Kata Bijak;

“Setiap manusia mempunyai kekuatan sejarah yang menyingkapkan masa lalunya. Sejarah telah mendudukkan kembali dalam ukuran yang lebih berat dan kokoh bagi yang bersangkutan dan beribu-ribu rahasia dari masa lalu terbit kembali dari lubuk yang tersembunyi dari cahaya matanya. Masih tidak ada sahabat yang tidak mengerti arti mimpi yang akan menjelma menjadi kenyataan sejarah satu saat nanti, karena terkadang masa lalu masih belum semua nampak. Banyak kekuatan yang agaknya belum kita ketahui”



-Friedrich Nietzsche

Sabtu, 12 November 2011

Gagalnya Reformasi Birokrasi

Rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap system birokrasi pemerintah dapat diwajarkan, karena melihat dari sisi kemanusiaan yang begitu naïf. Dalam mendapatkan akses pelayanan public misalnya, penyedia akses pelayanan public tadi harus mempertimbangkan sisi kemanusiaan, ketika orang awam yang tingkat pendidikannya rendah, berada dalam golongan menengah ke bawah, kemudian memerlukan akses pelayanan darurat untuk pengurusan administrasi public, ini dapat menjadi salah satu pertimbangannya untuk sedikit memudahkan akses pelayanan public, tapi harus dalam konteks yang bersih dan sehat. Dapat dipastikan bahwa orang lebih memilih diam dan tidak mau repot dalam mendapatkan akses pelayanan public tadi, karena beranggapan sangat sulit dan terkesan terbelit-belit. Pada akhirnya muncul alternative-alternatif lain untuk mendapatkan akses pelayanan public yang lebih mudah dan beresiko pastinya, terutama jika menyangkut dengan hukum. Orang akan memanfaatkan hal-hal yang lebih instant dalam mendapatkan akses pelayanan public tadi, sector yang rentan terjadi adalah pada bidang kesehatan, pengurusan administrasi pubik, seperti pengurusan Kartu Tanda Penduduk (KTP), pengurusan Surat Izin Mengemudi (SIM), dan lain-lain. Modusnya seringkali atau bahkan memang dengan cara-cara kotor dan melanggar hukum, yang seperti membayar petugas (suap), menggelapkan asset Negara, menyelewengkan kewenangan, dan sebagainya. Hal ini dapat berakibat fatal pada perkembangan sumber daya manusia yang optimal, seolah-olah terkesan adanya pendidikan fiktif bahwa birokrasi tersebut harus dimanipulasi secara komprehensif pada semua bidang pelayanan public. Kemudian seperti apa mudahnya mendapatkan akses pelayanan public bagi orang-orang tertentu, misalnya pejabat, militer, dan orang-orang golongan menegah ke atas yang mempunyai kepentingan tertentu, terutama yang menyangkut dengan kepentingan elit politisi. Serta orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat atau “relasi khusus” dengan orang-orang di atas tersebut. Hal tersebut di atas merupakan gambaran bagaimana carut-marutnya system birokrasi dalam akses pelayanan public.
Jika melihat kebelakang maka perjalanan bangsa ini dalam membenahi dirinya dalam hal reformasi birokrasi sebenarnya cukup panjang dan melelahkan. Pada saat orde lama dan orde baru, keberadaan birokrasi disalahartikan oleh penguasa, yang pada akhirnya birokrasi dijadikan tunggangan untuk tetap mempertahankan kekuasaan.
Tahun 1998 seharusnya menjadi tonggak berdirinya sebuah kepemerintahan baru yang mampu menciptakan kesejahteraan umum bagi masyarakat. Berawal dari naiknya harga kebutuhan pokok, sampai langkanya minyak tanah, bahkan harga minyak tanah yang seharusnya dapat disesuaikan oleh kantong rakyat malah melebihi harga bahan bakar premium kendaran bermotor. Suatu hal yang ironis memang. Dan ini tidak sekedar menjadi pekerjaan rumah bagi para wakil rakyat yang konon lebih mementingkan meng-amandemen UUD dari pada memikirkan keadaan rakyat yang sedang mengalami kelaparan akibat terhimpitnya perekonomian keluarga, tetapi menjadi tanggung jawab dunia akhirat bagi mereka. Semenjak reformasi bergulir, gaung reformasi birokrasi telah menjadi agenda bersama dalam mengatasi krisis saat itu, namun justru reformasi birokrasi masih tertinggal jauh dibandingkan dengan reformasi politik dan reformasi perundang-undangan.
Barangkali partai politik - yang telah beralih fungsinya, yang dulunya sebagai jembatan antara rakyat dan pemerintah sekarang menjadi pemutus rakyat dan menjadi reklame birokrasi – lebih mementingkan berapa jumlah kursi di gedung pantat (MPR/DPR) yang akan mereka dapatkan pada pemilihan umum yang akan datang. Fenomena ini bukanlah hal yang luar biasa pada saat sekarang ini, melainkan santapan para wakil rakyat yang heboh akan berapa gaji, tunjangan ini, tunjangan itu yang akan mereka kantongi di balik jas-jas mewah dan safari mereka. Fenomena ini tak lebihnya perceraian selebriti yang haus akan berita harta gono-gini di televisi nasional.
Apakah kinerja mereka sebanding dengan apa yang mereka dapatkan? Pertanyaan ini apabila ditanyakan ke masyarakat luas akan didominasi oleh jawaban yang singkat, padat dan jelas, yaitu Tidak!. Banyak sekali permasalahan yang terjadi di dalam negara ini. Pertama, prahara buruknya birokrasi pemerintah yang semakin lama semakin jauh dari apa yang harusnya dikedepankan pada waktu awal reformasi, yaitu “Good Governance”. Kedua, adanya politisasi birokrasi yang membuat tidak maksimalnya pelayanan public di masyarakat. Ketiga, terjadinya perubahan drastis dalam Undang-Undang, dimana para wakil rakyat lebih mementingkan ke-individualisme mereka dan lebih mengedepankan kroniisme di dalam kebijakan yang mereka buat.
Prinsip-prinsip good governance yang pada awal reformasi didengungkan oleh para petinggi Negara ini dan tak ketinggalan para wakil rakyat, adalah omong kosong belaka. Ketika mereka beranjak naik menjadi penguasa birokrasi, apa yang mereka implementasikan tak sebanding dengan janji-janji mereka. Alih-alih sejahtera, yang ada sengsara.
Banyak sekali contoh yang dapat diambil akibat buruknya birokrasi di negeri ini, antara lain, pertama tragedi tsunami yang menimpa rakyat Aceh, Pangandaran dan Yogyakarta. Kedua tragedi gempa di daerah pesisir barat pulau Sumatera, Papua, selatan Jawa dan sebagian pulau Sulawesi. Ketiga lumpur lapindo di Sidoarjo. Dan masih banyak lagi. Dari sebagian tragedi tersebut, masyarakat yang seharusnya mendapatkan hak mereka akibat menjadi korban, malah menjadi bahasan yang sangat ulet di tingkatan para elite pilitik. Bahkan yang lebih ironis adalah, orang yang bermain dalam lingkungan tersebut dan mengatasnamakan korban bencana tadi.
Dana bantuan yang seharusnya mudah mereka dapatkan dan sangat mereka nantikan, sampai detik ini hanya kurang dari seperempat yang dijanjikan oleh pemerintah. Yang lebih kacau lagi kasus Lumpur Lapindo di Sidoarjo. Dampak yang diakibatkan oleh meluapnya Lumpur sangatlah luas. Dari mulai ditutupnya pabrik-pabrik yang mengakibatkan ribuan karyawan menjadi pengangguran, rumah-rumah masyarakat yang tergenang, para perajin di Sidoarjo, warung-warung kecil, bahkan akses jalan utama ke tiap-tiap desa terputus akibat luapan Lumpur Lapindo. Seharusnya perusaahan yang menaungi lapindo haruslah bertanggung jawab atas apa yang terjadi di Sidoarjo, Jawa Timur. Pemerintah tak perlu menjadikan kasus ini menjadi bencana nasional, karena penyebab terjadinya luapan Lumpur tersebut adalah kesalahan dari Perusahaan tersebut, dan pemerintah tidaklah harus mengganti rugi. Apakah pemerintah takut untuk mengatakan yang sebenarnya terhadap public? Ataukah adanya pemegang saham di perusahaan tersebut menduduki jabatan petinggi negara (Menteri) saat itu? Itu baru satu kasus dari ribuan kasus buruknya kinerja birokrasi di Negara ini.
