Kata Bijak;

“Setiap manusia mempunyai kekuatan sejarah yang menyingkapkan masa lalunya. Sejarah telah mendudukkan kembali dalam ukuran yang lebih berat dan kokoh bagi yang bersangkutan dan beribu-ribu rahasia dari masa lalu terbit kembali dari lubuk yang tersembunyi dari cahaya matanya. Masih tidak ada sahabat yang tidak mengerti arti mimpi yang akan menjelma menjadi kenyataan sejarah satu saat nanti, karena terkadang masa lalu masih belum semua nampak. Banyak kekuatan yang agaknya belum kita ketahui”



-Friedrich Nietzsche

Jumat, 16 Desember 2011

Renungan; Devitalisasi Militer sebagai kekuatan Politik

Introduksi

Kekuatan politik adalah segala sesuatu yang berperan dan berpengaruh di dalam dunia politik. Kekuatan politik dapat juga dikatakan sebagai segala sesuatu yang terlibat secara aktif dalam kekuatan politik tertentu. Kekuatan politik terbagi menjadi dua, kekuatan politik yang terorganisir dan yang tidak terorganisir. Kumpulan dari orang-orang yang peduli pada isu-isu yang ada, maupun yang berideologi atau persepsi sama kemudian saling mempengaruhi dan berinteraksi satu sama lain, sehingga menghasilkan suatu keputusan bersama.
Kekuatan politik sangat berperan dalam sistem politik Indonesia. Ada banyak kekuatan politik di Indonesia, namun yang benar-benar berpengaruh dan menonjol hanya beberapa saja. Kekuatan-kekuatan politik tersebut adalah TNI atau ABRI, Polri, organisasi cendekiawan, lembaga-lembaga pendidikan (universitas), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Pers, organisasi penelitian, kekuatan politik yang berbasis daerah, kelompok kemasyarakatan yang berbasis pada Agama (NU, Muhammadiyah, dll), buruh dan pekerja, mahasiswa, partai-partai politik, dan masih banyak lagi lainnya. Kekuatan politik Indonesia dapat berupa institusi maupun individu. Contoh kekuatan politik individu yang ada di Indonesia adalah seperti Gus Dur. Meskipun ia tergabung dalam Nahdlatul Ulama (NU), namun ia mempunyai pengaruh tersendiri dalam dinamika politik Indonesia di luar organisasi itu sendiri. Selain itu ia juga merupakan orang yang pernah menjabat sebagai orang nomor satu di Indonesia.
Seorang jurnalis pernah menuliskan hal ini dalam artikelnya, bahwa bila ingin membuat pemerintahan yang utuh, semua kekuatan politik yang ada harus dapat dikuasai atau dimonopoli dengan baik seperti apa yang terjadi pada era Orde Baru pimpinan Soeharto. Setelah 32 tahun lamanya Soeharto menjabat sebagai Presiden RI, rezimnya akhirnya runtuh karena ia kehilangan kuasa atas hal-hal penting yang menjadi penopang pemerintahan pimpinannya. Ketika itu kabinet pemerintahan terpecah belah, DPR menarik dukungannya bahkan sampai memintanya mengundurkan diri, pengusaha-pengusaha swasta yang menjadi penopang modal menjadi tidak tertarik dengan usaha-usaha lokal, bahkan semakin banyak yang menanamkan modal di luar negeri, selain itu militer sedang dihadapkan dengan konflik internal sehingga menjadi terpecah belah. Karena itulah kekuatan-kekuatan politik tersebut harus benar-benar diperhatikan dalam membentuk pemerintahan, bukan berarti harus dimonopoli namun lebih tepat dikatakan harus diselaraskan agar dapat membangun pemerintahan menuju keutuhan dan keselarasan.
Pada karya tulis kali ini, kekuatan politik yang akan dibahas adalah kekuatan politik ABRI atau TNI dalam dinamika politik di Indonesia. ABRI yang kemudian kembali menjadi TNI setelah Polri dipisahkan, merupakan intitusi milter yang tentunya mempunyai pengaruh besar terhadap dinamika politik Indonesia. Melihat sejarah yang ada, anggota militer (purnawirawan) pun bisa menjadi seorang pemimpin negara. Contohnya bisa kita lihat secara jelas yaitu, Presiden RI saat ini, Susilo Bambang Yudhoyono yang merupakan seorang mantan petinggi militer yang berkecimpung di dunia politik.


TNI (ABRI) Sebagai Kekuatan Politik Indonesia

Tentara Nasional Indonesia (TNI) merupakan salah satu kekuatan politik Indonesia yang terbesar dan dapat dikatakan sebagai kekuatan yang berpengaruh besar. Pada awalnya dibentuk dengan nama Badan Keamanan Rakyat (BKR), kemudian bertransformasi menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), lalu diubah lagi menjadi Tentara Keamanan Indonesia (TKI), kemudian diubah lagi menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI), hingga pada bulan November 1958 TNI akhirnya diubah lagi menjadi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). ABRI terbagi lagi dalam Angkatan Darat (AD), Angkatan Laut (AL), Angkatan Udara (AU), dan Kepolisian. Pada dasarnya, meskipun telah melewati perjalanan panjang dalam pembentukannya dan beberapa kali melakukan perubahan nama, kekuatan politik ini dari dulu hingga sekarang bergerak di bidang keamanan dan pertahanan di Indonesia .
Dahulu Jenderal A.H. Nasution mengemukakan gagasan mengenai partisipasi ABRI dalam pemerintahan untuk ikut membina negara tanpa ada niatan untuk memonopoli seluruh kekuasaan. Gagasan ini bertujuan agar ABRI dapat lebih menyatu dengan rakyat dan selalu siap membantu rakyat, tidak hanya mengenai soal keamanan dan pertahanan negara saja tetapi berpartisipasi di setiap permasalahan yang mucul di masyarakat. Gagasan Jenderal A.H. Nasution ini dikenal sebagai konsep ‘Jalan Tengah’ atau Dwifungsi ABRI.
Pada saat ABRI lahir ditengah-tengah kekuatan sosial dan politik yang kurang kuat, kekuatan ABRI sangat diperlukan untuk menutupi cela-cela dalam mengatasi masalah-masalah yang muncul, agar pemerintahan tetap stabil. Pada era Orde Baru pimpinan Soeharto lahirlah konsep ‘Dwi- Sifat dwi-fungsi ABRI bertujuan sebagai institusi formal yang bergerak di bidang pertahanan dan keamanan serta di bidang sosial-politik Indonesia. Fungsi ABRI ini kemudian diperkukuh melalui Undang-Undang. Hal ini tercantum dalam UU No. 16 tahun 1969 tentang Susunan dan Keanggotaan MPR, DPR, dan DPRD serta dicantumkannya fungsi ABRI sebagai ‘alat negara dan kekuatan sosial’, UU No. 20 / 1982, tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertahanan Negara, khususnya pasal 26 dan 28. Kemudian perihal mengenai dwi-fungsi ABRI ini diperkukuh kembali melalui landasan konstitusional dengan mencantumkannya dalam UUD 1945. Tercantum dalam pasal 2 ayat (1) mengenai keanggotaan MPR, pasal 21 mengenai hak DPR mengajukan rancangan Undang-Undang, dan pasal 30 mengenai hak dan kewajiban warga negara dalam usaha membela negara , kemudian Tap MPRS No. II / 1960 semakin menambah leluasa ruang gerak ABRI. Sebagai kelanjutan UU tersebut, dikeluarkan pula UU No. 2 tahun 1988 tentang prajurit ABRI. Dalam UU yang sama, pasal 6, disebutkan secara jelas bahwa ABRI mempunyai peran dwi-fungsi, yaitu sebagai kekuatan pertahanan-keamanan dan sosial-politik.
Sebagai institusi militer, tidak dapat diingkari bahwa ABRI memegang posisi yang sangat berpengaruh pada zaman Orde Baru. Hal ini dikarenakan, pemerintah mendukung sifat dwi-fungsi ABRI sehingga ABRI bisa lebih leluasa bergerak tidak hanya di bidang pertahanan keamanan (hankam), tapi juga bidang sosial-politik terutama setelah diperkukuh melalui berbagai undang-undang. Peran ABRI dalam bidang pertahanan dan keamanan tidak perlu dipertanyakan lagi, dapat dilihat dari sejarah dimana ABRI menjadi salah satu faktor pendukung yang kuat ketika Indonesia memperjuangkan kemerdekaannya sejak dahulu. Ketika itu namanya memang belum menjadi ABRI, namun tetap merupakan institusi yang sama. Fakta lain bahwa ABRI menjalankan fungsi bidang pertahanan dan keamanan adalah ketika pemberontakan PKI dan gerakan-gerakan separatis lainnya di daerah-daerah menjadi reda. ABRI juga membantu Indonesia memperkukuh posisinya di dunia Internasional dengan pengiriman Pasukan Garuda ke barbagai negara untuk membantu menyelesaikan konflik-konflik di negara-negara tersebut.
Pada masa Orde Baru, kekuatan ABRI diberbagai bidang dapat dikatakan dominan, bahkan sampai berperan menjadi co-ruler. Undang-undang mengenai dwi-fungsi ABRI memudahkan para anggotanya untuk lebih leluasa bergerak dalam kehidupan sosial-politik baik dalam pemerintahan atau secara formal, maupun di luar pemerintahan atau secara informal. Selain jumlah anggota ABRI yang bergerak dibidang sosial-politik tergolong banyak, efek atau pengaruh yang dihasilkan juga besar bagi pemerintahan dan masyarakat Indonesia. Besar pengaruhnya dapat dilihat dari kemajuan yang dihasilkan dalam pembangunan. Secara gamblang dapat dikatakan bahwa ABRI ketika itu telah menguasai seluruh aspek-aspek yang ada, baik yang formal maupun informal.
Setelah semuanya berjalan cukup lama, lama-kelamaan sifat dwi-fungsi ABRI ini menjadi suatu doktrin yang menyebar menjadi sifat multi-fungsi ABRI. Semakin lama kegiatan ABRI sebagai institusi militer formal, maupun aktivitas para anggotanya dalam berbagai aspek menjadi semakin meluas. Karena dapat bertindak secara leluasa, apalagi dengan pengukuhan mengenai sifat dwi-fungsi dalam undang-undang, mulai terlihat tindakan-tindakan penyelewengan terutama dari sisi birokrasi kepemerintahan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya divisi-divisi dalam pemerintahan yang dikuasai ABRI mulai dari yang terendah hingga yang teratas. Selain dari sisi politik, dari sisi militer pun ABRI mulai terlihat semena-mena, padahal tujuan utama yang ingin dipenuhi dengan dibentuknya ABRI itu sendiri adalah untuk menjaga pertahanan dan keamanan negara. Namun yang dirasakan masyarakat justru tindak kekerasan terhadap segala bentuk protes atau demonstrasi yang dilakukan berbagai kalangan, selain itu ABRI sering kali menyelesaikan berbagai konflik dengan kekerasan tanpa melakukan pendekatan yang lebih halus terlebih dahulu. Kelamaan masyarakat yang menerima perlakuan seperti itu melihat ABRI hanya sebagai alat kekerasan dan kekuasaan, karena ABRI menghalalkan segala cara agar dapat mempertahankan kekuasaannya. ABRI jadi terlihat sebagai rekan penguasa dibanding institusi militer yang bertujuan untuk menjaga pertahanan dan keamanan negara.
Meskipun demikian, hal ini bukan sepenuhnya menjadi kesalahan ABRI. Pemerintah Orde Baru juga telah banyak membuat ABRI berada di posisi terpojok antara menjalankan kewajiban –atau lebih tepatnya membela majikannya- dibanding berdiri sebagai stabilisator atau pun sebagai dinamisator bagi masyarakat. ABRI, seperti kita ketahui, selama 32 tahun ini telah menjadi alat untuk mempertahankan status quo pemerintahan Soeharto lewat cara militernya. Hal ini lama-kelamaan menjadi sorotan yang cukup tajam di Indonesia. Konflik ABRI, peran dan kekaryaannya yang diimplementasikan lewat doktrin dwi-fungsinya telah membawa pro dan kontra di kalangan masyarakat politik, bahkan masyarakat awam sekalipun, yang kemudian mengakibatkan banyaknya demonstrasi yang bermaksud untuk menumbangkan peran dwifungsi ABRI.
Beberapa pengamat politik mengatakan, sebaiknya ABRI kembali pada posisi semula, yaitu sebagai alat pertahanan negara saja, dengan kata lain meninggalkan peran dwifungsinya. Sedangkan PDI Perjuangan menyatakan bahwa kekuatan politik riil ABRI tetap merupakan suatu hal yang harus diperhitungkan. PDI Perjuangan lebih memilih bersikap realistis dengan mengatakan bahwa perubahan dan penghapusan peran dwifungsi ABRI tidak bisa dilakukan secara mendadak. Alasannya, masyarakat Indonesia sudah sekian lama terbiasa hidup dengan doktrin tersebut, sehingga jika dwifungsi dilepas sama sekali, hal yang mereka takutkan adalah masyarakat awam yang belum matang secara politik akan bertambah bingung.


Menolak kembalinya dwi fungsi ABRI

Wacana Dwi fungsi ABRI harus benar-benar ditolak, tuntutan ini tidak bisa lagi ditawar-tawar, tidak ada lagi garis mundur, karena : pertama, dwiungsi ABRI itulah yang memberi legitimasi kepada para prajurit TNI untuk berpolitik dan menjarah seluruh ruang-ruang kehidupan sipil; kedua: akibat dari dwifungsi itu melahirkan penderitaan dan kesengsaraan bagi rakyat. Seperti pembantaian dalm peristiwa pasca G30 S PKI, Aceh, Tanjung Priok, Lampung, pencaplokan Timor Loro Sae dan Papua Barat, juga korban penculikan, penyiksaan, penghilangan paksa, pemenjaraan tanpa pengadilan, dan perempuan-perempuan korban pemerkosaan yang telah kehilangan kehormatan hidupnya. Dan juga kaum buruh yang yang diupah sangat rendah, petani yang digusur tanahnya dan mereka yang mengalami ancaman terror dan intimidasi. Ketiga: selama dwifungsi ABRI masih bercokol, selama itu pula demokrasi selalu berada di bawah ancaman. Dwifungsi itu ibarat pedang Damocles yang sewaktu-waktu siap memancung leher rezim demokrasi.


REFERENSI

Pontoh, Coen Husain. Menentang Mitos Tentara Rakyat. 2005. Yogyakarta: Resist Book

Samego, Indria. Bila ABRI Menghendaki; Desakan Kuat Reformasi Atas Konsep Dwifungsi ABRI. 1998. Bandung : Mizan

Sundhaussen, Ulf. Politik Militer Indonesia 1945 - 1967. 1986. Jakarta : LP3ES





Zulfiadi Ahmedy

Tidak ada komentar:

Posting Komentar