Kata Bijak;

“Setiap manusia mempunyai kekuatan sejarah yang menyingkapkan masa lalunya. Sejarah telah mendudukkan kembali dalam ukuran yang lebih berat dan kokoh bagi yang bersangkutan dan beribu-ribu rahasia dari masa lalu terbit kembali dari lubuk yang tersembunyi dari cahaya matanya. Masih tidak ada sahabat yang tidak mengerti arti mimpi yang akan menjelma menjadi kenyataan sejarah satu saat nanti, karena terkadang masa lalu masih belum semua nampak. Banyak kekuatan yang agaknya belum kita ketahui”



-Friedrich Nietzsche

Rabu, 09 Januari 2013

"Jantong Hatee Rakyat Aceh", Reuloh!


Tekad bulat melahirkan perbuatan nyata, Darussalam menuju pelaksanaan cita-cita”. Demikian goresan emas sarat makna yang kini berdebu dan terukir bisu pada monumen Kopelma Darussalam.
Sungguh merisaukan hati mengamati dinamika kehidupan perguruan tinggi kita sekarang. Betapa tidak, pusat akademis selama ini yang menjadi tolak ukur dari kehidupan ideal masyarakat justru berbalik 180 derajat, fenomena negatif yang terjadi dalam masyarakat justru berbalik tertuju pada kampus.
Betapa pengelolaan lembaga pendidikan tinggi kita sedang mengalami komplikasi “penyakit kronis”, transparansi dan akuntabilitas pengelolaan anggaran yang lemah, arogansi elit kampus dalam pengambilan dan pelaksanaan  kebijakan, indikasi nepotisme dalam proses rekrutmen pegawai, birokrasi pelayanan publik yang tidak professional dan carut-marut, tanggung jawab pengajar yang lemah terhadap tugas, bahkan indikasi politisasi aset dasar peradaban bangsa, ditambah dengan berbagai konflik internal seperti perebutan kekuasaan dalam lingkungan Universitas dan Fakultas.
Banyak demonstrasi untuk menyuarakan kekecewaannya terjadi di Unsyiah yang notabene adalah “jantong hatee” rakyat Aceh. Isu yang diangkat mulai dari tuntutan dosen agar kembali ke kampus, protes dan pemboikotan kenaikan SPP, menuntut transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan, sampai yang terakhir adalah menolak politisasi kampus. Para Dosen pun ikut terbawa suasana yang agak politis sehingga mulai memposisikan diri dalam beberapa kubu tertentu dan mempengaruhi mahasiswa untuk ikut dalam lingkaran setan yang dibangunnya. Di sini kemudian letak awal dari berbagai permasalahan dasar yang menjadi bola-bola salju yang membesar dan sulit untuk dihancurkan secara pelan.
Isu-isu tertentu yang berkembang dalam lingkaran elitte kampus menjadi booming dan dianggap sebagai pemicu konflik elitte. Kemudian penentangan terhadap kebijakan atasan yang dianggap diskriminatif juga memperburuk hubungan antara pejabat Kampus yang berakibat pada stagnannya proses pembanguan karakter pada intelektual.
Sebenarnya masih banyak cara yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan permasalahan. Mulai dengan obrolan ringan non formal, surat kepedulian melalui kotak-kotak saran, surat resmi lembaga mahasiswa, dialog, pengiriman delegasi untuk audiensi atau publikasi melalui media massa untuk sekedar pressure. Fenomena demonstrasi atau politisasi isu terhadap elit (penguasa) kampusnya, mengindikasikan cara mencari solusi di atas sudah tidak efektif lagi. Selama masih memiliki itikad baik, maka demonstrasi tidak perlu terjadi. Karena demonstrasi adalah langkah terakhir (last step) dalam menyuarakan aspirasi.