Tak sedikit pula penyakit birokrasi kita . Masih banyaknya KKN, keserakahan, fanatisme, iri hati, adu domba, hingga adanya perampokan dalam administrasi, pembunuhan karakter, penjajahan, pemalsuan dan rekayasa administrasi membuat bangsa kita semakin terpuruk akibat watak yang rakus di dalam hati para wakil rakyat yang ironisnya kita pilih langsung dalam pemilu. Seharusnya kepercayaan yang telah rakyat berikan terhadap para wakil rakyat yang duduk di dalam lembaga-lembaga tinggi negara dapat mereka kaji dan laksanakan secara benar. Yang terjadi bahkan seperti mencari bagaimana modal kampanye mereka yang telah mereka keluarkan kembali menjadi dua kali lipat. Ironis memang ulah para petinggi negara ini.
Tuntutan untuk segera merealisasikan reformasi birokrasi semakin menguat, tuntutan ini bukan hanya berasal dan masyarakat sipil dan dunia usaha, namun juga dari internal pemerintah semakin mengkristal. Tuntutan yang semakin menguat dari internal Pemerintah sebenarnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan Pengawai Negeri. Dalam hal ini sudah tentu tekanan utamanya adalah adanya kenaikan gaji yang signifikan, begitu juga tentang status kepegawaian mereka.
Masalah penegakan hukum, masyarakat kita masih apatis melihat aparat hukum dalam menyelesaikan suatu kasus. Persoalan utamanya terletaknya sudah hilangkan kepercayaan masyarakat karena kasus – kasus hukum justru berpihak kepada yang berkuasa dan berduit, sebaliknya rakyat biasa hanya akan pasra dihadapan penggawa hukum. Penyimpangan dan jual beli kasus bukan hal yang tabu dilakukan oleh aparat penegak hukum, bahkan dengan gamblang mereka bisa mengatakan ”hukum adalah kami”. Alasan aparat hukum dalam malakukan penyimpangan profesi cukup sederhana; ”Gaji mereka sangat kecil”, sehingga jalan keluar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya adalah menjual hukum itu sendiri.
Reformasi Birokrasi bisa difokuskan pada upaya peningkatan kesejahteraan aparat hukum, dalam hal ini yang akan menjadi fokus adalah Kepolisian, Kejaksaan, Peradilan, dan Militer. Bila dilihat dari kemampuan Anggaran Negara yang tersedia maka keempat instansi tersebut juga belum sepenuhnya dilaksanakan secara bersamaan.
Ketika kebijakan negara tidak dapat menjadi barometer kesejahteraan masyarakat, begitu juga pelayanan yang masyarakat terima. Pelayanan yang seharusnya ditujukan pada masyarakat umum kadang dibalik menjadi pelayanan masyarakat terhadap negara. Pemerintahan milik masyarakat akan tercipta jika birokrat dapat mendefinisikan ulang tugas dan fungsinya. Patut diduga bahwa banyak birokrat yang tidak banyak memahami secara pasti atau setdaknya tidak mengerti filosofi pelayanan yang akan diberikannya sehingga pelayanan publik yang diimpikan oleh masyarakat jauh dari kenyataan yang mereka alami.
Dengan demikian, pelayanan public adalah pemenuhan keinginan dan kebutuhan masyarakat oleh penyelenggara negara. Negara didirikan oleh publik (masyarakat) tentu saja dengan tujuan agar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Sampai kapan negara kita akan mengalami dekadensi dalam birokrasi administrasi pemerintah. Kita harus bangkit, rakyat sesungguhnya tidaklah bodoh, melainkan terlalu pasrah terhadap keadaan mereka dan selalu beranggapan ini adalah cobaan dari Tuhan Yang Maha Esa. Solusi Good Governance yang seharusnya menjadi kunci kebangkitan, seakan terlupakan akibat semakin tebalnya kantong, dompet dan buku tabungan para wakil rakyat. Mari bersama-sama kita bangkit memperbaiki tatanan system birokrasi yang sudah rusak, kita tinggalkan masing-masing kepentingan, kita kedepankan pembangunan suprastruktur, yang birokrasi termasuk dari salah satunya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar