentang perdamaian dan merupakan usaha merealisasikan mimpi tersebut. Memang, selayaknya Konflik dan integrasi, dipandang bukan sesuatu yang berlawanan, tetapi menjadi bagian tidak terpisahkan dari proses umum yang sama. Bahwa konflik secara alami akan menuju integrasi, dan antagonisme cenderung - mudah-mudahan- menuju ke arah menghapus dirinya sendiri (self elimination) dan berikutnya menghasilkan harmoni sosial.
Antagonisme adalah sisi lain dari mata uang politik. Itu adalah aksioma yang terkubur peradaban politik berbasis konsensus dan integrasi. Namun, betapapun terabaikan, aksioma itu terbukti solid. Segala upaya untuk membatalkannya selalu rontok di tengah jalan.
Sejarah republik ini membuktikan, Orde Lama gagal mengintegrasikan tiga ideologi dalam satu payung "nasakom". Juga Orde Baru. Politik netralisasi antagonisme Orde Baru lewat doktrin "SARA" berantakan.
Antagonisme
Carl Schmitt, filsuf Jerman, menyebutkan, antagonisme tidak sama dengan permusuhan pribadi yang bisa diselesaikan lewat jabat tangan. Demokrasi liberal adalah catatan sejarah kegagapan mengenali bentuk murni antagonisme. Bagi demokrasi liberal, masyarakat memerlukan konsensus kokoh, berbasis imparsialitas. Dan konsensus itu harus produk dari deliberasi rasional.
Antagonisme menolak demokrasi liberal yang mengambil model deliberatif. Antagonisme bukan sesuatu yang bisa dinegosiasikan layaknya tawar-menawar harga di pasar. Antagonisme juga tidak bisa direduksi menjadi tabrakan kepentingan yang bisa dimusyawarahkan sebab struktur kawan-lawan tidak sama dengan struktur rekan-kompetitor atau teman-musuh. Konsensus dalam kerangka antagonisme selalu bercorak konfliktual.
Riwayat republik ini mengguratkan fakta, konsensus tak pernah tak retak. Konsensus tentang konstitusi, misalnya. Konsensus pelbagai kelompok kepentingan tahun 1945 yang menghasilkan undang-undang dasar menyembunyikan antagonisme. Antagonisme itu tak juga terselesaikan dalam upaya konstituante menyusun undang-undang dasar baru. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 mengakhiri apa yang sebagian kalangan anggap sebagai bulan madu demokrasi liberal.
Akhirnya, masyarakat demokratik diikat nilai yang dipaksakan dari atas. Alias, sebuah antagonisme baru mengemuka. Ikatan nilai itu lalu dimasalahkan berbagai kelompok antagonis yang sedianya tak bersedia diikat. Ledakan politik pun muncul dan orde yang baru mengemuka. Gawatnya, kelompok tertentu dikorbankan dalam transisi ke-orde-an. Sebagai tumbal sejarah, komunis dijadikan semacam spectre guna mengawasi dan mengendalikan berbagai kelompok antagonis.
Kaum muda lalu menjadi pengelompokan paling abstrak dalam struktur politik antagonistik. Namun, kekuatan mereka terbukti kokoh dalam menjebol kejumudan politik kaum tua. Tahun 1998, misalnya, merupakan momen kaum muda menarik garis dari kaum tua yang notabene koruptif. Hanya saja antagonisme dalam masa kanak-kanak reformasi itu amat bercorak "momentuasi". Artinya, momentum yang membuat struktur antagonistik tercipta. Sementara, orang lupa, di dalam kaum muda ada spektrum ideologi yang tidak sederhana.
Terbukti, tidak lama setelah reformasi digulirkan, kaum muda terpecah ke pelbagai pengelompokan baru. Ada yang mengorganisasi diri menjadi partai baru, ada yang bergabung ke partai lama, dan ada yang tetap berdiam di masyarakat sipil. Lalu orang mulai ribut tentang pembajakan reformasi oleh elite lama. Ini agak berlebihan sebab tak bisa disangkal, konsensus yang dibuat kaum muda tahun 1998 bersifat "momentuasi", bukan ideologis. Konsensus yang tercipta tidak meredam antagonisme. Dengan kata lain, ada peluang besar keterpecahan, lalu diambil alih oleh orang-orang lama yang lebih solid.
Tegangan pendek
Pertanyaannya, jika pengelompokan kaum muda begitu abstrak dan mudah pecah, mengapa memiliki daya dobrak? Mengapa sebuah pengelompokan yang sejatinya merupakan agregat ideologi bisa mementalkan kemapanan. Hipotesa saya sederhana. Momentum membuat pengelompokan melupakan perbedaan di antara mereka. Krisis ekonomi yang dirasakan secara merata membuat target mereka jelas: penguasa lalim nan koruptif.
Masalahnya, ketika kekuasaan tidak lagi dijangkarkan pada ideologi tunggal, siapa target operasi kaum muda? Penguasa pascareformasi tidak lagi jelas: liberal, sosialis, atau konservatif? Kaum muda bisa saja menyusun ideologi tanding seperti ekonomi pasar sosial. Namun, pertanyaannya, apakah ideologi itu bisa mewakili spektrum ideologi yang ada pada kaum muda. Apabila saya seorang neoliberal, pasti memiliki persoalan dengan konsensusideologis sosialisme pasar macam itu.
Jawaban lebih teoretis dari hipotesa sederhana saya datang dari filsuf Slavoj Zizek. Dikatakan, politik adalah fenomena purba yang sudah ada sejak Yunani Kuno. Tepatnya saat kaum demos (kaum yang tak tercatat dalam struktur sosial yang mapan) menuntut hak artikulasinya. Mereka menuntut suaranya didengar,dikenali, dan disertakan dalam ruang publik.
Sebilah paradoks mengemuka. Kaum tak terdengar merepresentasikan dirinya sebagai wakil universalitas. Kami yang tidak tercatat dalam struktur sosial mapan adalah rakyat keseluruhan. Kami selaku keseluruhan melawan mereka yang mewakili kepentingan partikular. Maka, konflik politik selalu melibatkan ketegangan antara tubuh sosial yang terstruktur dengan bagian-tanpa-bagian atau bagian yang mengaku keseluruhan. Dalam bahasa Zizek,politik merupakan tegangan pendek antara universal dan partikular yang mendestabilisasi struktur social yang rapi.
Konflik politik bukan sekadar debat rasional antara pelbagai kepentingan guna mencapai saddle point. Konflik politik adalah perjuangan agar artikulasi satu kaum atau kelompok didengar dan dikenali sebagai artikulasi rekan sepadan. Pertaruhan utama bukan isi artikulasi (sosialisme pasar atau liberalisme sosial), tetapi hak untuk didengar selaku rekan sepadan.
Kaum muda adalah kelompok antagonis yang berperan mendestabilisasi kemapanan sosial. Karena itu, soal ideologi biar diurus belakangan.
Juga, jangan mencari-cari konsensus ideologis yang jelas sia-sia. Yang terpenting, tubuh sosial yang sudah terorganisasi rapi dilanda gempa politik berskala tinggi. Itu saja. Setelah itu biarlah satu per satu memilih jalan politik masing-masing. Yang penting, jaringan tetap dijaga dan komunikasi berlanjut sebab jika kaum muda kukuh bertahan sebagai keutuhan, gempa politik akan menimpanya di kemudian hari.
zulfiadi ahmedy
Kata Bijak;
“Setiap manusia mempunyai kekuatan sejarah yang menyingkapkan masa lalunya. Sejarah telah mendudukkan kembali dalam ukuran yang lebih berat dan kokoh bagi yang bersangkutan dan beribu-ribu rahasia dari masa lalu terbit kembali dari lubuk yang tersembunyi dari cahaya matanya. Masih tidak ada sahabat yang tidak mengerti arti mimpi yang akan menjelma menjadi kenyataan sejarah satu saat nanti, karena terkadang masa lalu masih belum semua nampak. Banyak kekuatan yang agaknya belum kita ketahui”
-Friedrich Nietzsche
Senin, 28 November 2011
Antagonisme Politik
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
terima kasih atas materinya karena sudah sangat membantu saya
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusterimakasih bapak zulfiadi ahmedy atas materinya yang sudah membantu saya.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusterima kasih bapak zulfiadi ahmedy atas maerinya yang sudah membantu saya
BalasHapusterima kasih atas materi nya
BalasHapus