            Ironisnya  lagi, saat gerakan-gerakan mahasiswa atau dosen-dosen yang idealis menuntut perbaikan, direspon dengan sikap anti-kritik (antipati), malah diancam dengan sanksi akademik. Kita bersedih sekaligus tertawa dibuatnya. Diingatkan untuk lebih baik kok marah? Salah besar, jika aksi, kritik dan gagasan konstruktif dicurigai, dianggap ancaman dan harus disingkirkan. Karena upaya pengekangan terhadap gerakan resolutif adalah proses pembodohan dan pembunuhan karakter. Sifat kritis-konstruktif mesti dibangun menjadi karakter intelektual. Seharusnya mereka diarahkan menuju pembangunan karakter (Character Building) tersebut. Tentunya dalam mengasah intelektualitasnya melalui kritik-kritik sosial yang beretika.
Ada beberapa resolusi menurut penulis, Pertama terbukanya akses  mendapatkan informasi terhadap asset dan anggaran dengan penerapan transparansi dan akuntabilitas pengelolaannya. Semua pihak dimungkinkan untuk mendapatkan informasi, yang bagi pengelola kampus kita di Aceh masih dianggap “teritorial” kekuasaan yang tertutup untuk umum. Akses untuk memperoleh informasi ini secara otomatis berfungsi pengawasan bersama (public controlling­). Sehingga setiap ada kesalahan (penyimpangan) bisa langsung diperbaiki bersama.
Kedua, terdapat ruang partisipasi untuk para pihak dalam setiap perumusan dan pengambilan kebijakan. Sehingga, setiap kebijakan yang diputuskan bisa mengakomodir hak dan kebutuhan semua pihak. Hal ini akan membentuk dan membangun tanggung jawab bersama dalam implementasi dan pengawasannya. Sekaligus berfungsi sebagai sosialisasi kebijakan. Di sini kemudian menjadi awal dari sebuah kebersamaan untuk proses pembangunan karakter yang baik dan mampu menghargai perbedaan.
Ketiga, karakteristik pro kritik dan i’tikad baik dalam menyelesaikan permasalahan. Hemat penulis, setiap ada pemasalahan, upaya penyelesaiannya tidak sampai pada last step penyampaian aspirasi, yaitu demonstrasi mahasiswa terhadap kampusnya sendiri. Sehingga tidak menjadi preseden buruk bagi dinamika demokrasi dalam ranah kampus, “rumahnya” para intelektual.
Selama belum ada partisipasi para pihak dalam perumusan dan pengambilan kebijakan, belum siap menerima kritik serta itikad baik untuk menyelesaikan masalah. Maka kita yakin, masih akan ada demonstrasi selanjutnya di “Jantung hati” masyarakat Aceh atau kampus-kampus daerah lainnya. Dan energi pergerakan masih akan terkuras untuk menuntut perbaikan kampusnya sendiri, yang seyogyanya dipakai untuk menyuarakan kepentingan masyarakat. Setiap tindakan egois individual yang dipraktekkan dalam pengelolaan lembaga pendidikan tinggi adalah proses penghilangan jati diri intelektual dan merupakan proses penghancuran yang sistematis terhadap sebuah peradaban.
Sejatinya, lembaga pendidikan tinggi adalah barometer alam demokrasi yang menjadi teladan bagi lembaga-lembaga lain, khususnya lembaga pemerintahan. Kampus dengan tradisi intelektual yang independen menjadi hilang ruhnya, saat pengelolaannya tidak lagi mencerminkan kehidupan demokrasi yang berbasis akademik, sosial dan spiritual. Lalu, monumen Kopelma Darussalam hanyalah seonggok batu pualam yang makin berdebu dan kehilangan makna.
Dan mari kita berharap untuk dapat merealisasikan goresan emas pada monumen Kopelma Darussalam. Menurut penulis, mengembalikan kejayaan Darussalam tidak mesti mengikuti ambisi untuk menjadi yang paling atas, tapi cukup dengan memperbaiki apa yang selama ini dianggap perlu perbaikan di dalam kampus kita sendiri dengan saling mendengar, menyediakan kebutuhan subtantif dari pengembangan intelektualitas itu sendiri dan yang paling penting adalah mengedepankan ego sosial daripada ego pribadi, maka dengan itu Penulis yakin kita semua dapat mengembalikan kejayaan darussalam bersama-sama, dan kampus “Jantong Hatee” kembali menjadi lembaga intelektual kepercayaan dan patut dibanggakan oleh masyarakat Aceh, semoga..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar