Kata Bijak;

“Setiap manusia mempunyai kekuatan sejarah yang menyingkapkan masa lalunya. Sejarah telah mendudukkan kembali dalam ukuran yang lebih berat dan kokoh bagi yang bersangkutan dan beribu-ribu rahasia dari masa lalu terbit kembali dari lubuk yang tersembunyi dari cahaya matanya. Masih tidak ada sahabat yang tidak mengerti arti mimpi yang akan menjelma menjadi kenyataan sejarah satu saat nanti, karena terkadang masa lalu masih belum semua nampak. Banyak kekuatan yang agaknya belum kita ketahui”



-Friedrich Nietzsche

Selasa, 22 Oktober 2013

Politik Dinasti Banten dalam Perspektif Bossism dan Local Strongman

Bossism dalam pengertiannya adalah dominasi sebuah lingkungan oleh seseorang. Situasi di mana lingkungan tersebut dikontrol oleh seorang tokoh informal yang punya pengaruh yang besar. Bossism ini biasanya mempunyai kharisma yang kekuasaannya diperoleh secara alamiah dalam masyarakat dan ke-kharisma-an tersebut diturunkan secara kekeluargaan dan kemudian mendapat pengakuan yang lazim dari masyarakat sekitarnya. Bossism menggunakan aset ekonomi dan bergantung pada agen dan sumberdaya milik negara. Bossism dalam kajian yang lebih luas merupakan sistem kontrol politik yang berpusat pada tokoh kuat tunggal (bos) dan biasanya berafiliasi dengan organisasi (misalnya perusahaan kecil) yang kompleks terikat bersama oleh timbal balik dalam memperoleh keuntungan ekonomis dan meraup keuntungan pribadi, dan juga terkadang kepentingan sosial. Bossism ini berada dalam lingkaran masyarakat awam yang mempunyai ketergantungan kebutuhan pada Bos. Kemudian Bos didukung oleh masyarakat awam yang berada dalam kelas rendah, sehingga mampu mengendalikan masyarakat tersebut secara sporadis dan manipulatif untuk kepentingan pribadi. Ketergantungan kepentingan pribadi Bossism yang tidak terlepas pada kebutuhan dasar masyarakat, kemudian berujung pada terciptanya pelayanan-pelayanan informal oleh Bos kepada masyarakat tersebut. Pengendalian sebuah blok masyarakat ini memungkinkan Bos dan organisasinya untuk mengamankan nominasi dalam pemilihan umum atau pengangkatan kandidat untuk jabatan publik. Sebagai imbalan atas suara mereka, Bos menyediakan pelayanan informal, seperti menawarkan perlindungan terhadap masyarakat, bantuan akses yang mudah untuk urusan tertentu, dan penyediaan lapangan kerja dalam skala yang kecil.
Bossism, kemudian secara konseptual adalah istilah yang muncul dari pendapat bantahan Sidel atas konsep “Local Strongmen yang dikemukakan Joel Migdal. Analisa Migdal didasarkan pada studi empiris yang ditemukan pada negara postcolonial pada dekade 1970, temuan Migdal menunjukkan bahwa dalam weak state ternyata terkandung strong society yang didominasi oleh elit tradisional dan local strongmen.[1]
Setidaknya ada tiga pendapat yang diajukan oleh Migdal dalam tinjauan konsep ini. Pertama, Local Strongmen hanya dapat berdiri jika tidak terdapat kontrol sosial yang kuat, fragmentasi atas kontrol memungkinkan aktor ini dapat bergerak bebas dalam memperluas wilayah kekuasaan, termasuk 'bekerjasama' dengan elit negara ataupun birokrat lokal. Kedua, local strongmen umumnya memiliki strategi bertahan dengan menguasai hajat hidup penduduk lokal, yang berdasarkan kondisi ini ia memperoleh basis legitimasi yang kuat di kalangan grassroot. Ketiga, Local strongmen menguasai state agency dan sumber daya, sehingga agenda kebijakan merupakan hasil kompromi dengan kepentingan local strongmen, sehingga pembangunan nasional seringkali terhambat dengan eksistensi local strongmen, kasus ini banyak terjadi di negara dunia ketiga.[2]
Di sini Bossism merupakan bentuk local power broker yang memperoleh posisi monopoli terhadap kekerasan dan sumber daya ekonomi dalam wilayahnya masing-masing seperti penguasaan atas kontrak infrastruktur, kontrak pertambangan atau penebangan kayu, perusahaan transportasi atau aktifitas ekonomi ilegal termasuk diantaranya kemampuan untuk memobilisasi suara dan vote buying.[3] Konsep bossism, berbeda dari patronism, karena tingkat monopoli diperoleh melalui koersi sebagai pilar utama, dan disisi lain otoritas bos, tidak bergantung pada afeksi dan status, melainkan atas dasar hasrat untuk bertindak.
Posisi lokal strongman kemudian merupakan seseorang yang mempunyai kekuatan yang besar, khususnya seseorang yang mampu menunjukan kelebihan kekuatan sebagai salah satu bentuk modal untuk menguasai orang lain dalam sebuah lingkungan yang kecil. Lokal Strongman menggunakan kewenangan dalam posisinya untuk mempengaruhi orang lain agar tunduk kepadanya karena rasa takut. Perilaku strongman yang paling umum adalah menginstruksikan, memerintah dan mengintimidasi. Local strongman biasanya punya relasi yang kuat dengan politik representatif formal, walaupun dia tidak menduduki posisi penting atau jabatan puncak dalam suatu struktural lembaga politik. Tetapi dia punya akses yang besar dan pengaruh yang kuat dalam kelembagaan tersebut, sehingga mampu mengontrol kelembagaan tersebut. Dan pada akhirnya lokal strongman tersebut memperoleh keuntungan sosial politik yang besar dari keberadaan lembaga politik formal tertentu. Menurut kajian Olson & Mc Guire, Local Strongmen adalah para elit politik atau kelompok elit politik yang dibentuk oleh elit politik pusat di daerah dalam suatu Negara. Kemunculan local strongmen di suatu daerah harus ada perstujuan (restu) dari penguasa atau dari patron pusat yang ada di wilayah tersebut atau dari militer. Jika local strongmen ingin naik ke tingkat yang lebih tinggi, maka harus mempunyai modal kapital social, kapital ekonomi, dan kapital politik. Namun pada dasarnya, lokal strongman ini tidak menduduki jabatan puncak pada sebuah lembaga tertentu, dia hanya berada dalam lingkaran pengaruh yang punya implikasi besar terhadap lembaga tersebut, dan lokal strongman ini kemudian mengontrol dan mampu mengatur lembaga tersebut sesuai kehendaknya. Kemudian mengambil keuntungan-keuntungan pribadi, seperti mendapatkan penguasaan perusahaan di tingkat lokal tersebut, penguasaan lahan produktif, dan lain sebagainya. Terdapat letak persamaan antara keduanya, yaitu dalam proses pengamanan kepentingan-kepentingan ekonomi politik mereka. Mereka melanggengkan sistem politik dan kondisi struktural yang dapat menfasilitasi pemenuhan kepentingan-kepentingan mereka dengan cara-cara yang cenderung eksploitatif.
Politik dinasti yang terbangun di provinsi banten tidak terlepas dari pengaruh TB Chasan Sochib. Seorang jawara Banten yang ditakuti dan sangat berpengaruh di Banten, dia menguasai banyak perusaahaan kecil di tingkat lokal. Dan memimpin perkumpulan jawara yang ada di Banten. TB Chasan Sochib pun melindungi secara baik para pengikutnya. Selain itu, TB Chasan Sochib mempunyai banyak jaringan sejak Orde Baru, terutama akses pada Golkar dan Kodam Siliwangi yang berkedudukan di Provinsi Jawa Barat. Dalam hal ini, Militer dan Golkar juga berkepentingan atas kestabilan politik di Banten. Mereka membutuhkan orang lokal sebagai perpanjangan tangan di daerah. Atas kedekatannnya dengan Militer dan pemerintah, TB Chasan Sochib mampu memonopoli kesempatan bisnis yang ada di Banten (ketika masih dalam bagian Prov Jabar). Sampai akhirnya TB Chasan Sochib menguasai organisasi bisnis di Banten, seperti Kamar dagang dan industri (Kadin) Banten, dll.
Menurut penulis, TB Chasan Sochib ini merupakan Bossism yang terbangun di Banten, di mana pada awalnya TB Chasan Sochib menfokuskan kepentingannya pada aspek ekonomi. TB Chasan Sochib yang berasal dari kalangan jawara ini berhasil membangun bosissm yang kuat di Banten dengan memanfaatkan jaringan politik formal yang ada. Namun ketika reformasi terjadi, TB Chasan Sochib mampu mentransformasikan diri ke dalam struktur politik dan ekonomi yang baru. TB Chasan Sochib mampu mengorganisir kekuasaannya sehingga tidak mati tergerus arus perubahan. Bahkan TB Chasan Sochib menjadi new lokal strongmen di Banten yang menguasai arena politik, ekonomi dan sosial budaya di Banten. Jika pada awalnya dia sempat menolak wacana pemekaran Provinsi Banten karena merusak jaringan yang telah dibangunnya dengan militer dan pejabat di Jawa Barat, akan tetapi pada akhirnya dengan memutar haluan dan berperan aktif dalam proses pemekaran Provinsi Banten, dengan melihat kesempatan yang ada, TB Chasan Sochib pun menginisiasi pemekaran Provinsi Banten dari Provinsi Jawa Barat. Dan TB Chasan Sochib memperkuat posisinya di provinsi baru tersebut sehingga berhasil memperkuat posisinya sebagai lokal strongman Banten.
Maka Jika dulu TB Chasan Sochib hanya bertindak sebagai cleint kapitalis dengan jaringan Golkar dan Militer serta tidak ikut dalam mempengaruhi kebijakan politik di Jawa Barat, maka sekarang TB Chasan Sochib menjadi lokal strongman yang mampu mengatur secara aktif proses-proses perpolitikan di Banten. Sampai bahkan berhasil mendudukkan banyak keluarganya pada posisi penting di provinsi Banten, baik pada jabatan politik, sosial, enonomi dan sosial budaya. Sehingga di Banten melahirkan yang namanya politik dinasti. Walaupun tidak memegang jabatan politik secara langsung, dengan memanfaatkan posisinya sebagai lokal strongmen, dia mampu menjadikan keuntungan patronase yang ada untuk membangun politik dinasti di Banten. Hal ini menjadikan hampir semua hak akses politik ekonomi dan sosial kemasyarakatan dikuasai kelompok tertentu yang punya kedekatan dengan TB Chasan Sochib.
Kasus politik dinasti yang terjadi di Banten sangat menarik untuk dicermati, karena berasal dari proses transformasi seorang TB Chasan Sochib dari Bossism yang menjadi lokal strongmen di Banten, sehingga dengan rentetan proses panjang tersebut, terbangunlah politik dinasti kuat yang menguasai ruang lingkup politik, ekonomi dan sosial budaya di Provinsi Banten. Berdasarkan fenomena di atas, tiga pendapat Migdal dalam tinjauan lokal strongman terbukti dalam perspektif TB Chasan Sochib. Sehingga pandangan Migdal dapat dijadikan acuan konsep pokok dalam melihat kasus TB Chasan Sochib ini.



[1] John T. Sidel, Philippine Politics in Town, District, and Province: Bossism in Cavite and Cebu. The Journal of Asian Studies, Vol. 56, No. 4 (Nov., 1997), pp. 949
[2] Joel S. Migdal, Strong  Societies  and Weak States:  State-Society  Relations  and State Capabilities  in the Third World. Princeton:  Princeton  University  Press, 1988. Hlm. 238-258
[3] Antonius Made Tony Supriatma, Menguatnya Kartel Politik Para 'Bos'. Prisma Vol. 28, No. 2, Oktober 2009


Zulfiadi Ahmedy, S.IP
Postgraduate Student of Politic and Goverment Gadjah Mada University
Member of "Aceh Postgraduate Student Association in Yogyakarta" (Himpasay)
Mentmber of;sdsd
Mem

Selasa, 01 Oktober 2013

Kontekstualisasi Nasionalisme Aceh dalam Tinjauan Teoritis

Buku Imagined Communities (2008) karya Benedict Anderson menitik beratkan pada persoalan nasionalisme (paham kebangsaan). Sebagaimana yang dikemukakan bahwa bangsa adalah komunitas politis dan dibayangkan sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan. Anderson menjelaskan bahwa bagaimana nasionalisme terbangun berdasarkan kesadaran yang terbangun dari beberapa atau banyak kaum yang kemudian bersatu dan mendirikan entitas politik yang tidak terbayangkan sebelumnya. Masing-masing kaum tidak mengenal atau punya keterkaitan historis maupun kultural dengan yang lainnya, akan tetapi mereka membentuk sebuah ikatan politis yang bersifat terbatas mengikat dan mengukuhkan kedaulatannya sebagai sebuah bangsa yang baru agar bebas dari segala intervensi dari luar bangsa tersebut. Akhirnya kemudian bangsa ini dibayangkan sebagai sebuah komunitas. Biasanya kaum-kaum yang tergabung dalam komunitas terbayang ini juga mempunyai nasionalisme tersendiri jauh sebelum bangsa baru yang terbentuk seperti diutarakan Anderson. Tapi kemudian ketika tergabung dalam sebuah bangsa baru, nasionalisme ini menjadi etnonasionalism. Perubahan istilah nasionalism ke etnonasionalism merujuk pada makna yang berbeda konteksnya dan berdasarkan perspektif empirik terbentuknya sebuah entitas baru yang disebut oleh Anderson sebagai komunitas terbayang yang berwujud sebuah bangsa. Etnonasionalisme merupakan paham kebangsaan yang didasarkan pada sentimen suku, ras, agama sebagai dasarnya. Etnisitas atau semangat etnosentris kemudian dimanifestasikan ke dalam suatu entitas politik yang sering disebut dengan negara bangsa. Perspektif etnis di sebuah negara, merujuk pada kelompok-kelompok kecil yang mempunyai sejarah panjang dan budaya tersendiri dalam sebuah negara. Konsensus gerakan etnonasionalisme ini secara fundamental terletak pada problematik politisasi kebangsaan dan primordialistik daripada masalah ekonomi. Hal ini kemudian menjadi masalah baru bagi keutuhan nasionalisme, dan Anderson tidak menalaah hal tersebut secara komprehensif. Pembahasan Anderson hanya terbatas pada sub-nasionalism yang beragam di Indonesia. Anderson hanya membayangkan bangsa hegemonik baru tanpa memperhatikan bangsa yang ada sebelumnya. Dia tidak membayangkan kemudian bahwa terdapat gejala-gejala yang lebih merusak kaidah pendapatnya tentang sebuah bangsa baru sebagai komunitas terbayang ini.  
Dalam buku “Masalah Kesukubangsaan dan Integrasi Nasional” karya Koentjaraningrat tahun 1993 menyebutkan dalam prolognya bahwa “Suatu gejala penting yang terdapat  dalam berbagai peristiwa di dunia selama dua dasawarsa terakhir adalah timbulnya gerakan-gerakan etnik, dengan adanya sukubangsa-sukubangsa atau golongan-golongam etnik yang menuntut otonomi yang lebih besar –atau pun kemerdekaan- dari negara tempat mereka bermukim sebagai warganegaranya”. Dalam konteks kebangsaan yang lebih besar, gejala etnonasionalisme ini dapat pula dipandang sebagai pendefinisian rasa kebangsaan kepada ikatan-ikatan yang lebih primordialistik. Diperparah dengan sudut pandang bahwa etnonasionalisme dipandang sebagai hilangnya rasa loyalitas terhadap sebuah kesepakatan bersama untuk mendirikan entitas politik yang lebih besar. Gejala disintegrasi bangsa Indonesia dengan basis pengertian etnonasionalis dapat pula dipandang sebagai fenomena pemberontakan lokal dengan skala yang besar karena berkeinginan untuk memerdekakan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) untuk mewujudkan kembali bangsa yang pernah ada sebelumnya.
Untuk kasus di Indonesia, nasionalisme terbentuk karena akar pembentukan kesadaran kebangsaan indonesia awalnya justru terbentuk dari gerakan-gerakan etnonasionalime di nusantara. Keinginan bersama ini untuk mewujudkan sebuah bangsa baru yang kemudian disebut sebagai komunitas terbayang. Seperti yang disebutkan oleh Benedict Anderson dalam bukunya Imagined Communities (2008) bahwa bangsa adalah komunitas politis dan dibayangkan sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan. Di sini Anderson mempersepsikan nasionalisme sebagai wujud hasil budaya dari sebuah komunitas, untuk memahaminya harus dilihat bagaimana ke-nasional-an dapat muncul secara historis. Nasionalisme muncul sebagai hasil akulturasi berbagai kekuatan historis beberapa kaum, lalu diikat dengan sebuah ideologi kesadaran masing-masing kaum bahwa akan adanya sebuah rasa kepentingan bersama, dan akhirnya dibentuk suatu tatanan politis sebagai simbol persatuan sebuah komunitas baru tersebut. Kemudian semua kaum dalam bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka. Dasar ini sangat tidak kuat jika dikaji lebih lanjut untuk kasus Indonesia dikarenakan masing-masing etnis terbangun atas kerajaan-kerajaan yang pernah ada sebelum Indonesia terbentuk dan sangat menyatu dengan segala sisi kehidupan masing-masing bangsa. Sehingga primordialistik yang mengarah ke etnonasionalisme tidak serta merta hilang begitu saja hanya untuk ikatan kesatuan entitas baru. Kemudian pemahaman yang didapat dalam “Imagined Community” bahwa bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa (yang kecil sekalipun) tidak tahu dan tidak kenal dengan anggota-anggota lainnya. Pendapat Koentjaraningrat tentang permasalahan gerakan etnik yang berpengaruh terhadap integrasi nasional yang yang muncul kemudian di atas semakin memperkuat analisis sebelumnya tentang gerakan etnonasionalism yang mengancam nasionalisme, yang walaupun dasarnya etnonasionalism-lah yang membentuk dasar-dasar kekuatan nasionalism atas dasar historis yang sama secara politis. Pendapat Koenjaraningrat ini kemudian dapat menutupi sisi lemah pendapat Anderson, terutama dari sisi telaah pembentukan nasionalism dari etnasionalism yang tidak pernah disebutkan olehnya.
Dengan adanya beberapa analisis di atas, dapat dilihat bahwa sistem nasionalisme Indonesia rapuh dan sangat mudah untuk terjadinya disintegrasi. Munculnya gerakan etnonasionalism dalam beberapa dekade terakhir di Indonesia juga menunjukan bahwa tidak benar jika nasionalisme menjadi satu paham kebangsaan yang kokoh. Di sini kemudian Benedict Anderson menempatkan komunitas terbayang sebagai sebuah bangsa Indonesia dengan berbagai masalah kebangsaannya yang sangat kompleks. Kasus Aceh dan Papua menjadi contoh konkrit bahwa nasionalisme seperti yang diutarakan Benedict Anderson kurang tepat di Indonesia. Indonesia yang terdiri dari ribuan etnis pasti memiliki etnonasionalism-nya masing-masing walaupun tidak sampai terjadi disintegrasi dengan eskalasi yang besar, akan tetapi kemudian etnonasionalism berbagai daerah di Indonesia berwujud dengan aktivitas yang mengarah kepada permintaan hak secara lebih dari negara untuk kaumnya masing-masing. Etnonasionalis ini sebenarnya merupakan cara pandang yang dapat merusak ikatan nasionalisme yang lebih besar. Hal ini jelas melanggar kesepakatan-kesepakatan dari beberapa entitas politik lokal untuk membentuk suatu komunitas yang lebih besar ini dalam ikatan geopolitik yang kuat dan mapan.
Jacques Bertrand berpendapat dalam bukunya Nationalism and Ethnic Conflict in Indonesia yang diterbitkan pada 2004 bahwa letak masalah yang timbul dalam konflik etnis di Indonesia diawali oleh masalah pemahaman nasionalisme yang tidak mampu ditafsirkan secara faktual dan dinegosiasikan oleh Negara (kemudian disebut dengan Lembaga Pemerintah) terhadap etnis yang ada di Indonesia. Hal ini memicu konflik yang bersifat etnosentris yang menuntut hak lebih bahkan yang lebih ekstrim dalam keberadaanya di Indonesia sehingga menjadi awal dari disintegrasi. Faktor etnonasionalism yang memunculkan disintegrasi ini semakin diperkuat dengan realitas bahwa Lembaga Pemerintah tidak mampu menaungi kepentingan semua etnis yang ada, bahkan cenderung menafikan etnonasionalism yang membangun nasionalism. Terbangunlah sebuah pemahaman bersama yang mengikat dalam perspektif primordialistik untuk memperoleh haknya tersebut, pemahaman ini kemudian disebut dengan etnonasionalism. Lembaga negara yang kemudian menjadi sangat sentralisik memperkuat ilusi etnonasionalism di beberapa daerah. Pendapat Bertrand ini memperkuat pendapat Koentjaraningrat tentang bagaimana etnonasionalism terbentuk dan menjadi antitesa nasionalism sebagai ideologi perlawanan terhadap negara di beberapa daerah, seperti Aceh dan Papua. Walaupun hal ini menjadi absurd ketika dilihat dari perspektif kemajemukan yang membentuk bangsa Indonesia. Untuk kasus di Indonesia, etnonasionalism berevolusi dari diferensiasi etnis yang diciptakan oleh historis dan konflik masa lalu. Berbagai kerajaan-kerajaan di nusantara merasa memiliki kepentingan bersama melawan penjajah Belanda. Lalu bersepakat untuk kemudian mendirikan suatu bangsa baru atas dasar kepentingan bersama. Bangsa baru inilah yang kemudian disebut Anderson sebagai Komunitas Terbayang. Namun di sini Bertrand membiaskan pendapat Koentjaraningrat, yaitu gelaja etnonasionalism berawal dari dalam rasa primordialistik itu sendiri dan dipandang mampu membangkitkan semangat perlawanan terhadap Negara. Bertrand justru berpendapat bahwa etnonasionalisme timbul akibat penafsiran faktual yang tidak memenuhi kepentingan etnis oleh Negara itu sendiri. Letak pertemuan dua konsep ini lalu ketika simpul keberadaan negara atas etnis menjadi sentral dalam mengakomodasi seluruh kepentingan etnis tersebut. Jadi di sini nasionalisme harus menjadi perhatian penting oleh negara untuk menjadikan nasionalisme tersebut sebagai ikatan yang lebih besar bagi seluruh etnis dalam integrasi Indonesia.
Ahmad Taufan Damanik dalam bukunya “Dari Imajinasi Negara Islam ke Imajinasi Etno-Nasionalis” yang terbit pada tahun 2010 mengkaji pemikiran Hasan Tiro tentang wacana pembentukan identitas politik Aceh. Kajian Damanik ini dilakukan dengan pendekatan study linguistik, berupa penelusuran teks-teks atau bahasa yang digunakan DI/TII dan GAM (terutama kedua pemimpinnya), pendekatan ini tidak dimaksudkan untuk menafikan objek material historis yang meliputi dan melatarbelakangi sejarah perlawanan Aceh kontemporer. Damanik menyebutkan bahwa kemerdekaan Aceh, sebagai a new social imaginary, semakin mengkristal dan menghegemoni wacana politik di Aceh. Sebaliknya, wacana hegemonik ini sekaligus menandai bubarnya wacana nasionalisme Indonesia di dalam benak orang Aceh. Pendapat Damanik ini mendukung pemikiran Bennedict Anderson mengenai konsep nasionalisme yang tampaknya relevan untuk kasus etnonasionalism yang terjadi di Aceh. Bahkan Damanik mutlak menempatkan pandangan Anderson dalam kasus di Aceh, antara lain bagaimana Damanik berpandangan bahwa Hasan Tiro membayangkan sebuah komunitas baru berbentuk pemahaman kebangsaan lain dalam bingkai Indonesia. Hal ini kemudian menjadi telaah khusus Damanik dalam melihat kasus Aceh.
Nationalism yang secara antropologis disebut Anderson sebagai imagined community di mana wacana pembentukan identitas politik Aceh kemudian bertransformasi ke wacana hegemonik nasionalisme lokal. Anderson berpandangan bahwa nasionalism dipahami dengan bagaimana konsep-konsep nasionalism tersebut “telah menjadi kemenjadian sejarah, di dalam cara-cara dimana makna-maknanya telah berubah sepanjang waktu”. Ini kemudian didasarkan secara konkrit oleh Damanik dalam perspektifnya melihat kasus Aceh, Damanik mengemukakan komunitas terbayang tentang Indonesia akan sangat bergantung di dalam cara mana hubungan antara Aceh dan Indonesia diartikulasikan dan bagaimana hubungan itu berubah setiap saat. (Damanik, 2010; 17). Kemudian perspektif yang diberikan Damanik juga didasari secara kuat pada pendapat Koentjaraningrat, yaitu “suatu gejala penting yang terdapat  dalam berbagai peristiwa di dunia selama dua dasawarsa terakhir adalah timbulnya gerakan-gerakan etnik, dengan adanya sukubangsa-sukubangsa atau golongan-golongam etnik yang menuntut otonomi yang lebih besar –atau pun kemerdekaan- dari negara tempat mereka bermukim sebagai warganegaranya” (Koentjaraningrat, 1993; 1). Jadi Damanik menelaah konsep Aceh dengan didasari teori yang berbeda namun diformulasikan dengan sangat jelas dalam sebuah konsep yang tepat. Perspektif keilmuan yang tepat dalam menempatkan teori Anderson untuk konteks Aceh di mana konstelasi ideologi politik yang terus-menerus akan memengaruhi bentuk gagasan nasionalisme mau pun prakteknya di dalam kehidupan sosial politik suatu masyarakat. Konstelasi itu pula yang menyebabkannya mengalami pasang-surut yang tidak pernah henti, meski adakalanya bubar atau memecah menjadi beberapa sub-nasionalisme yang kemudian berdiri sendiri. Dengan begitu, menjadi penting untuk menelaah bagaimana identitas Aceh bertindak sebagai sebuah elemen pendukung, dan secara khusus bagaimana elemen tersebut menyediakan sebuah penafsiran, merespon dan mereaksi proses perkembangan komunitas terbayangkan tersebut.


 Rujukan Teori
Hasan Tiro, Dari Imajinasi Negara Islam ke Imajinasi Etno-Nasionalis. Ahmad Taufan Damanik, terbit tahun 2010.
Imagined Communities: Reflection on the Origin and Spread of Nationalism. Benedict Anderson, terbit tahun 2002.
Masalah Kesukubangsaan dan Integrasi Nasional. Koentjaraningrat, terbit tahun 1993.
Nationalism and Ethnic Conflict in Indonesia. Jacques Bertrand, terbiat tahun 2004.



Zulfiadi Ahmedy, S.IP
Mahasiswa Pascasarjana Politik & Pemerintahan UGM Yogyakarta
Anggota Himpunan Mahasiswa Pascasarjana Aceh di Yogyakarta (Himpasay)

Selasa, 24 September 2013

Melupakan Hasan Muhammad di Tiro

Simpul sejarah Aceh kontemporer tak lekang dari sosok Tgk Muhammad Hasan Di Tiro. Menurut Cornelis Van Dijk, sejarawan asal Rotterdam Belanda, Hasan Muhammad di Tiro disebut sebagai seorang yang memiliki inteligen tinggi, berpendidikan baik, yang diberkahi dengan kombinasi yang jarang terdapat pada orang kebanyakan, yakni pesona dan keteguhan hati (Burham: 1961).
Hasan Muhammad di Tiro (25 September 1925 – 3 Juni 2010), salah satu tokoh besar yang dimiliki Aceh, baik dari keturunan maupun dari kejenuisan dan keteguhan hati dalam memperjuangkan harga diri bangsa Aceh. Secara lengkap, namanya adalah Dr. Tengku Hasan Muhammad di Tiro, LL.D. Menurut salah seorang keluarga Hasan Muhammad di Tiro, Tengku Musanna Tiro, gelar Tengku ini (bukan Teungku) merupakan gelar bagi keturunan Tengku Tjhik di Tiro Muhammad Saman. Hasan Muhammad di Tiro merupakan tokoh kharismatik yang dihormati masyarakat Aceh ini adalah sosok yang sangat cinta Aceh. Kecintaannya terhadap Aceh sama seperti kecintaannya terhadap Indonesia pada awalnya. Awalnya Ia mengabdi sepenuh hati untuk Republik Indonesia. Bahkan saat berumur 20 pada tahun 1945 ia ikut dalam Barisan Pemuda Indonesia (BPI) Tanjong Bungong, Pidie. Dalam beberapa tulisan disebutkan bahwa Hasan Muhammad di Tiro muda mendapat banyak pelajaran tentang nasionalisme dari gurunya, HM Nur El-Ibrahimi. Pada 24 September 1945, keluarga besar Tiro, termasuk pamannya Umar Tiro, mengaku setia kepada Indonesia. Ia juga pernah mendapat beasiswa dari Pemerintah Indonesia untuk kuliah di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Karena kecerdasannya, Hasan Muhammad di Tiro direkomendasikan Teungku Daud Beureueh kepada Perdana Menteri Indonesia waktu itu, Syafruddin Prawiranegara, untuk kuliah di UII Yogyakarta. Hasan Muhammad di Tiro diterima di Fakultas Hukum dan tamat tahun 1949. Di Universitas ini namanya tercatat sebagai pendiri Pustaka Universitas Islam Indonesia (UII) bersama Kahar Muzakkar, tokoh Sulawesi Selatan yang kelak menggerakkan pemberontakan DI/TII bersama Daud Beureueh dan Imam Kartosuwiryo (1953-1962). Saat umurnya 25 tahun, Hasan Muhammad di Tiro terpilih sebagai mahasiswa yang mendapat beasiswa untuk melanjutkan pendidikan program magister dan doktoral di Universitas Columbia, Amerika Serikat (AS). Ia kuliah di Jurusan Politik dan Hukum Internasional.
Komitmen Hasan Muhammad di Tiro untuk Aceh berdiri sendiri dalam bingkai Syariat Islam lewat kemerdekaan penuh tidak pernah padam, sebagaimana pendahulu dan pejuang Aceh lainnya ketika mengusir kolonialis Belanda. Komitmennya untuk Aceh tidak perlu diragukan lagi. Membuka kembali mata rakyat Aceh dan meninggalkan pelajaran kepada tentang sebuah harga diri dan marwah. Bagi sebagian orang Aceh, Hasan Muhammad adalah pejuang sekaligus pahlawan. Hasan Muhammad di Tiro adalah sosok sentral yang mempertinggi posisi tawar Aceh di mata Jakarta. Menurut Taufik Al-Mubarak dalam sebuah tulisannya menyebutkan, sisi pemikiran Hasan Muhammad di Tiro sangat pantas disetarakan dengan pemikir nasionalis lainnya seperti Natsir dan Hatta, dan jiwa patriotisme Hasan Muhammad di Tiro sepadan dengan Gandhi dan Mandela. Penilaian ini sangat mendasar dan harus diakui mengingat banyaknya karya yang dihasilkan oleh Hasan Muhammad di Tiro dan besarnya pengaruh beliau selama tiga dekade terakhir di Aceh. Karya-karya yang dihasilkan beliau membuktikan bahwa beliau jenius dan begitu paham tentang Aceh, dimulai dari tugas akhir beliau pada Universitas Islam Indonesia pad 1949 dengan judul Perang Atjeh 1873-1927”. Kemudian dilanjutkan dengan disertasi dokttor pada Universitas Columbia, Amerika Serikat yang berjudul “Konstitusionalisme Kesultanan Aceh”. Banyak karya hasil pemikiran beliau, antara lain Demokrasi Untuk Indonesia, Indonesia Nationalism, A Westtern Invention To Subvert Islam And To Prevent Decolonization Of The Dutch East Indies, Masa Depan Politik Dunia Melayu, dll.
Hasan Muhammad di Tiro menjelajahi sejarah, menulis sekian pandangan tentang nasionalisme Aceh (etnonasionalism). Pada karyanya yang lain, “Atjeh Bak Mata Donja” (Aceh di Mata Dunia) yang ditulis dalam bahasa Aceh dan dicetak sebanyak tiga kali, pertama di New York pada 15 Maret 1968, kedua di Glee Mamplam pada 1977 dan yang ketiga di Stockholm pada 1984. Hasan Muhammad di Tiro menguraikan kausalitas hilangnya kesadaran historis dan politis rakyat Aceh setelah Perang Belanda. Beliau mulai merekonstruksi sejarah Aceh, dan menelaah kembali segala upaya integrasi dengan Indonesia. Dalam tulisan ini pula Hasan Muhammad di Tiro menjelaskan tentang peperangan Aceh dengan Belanda dengan tiga fase peperangan, yang pertama pada 5-23 April 1873, kemudian pada Desember 1873 sampai Desember 1911 dan yang terakhir pada 1911 sampai dengan Maret 1942. Selama peperangan ini Aceh tidak pernah mengalami kekalahan dan Sultan Aceh tidak pernah menyerahkan kedaulatannya kepada Belanda walaupun Sultan Aceh sudah tertangkap Belanda. Dalam tulisan ini Hasan Muhammad di Tiro menanamkan rasa nasionalisme ke-Aceh-an, membuka kembali sejarah bahwa Aceh adalah bangsa besar yang diakui kedaulatannya oleh dunia. Aceh adalah suatu bangsa di dunia seperti bangsa lain juga, mempunyai sejarah, dan bahasa sendiri. Sejak tahun 1873 lebih dari ratusan ribu rakyat Aceh kehilangan nyawanya dalam usaha mengusir kolonialis Belanda dari Aceh. Bagi pendukung kemerdekaan Aceh ketika ini, pengorbanan itu merupakan tindakan memerdekakan diri dari penjajah Belanda, bukan merupakan perjuangan untuk memerdekakan Indonesia seperti yang yang dikatakan nasionalis Indonesia. Sementara para pakar sejarah Indonesia melihat sebagai sebuah dukungan dan persetujuan atas dasar kehendaknya sendiri untuk bergabung dengan Indonesia, karena sama-sama mengusir kolonialis Belanda dari nusantara. Hasan Muhammad di Tiro mengemukakan bahwa perjuangan rakyat Aceh dalam mengusir Kolonialis Belanda pada masa itu bukan sebagai perjuangan memerdekaan Indonesia, namun perjuangan mempertahankan marwah, harga diri dan kedaulatan bangsa Aceh. Nasionalisme ke-Aceh-an sangat ditegaskan oleh Hasan Muhammad di Tiro dalam tulisan ini, pemikirannya mempengaruhi kejiwaaan rakyat Aceh sehingga menumbuhkan kembangkan kembali semangat rakyat Aceh tentang mempertahankan harga diri dan kehormatan Aceh sebagai bangsa yang besar dan pernah diakui dunia.
Terlepas dari sejarah bahwa beliau yang pada awalnya pernah menaruh simpati pada Indonesia dan akhirnya berontak, kita melihat rasa nasionalis beliau yang tidak pernah pudar terhadap Aceh, dengan keteguhan hati rela meninggalkan keluarga dan kekayaan di New York hanya untuk memperjuangkan harga diri bangsa Aceh, hanya segelintir orang normal mampu melakukan hal tersebut. Dengan melihat realitas bahwa Aceh adalah pernah berdaulat sebagai sebuah bangsa yang besar dan diakui oleh bangsa-bangsa lainnya di dunia, beliau paham akan sebuah arti penting kedaulatan sejarah bangsa Aceh dan bagi kita sendiri setidaknya sadar bahwa sebuah harga diri sangat penting untuk kita pertahankan dan harus dibela.
Sangat miris jika melihat keadaan sekarang di berbagai belahan Aceh, nama Hasan Muhammad di Tiro sudah mulai dilupakan, baik oleh “ideolog ke-Aceh-an” maupun masyarakat Aceh umumnya. Simbolisasi Hasan Muhammad di Tiro hanya terbatas pada saat kampanye politik dan acara seremonial yang sangat rendah nilai dan sifatnya. Terbukti ketika tanggal 3 Juni 2013, tepat pada hari 3 tahun meninggalnya beliau, tidak ada kegiatan apapun yang bersifat peringatan khusus untuk pejuang Aceh kontemporer ini. Hal ini adalah proses melupakan makna sejarah yang seringkali terjadi secara berulang di Aceh. Orang Aceh hanya tenggelam dalam euforia sejarah tanpa tahu cara memaknai dan bahkan tidak mampu untuk memulai kembali kejayaan sejarah itu sendiri.
Kebanyakan anak-anak muda Aceh bahkan tidak tahu siapa sosok besar berdarah Aceh dan berjuang untuk Aceh ini, kepekaan mereka tergerus situasi monopolistik di Aceh, yang berkembang secara pesat tanpa tahu kausalita yang terjadi di Aceh di balik semua itu. Kehilangan kesadaran akan sebuah makna harga diri yang didoktrinkan oleh Hasan Muhammad di Tiro yang terjadi pada kawula muda sebenarnya diakibatkan oleh orang-orang tua Aceh terutama “ideolog ke-Aceh-an” yang sibuk mempreteli Aceh semau mereka tanpa mempertimbangkan konsekuensi masa depan yang akan terjadi pada generasi muda Aceh. Padahal semua perjuangan yang dilakukan oleh Hasan Muhammad di Tiro tidak dimaksudkan untuk beliau sendiri apalagi untuk sebuah golongan, tapi untuk semua rakyat Aceh terutama untuk generasi Aceh berikutnya agar mereka hidup nyaman dengan harga diri yang mereka punya.
Jadi mari semua bertanggung jawab untuk sebuah makna harga diri yang diajarkan oleh Hasan Muhammad di Tiro, bertanggung jawab pada seluruh generasi yang berdarah Aceh nantinya akan sebuah resiko gelar kita sebagai orang Aceh. Sepatutnya kita penerus bangsa Aceh bangga dengan adanya tokoh kaliber dunia yang lahir di tanah Aceh, yang telah membuka mata dunia bahwa eksistensi Aceh pernah diperhitungkan sebagai sebuah bangsa yang besar, yang mengajarkan kita semua akan sebuah arti harga diri, sudah selayaknya kita menelaah sendiri rasa nasionalis ke-Acehan dalam diri kita, dan melawan semua penindasan harga diri terhadap bangsa Aceh. Semoga semangat Hasan Muhammad di Tiro kembali ditanamkan dalam benak dan jiwa kita masing-masing sebagai dasar kemauan untuk memajukan Aceh yang seutuhnya. Selamat Ulang Tahun Hasan Muhammad di Tiro semoga pengorbananmu akan dilanjutkan sebagai manifestasi kejayaan Aceh.

Zulfiadi Ahmedy, S.IP
Mahasiswa Pascasarjana Politik & Pemerintahan UGM Yogyakarta
Anggota Himpunan Mahasiswa Pascasarjana Aceh Yogyakarta (Himpasay)


tulisan ini dimuat di atjehpost.com pada Kamis, 26 September 2013

Minggu, 02 Juni 2013

In Memoriam Hasan Muhammad di Tiro, 3 Juni 2010 - 3 Juni 2013

Simpul sejarah Aceh tak lekang dari sosok Tgk Muhammad Hasan Di Tiro. Menurut Cornelis Van Dijk, sejarawan asal Rotterdam Belanda, Hasan Muhammad di Tiro disebut sebagai seorang yang memiliki inteligen tinggi, berpendidikan baik, yang diberkahi dengan kombinasi yang jarang terdapat pada orang kebanyakan, yakni pesona dan keteguhan hati (Burham: 1961).
Hasan Muhammad di Tiro (25 September 1925 – 3 Juni 2010), salah satu tokoh besar yang dimiliki Aceh, baik dari keturunan maupun dari kejenuisan dan keteguhan hati dalam memperjuangkan harga diri bangsa Aceh. Komitmennya untuk Aceh berdiri sendiri dalam bingkai Syariat Islam lewat kemerdekaan penuh yang tidak pernah padam, sebagaimana indatu dan pejuang Aceh lainnya ketika mengusir kolonialis Belanda. Komitmennya untuk Aceh tidak perlu diragukan lagi. Membuka kembali mata rakyat Aceh dan meninggalkan pelajaran kepada kita semua tentang sebuah harga diri dan marwah, adalah pejuang sekaligus pahlawan bagi rakyat Aceh. Kita semua tahu bahwa Hasan Tiro adalah sosok sentral yang mempertinggi posisi tawar Aceh di mata Jakarta. Dari segi pemikiran, Hasan Muhammad di Tiro sangat pantas disetarakan dengan pemikir nasionalis lainnya seperti Natsir dan Hatta, dan jiwa patriotisme Hasan Muhammad di Tiro sepadan dengan Gandhi dan Mandela.
Terlepas dari sejarah bahwa beliau yang pada awalnya pernah menaruh simpati pada indonesia dan akhirnya berontak, kita melihat rasa nasionalis beliau yang tidak pernah pudar terhadap Aceh, dengan keteguhan hati rela meninggalkan keluarga dan kekayaan di New York hanya untuk memperjuangkan harga diri bangsa Aceh, hanya segelintir orang normal mampu melakukan hal tersebut. Dengan melihat realitas bahwa Aceh adalah pernah berdaulat sebagai sebuah bangsa yang besar  dan diakui oleh bangsa-bangsa lainnya di dunia, beliau paham akan sebuah arti penting kedaulattan sejarah bangsa Aceh dan bagi kita sendiri setidaknya sadar bahwa sebuah harga diri sangat penting untuk kita pertahankan dan harus dibela.
Karya-karya yang dihasilkan beliau membuktikan bahwa beliau jenius dan begitu paham tentang Aceh, dimulai dari ttugas akhir beliau pada Universitas Islam Indonesia pad 1949 dengan judul Perang Atjeh 1873-1927”. Kemudian dilanjutkan dengan disertasi dokttor pada Universitas Columbia, Amerika Serikat yang berjudul “Konstitusionalisme Kesultanan Aceh” . banyak karya hasil pemikiran beliau, antara lain Demokrasi Untuk Indonesia, Indonesia Nationalism, A Westtern Invention To Subvert Islam And To Prevent Decolonization Of The Dutch East Indies, Masa Depan Politik Dunia Melayu, dll.
Hasan Muhammad di Tiro menjelajahi sejarah, menulis sekian pandangan tentang nasionalisme Aceh. Pada karyanya yang lain, “Atjeh Bak Mata Donja” (Aceh di Mata Dunia) yang ditulis dalam bahasa Aceh dan dicetak sebanyak tiga kali, pertama di New York pada 15 Maret 1968, kedua di Glee Mamplam pada 1977 dan yang ketiga di Stockholm pada 1984. Hasan Muhammad di Tiro menguraikan kausalitas hilangnya kesadaran historis dan politis rakyat Aceh setelah Perang Belanda. Beliau mulai merekonstruksi sejarah Aceh, dan menegasi kembali segala upaya integrasi dengan republik. Dalam tulisan ini pula Hasan Muhammad di Tiro menjelaskan tentang peperangan Aceh dengan Belanda dengan tiga fase peperangan, yang pertama pada 5-23 April 1873, kemudian pada Desember 1873 sampai Desember 1911 dan yang terakhir pada 1911 sampai dengan Maret 1942. Selama peperangan ini Aceh tidak pernah mengalami kekalahan dan Sultan Aceh tidak pernah menyerahkan kedaulatannya kepada Belanda walaupun Sultan Aceh sudah tertangkap Belanda. Dalam tulisan ini Hasan Muhammad di Tiro menanamkan rasa nasionalisme ke-Aceh-an, membuka kembali sejarah bahwa Aceh adalah bangsa besar yang diakui kedaulatannya oleh dunia. Aceh adalah suatu bangsa di dunia seperti bangsa lain juga, mempunyai sejarah, dan bahasa sendiri. Sejak tahun 1873 lebih dari ratusan ribu rakyat Aceh kehilangan nyawanya dalam usaha mengusir kolonialis Belanda dari Aceh. Bagi pendukung kemerdekaan Aceh ketika ini, pengorbanan itu merupakan tindakan memerdekakan diri dari penjajah Belanda, bukan merupakan perjuangan untuk memerdekakan Indonesia seperti yang yang dikatakan nasionalis Indonesia. Sementara para pakar sejarah Indonesia melihat sebagai sebuah dukungan dan persetujuan atas dasar kehendaknya sendiri untuk bergabung dengan Indonesia, karena sama-sama mengusir kolonialis Belanda dari nusantara. Hasan Muhammad di Tiro mengemukakan bahwa perjuangan rakyat Aceh dalam mengusir Kolonialis Belanda pada masa itu bukan sebagai perjuangan memerdekaan Indonesia, namun perjuangan mempertahankan marwah, harga diri dan kedaulatan bangsa Aceh. Nasionalisme keacehan sangat ditegaskan oleh Hasan Muhammad di Tiro dalam tulisan ini, pemikirannya mempengaruhi kejiwaaan rakyat Aceh sehingga menumbuhkan kembangkan kembali semangat rakyat Aceh tentang mempertahankan harga diri dan kehormatan Aceh sebagai bangsa yang besar dan pernah diakui dunia.
Kita penerus bangsa Aceh harus bangga dengan adanya tokoh kaliber dunia yang lahir di tanah Aceh, yang telah membuka mata dunia bahwa eksistensi Aceh masih bisa diperhitungkan sebagai sebuah bangsa yang besar, yang mengajarkan kita semua akan sebuah arti harga diri, sudah selayaknya kita menelaah sendiri rasa nasionalis keacehan dalam diri kita, dan melawan semua penindasan harga diri terhadap kita bangsa Aceh. 
Selamat Jalan Tengku (3 Juni 2010 - 3 Juni 2013), semoga keridhaan-Nya selalu ada, pengorbananmu akan kami lanjutkan sebagai manifestasi kedaulatan bangsa kita, walaupun hanya sebatas pikiran kecil yang bisa kami tuliskan di atas kertas...
Untuk pahlawan kami semua yang merasa “manusia” berdarah Aceh, Hasan Muhammad di Tiro.
dirangkum dari berbagai sumber..........

Rabu, 09 Januari 2013

"Jantong Hatee Rakyat Aceh", Reuloh!


Tekad bulat melahirkan perbuatan nyata, Darussalam menuju pelaksanaan cita-cita”. Demikian goresan emas sarat makna yang kini berdebu dan terukir bisu pada monumen Kopelma Darussalam.
Sungguh merisaukan hati mengamati dinamika kehidupan perguruan tinggi kita sekarang. Betapa tidak, pusat akademis selama ini yang menjadi tolak ukur dari kehidupan ideal masyarakat justru berbalik 180 derajat, fenomena negatif yang terjadi dalam masyarakat justru berbalik tertuju pada kampus.
Betapa pengelolaan lembaga pendidikan tinggi kita sedang mengalami komplikasi “penyakit kronis”, transparansi dan akuntabilitas pengelolaan anggaran yang lemah, arogansi elit kampus dalam pengambilan dan pelaksanaan  kebijakan, indikasi nepotisme dalam proses rekrutmen pegawai, birokrasi pelayanan publik yang tidak professional dan carut-marut, tanggung jawab pengajar yang lemah terhadap tugas, bahkan indikasi politisasi aset dasar peradaban bangsa, ditambah dengan berbagai konflik internal seperti perebutan kekuasaan dalam lingkungan Universitas dan Fakultas.
Banyak demonstrasi untuk menyuarakan kekecewaannya terjadi di Unsyiah yang notabene adalah “jantong hatee” rakyat Aceh. Isu yang diangkat mulai dari tuntutan dosen agar kembali ke kampus, protes dan pemboikotan kenaikan SPP, menuntut transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan, sampai yang terakhir adalah menolak politisasi kampus. Para Dosen pun ikut terbawa suasana yang agak politis sehingga mulai memposisikan diri dalam beberapa kubu tertentu dan mempengaruhi mahasiswa untuk ikut dalam lingkaran setan yang dibangunnya. Di sini kemudian letak awal dari berbagai permasalahan dasar yang menjadi bola-bola salju yang membesar dan sulit untuk dihancurkan secara pelan.
Isu-isu tertentu yang berkembang dalam lingkaran elitte kampus menjadi booming dan dianggap sebagai pemicu konflik elitte. Kemudian penentangan terhadap kebijakan atasan yang dianggap diskriminatif juga memperburuk hubungan antara pejabat Kampus yang berakibat pada stagnannya proses pembanguan karakter pada intelektual.
Sebenarnya masih banyak cara yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan permasalahan. Mulai dengan obrolan ringan non formal, surat kepedulian melalui kotak-kotak saran, surat resmi lembaga mahasiswa, dialog, pengiriman delegasi untuk audiensi atau publikasi melalui media massa untuk sekedar pressure. Fenomena demonstrasi atau politisasi isu terhadap elit (penguasa) kampusnya, mengindikasikan cara mencari solusi di atas sudah tidak efektif lagi. Selama masih memiliki itikad baik, maka demonstrasi tidak perlu terjadi. Karena demonstrasi adalah langkah terakhir (last step) dalam menyuarakan aspirasi.
            Ironisnya  lagi, saat gerakan-gerakan mahasiswa atau dosen-dosen yang idealis menuntut perbaikan, direspon dengan sikap anti-kritik (antipati), malah diancam dengan sanksi akademik. Kita bersedih sekaligus tertawa dibuatnya. Diingatkan untuk lebih baik kok marah? Salah besar, jika aksi, kritik dan gagasan konstruktif dicurigai, dianggap ancaman dan harus disingkirkan. Karena upaya pengekangan terhadap gerakan resolutif adalah proses pembodohan dan pembunuhan karakter. Sifat kritis-konstruktif mesti dibangun menjadi karakter intelektual. Seharusnya mereka diarahkan menuju pembangunan karakter (Character Building) tersebut. Tentunya dalam mengasah intelektualitasnya melalui kritik-kritik sosial yang beretika.
Ada beberapa resolusi menurut penulis, Pertama terbukanya akses  mendapatkan informasi terhadap asset dan anggaran dengan penerapan transparansi dan akuntabilitas pengelolaannya. Semua pihak dimungkinkan untuk mendapatkan informasi, yang bagi pengelola kampus kita di Aceh masih dianggap “teritorial” kekuasaan yang tertutup untuk umum. Akses untuk memperoleh informasi ini secara otomatis berfungsi pengawasan bersama (public controlling­). Sehingga setiap ada kesalahan (penyimpangan) bisa langsung diperbaiki bersama.
Kedua, terdapat ruang partisipasi untuk para pihak dalam setiap perumusan dan pengambilan kebijakan. Sehingga, setiap kebijakan yang diputuskan bisa mengakomodir hak dan kebutuhan semua pihak. Hal ini akan membentuk dan membangun tanggung jawab bersama dalam implementasi dan pengawasannya. Sekaligus berfungsi sebagai sosialisasi kebijakan. Di sini kemudian menjadi awal dari sebuah kebersamaan untuk proses pembangunan karakter yang baik dan mampu menghargai perbedaan.
Ketiga, karakteristik pro kritik dan i’tikad baik dalam menyelesaikan permasalahan. Hemat penulis, setiap ada pemasalahan, upaya penyelesaiannya tidak sampai pada last step penyampaian aspirasi, yaitu demonstrasi mahasiswa terhadap kampusnya sendiri. Sehingga tidak menjadi preseden buruk bagi dinamika demokrasi dalam ranah kampus, “rumahnya” para intelektual.
Selama belum ada partisipasi para pihak dalam perumusan dan pengambilan kebijakan, belum siap menerima kritik serta itikad baik untuk menyelesaikan masalah. Maka kita yakin, masih akan ada demonstrasi selanjutnya di “Jantung hati” masyarakat Aceh atau kampus-kampus daerah lainnya. Dan energi pergerakan masih akan terkuras untuk menuntut perbaikan kampusnya sendiri, yang seyogyanya dipakai untuk menyuarakan kepentingan masyarakat. Setiap tindakan egois individual yang dipraktekkan dalam pengelolaan lembaga pendidikan tinggi adalah proses penghilangan jati diri intelektual dan merupakan proses penghancuran yang sistematis terhadap sebuah peradaban.
Sejatinya, lembaga pendidikan tinggi adalah barometer alam demokrasi yang menjadi teladan bagi lembaga-lembaga lain, khususnya lembaga pemerintahan. Kampus dengan tradisi intelektual yang independen menjadi hilang ruhnya, saat pengelolaannya tidak lagi mencerminkan kehidupan demokrasi yang berbasis akademik, sosial dan spiritual. Lalu, monumen Kopelma Darussalam hanyalah seonggok batu pualam yang makin berdebu dan kehilangan makna.
Dan mari kita berharap untuk dapat merealisasikan goresan emas pada monumen Kopelma Darussalam. Menurut penulis, mengembalikan kejayaan Darussalam tidak mesti mengikuti ambisi untuk menjadi yang paling atas, tapi cukup dengan memperbaiki apa yang selama ini dianggap perlu perbaikan di dalam kampus kita sendiri dengan saling mendengar, menyediakan kebutuhan subtantif dari pengembangan intelektualitas itu sendiri dan yang paling penting adalah mengedepankan ego sosial daripada ego pribadi, maka dengan itu Penulis yakin kita semua dapat mengembalikan kejayaan darussalam bersama-sama, dan kampus “Jantong Hatee” kembali menjadi lembaga intelektual kepercayaan dan patut dibanggakan oleh masyarakat Aceh, semoga..