Simpul
sejarah Aceh tak lekang dari sosok Tgk Muhammad Hasan Di Tiro. Menurut Cornelis
Van Dijk, sejarawan asal Rotterdam Belanda, Hasan Muhammad di Tiro disebut
sebagai seorang yang memiliki inteligen tinggi, berpendidikan baik, yang
diberkahi dengan kombinasi yang jarang terdapat pada orang kebanyakan, yakni
pesona dan keteguhan hati (Burham: 1961).
Hasan Muhammad
di Tiro (25 September 1925 – 3 Juni 2010), salah satu tokoh besar yang dimiliki Aceh,
baik dari keturunan maupun dari kejenuisan dan keteguhan hati dalam
memperjuangkan harga diri bangsa Aceh. Komitmennya
untuk Aceh berdiri sendiri dalam bingkai Syariat Islam lewat kemerdekaan penuh
yang tidak pernah padam, sebagaimana indatu dan pejuang Aceh lainnya ketika
mengusir kolonialis Belanda. Komitmennya untuk Aceh tidak perlu diragukan lagi.
Membuka kembali mata rakyat Aceh dan
meninggalkan pelajaran kepada kita semua tentang sebuah harga diri dan
marwah, adalah pejuang sekaligus pahlawan bagi rakyat Aceh. Kita
semua tahu bahwa Hasan Tiro adalah sosok sentral yang mempertinggi posisi tawar
Aceh di mata Jakarta. Dari segi pemikiran, Hasan Muhammad di Tiro sangat pantas
disetarakan dengan pemikir nasionalis lainnya seperti Natsir dan Hatta, dan
jiwa patriotisme Hasan Muhammad di Tiro sepadan dengan Gandhi dan Mandela.
Terlepas
dari sejarah bahwa beliau yang pada awalnya pernah menaruh simpati pada
indonesia dan akhirnya berontak, kita melihat rasa nasionalis beliau yang tidak
pernah pudar terhadap Aceh, dengan keteguhan hati rela meninggalkan keluarga
dan kekayaan di New York hanya untuk memperjuangkan harga diri bangsa Aceh,
hanya segelintir orang normal mampu melakukan hal tersebut. Dengan melihat
realitas bahwa Aceh adalah pernah berdaulat sebagai sebuah bangsa yang
besar dan diakui oleh bangsa-bangsa
lainnya di dunia, beliau paham akan sebuah arti penting kedaulattan sejarah
bangsa Aceh dan bagi kita sendiri setidaknya sadar bahwa sebuah harga diri
sangat penting untuk kita pertahankan dan harus dibela.
Karya-karya
yang dihasilkan beliau membuktikan bahwa beliau jenius dan begitu paham tentang
Aceh, dimulai dari ttugas akhir beliau pada Universitas Islam Indonesia pad
1949 dengan judul Perang Atjeh 1873-1927”.
Kemudian dilanjutkan dengan disertasi dokttor pada Universitas
Columbia, Amerika Serikat yang berjudul “Konstitusionalisme
Kesultanan Aceh” . banyak karya hasil pemikiran beliau, antara lain Demokrasi
Untuk Indonesia, Indonesia Nationalism, A
Westtern Invention To Subvert Islam And To Prevent Decolonization Of The Dutch
East Indies, Masa Depan Politik Dunia Melayu, dll.
Hasan Muhammad
di Tiro
menjelajahi sejarah, menulis sekian pandangan tentang nasionalisme Aceh. Pada
karyanya yang lain, “Atjeh Bak Mata Donja” (Aceh di Mata Dunia) yang ditulis dalam bahasa Aceh dan dicetak
sebanyak tiga kali, pertama di New York pada 15 Maret 1968, kedua di Glee Mamplam pada 1977 dan
yang ketiga di Stockholm pada 1984. Hasan Muhammad di Tiro menguraikan kausalitas hilangnya kesadaran historis dan politis
rakyat Aceh setelah Perang Belanda. Beliau mulai merekonstruksi sejarah Aceh,
dan menegasi kembali segala
upaya integrasi dengan republik. Dalam tulisan ini pula Hasan Muhammad di Tiro
menjelaskan tentang peperangan Aceh dengan Belanda dengan tiga fase peperangan,
yang pertama pada 5-23 April 1873, kemudian pada Desember 1873 sampai Desember
1911 dan yang terakhir pada 1911 sampai dengan Maret 1942. Selama peperangan
ini Aceh tidak pernah mengalami kekalahan dan Sultan Aceh tidak pernah
menyerahkan kedaulatannya kepada Belanda walaupun Sultan Aceh sudah tertangkap
Belanda. Dalam tulisan ini Hasan Muhammad di Tiro menanamkan rasa nasionalisme
ke-Aceh-an, membuka kembali sejarah bahwa Aceh adalah bangsa besar yang diakui
kedaulatannya oleh dunia. Aceh adalah suatu bangsa di dunia seperti bangsa lain
juga, mempunyai sejarah, dan bahasa sendiri. Sejak tahun 1873 lebih dari
ratusan ribu rakyat Aceh kehilangan nyawanya dalam usaha mengusir kolonialis
Belanda dari Aceh. Bagi pendukung kemerdekaan Aceh ketika ini, pengorbanan itu
merupakan tindakan memerdekakan diri dari penjajah Belanda, bukan merupakan
perjuangan untuk memerdekakan Indonesia seperti yang yang dikatakan nasionalis
Indonesia. Sementara para pakar sejarah Indonesia melihat sebagai sebuah
dukungan dan persetujuan atas dasar kehendaknya sendiri untuk bergabung dengan
Indonesia, karena sama-sama mengusir kolonialis Belanda dari nusantara. Hasan
Muhammad di Tiro mengemukakan bahwa perjuangan rakyat Aceh dalam mengusir
Kolonialis Belanda pada masa itu bukan sebagai perjuangan memerdekaan
Indonesia, namun perjuangan mempertahankan marwah, harga diri dan kedaulatan
bangsa Aceh. Nasionalisme keacehan sangat ditegaskan oleh Hasan Muhammad di
Tiro dalam tulisan ini, pemikirannya mempengaruhi kejiwaaan rakyat Aceh
sehingga menumbuhkan kembangkan kembali semangat rakyat Aceh tentang
mempertahankan harga diri dan kehormatan Aceh sebagai bangsa yang besar dan
pernah diakui dunia.
Kita penerus
bangsa Aceh harus bangga dengan adanya tokoh kaliber dunia yang lahir di tanah Aceh, yang telah membuka mata dunia bahwa eksistensi Aceh masih bisa
diperhitungkan sebagai sebuah bangsa yang besar, yang mengajarkan kita semua
akan sebuah arti harga diri, sudah selayaknya kita menelaah sendiri rasa
nasionalis keacehan dalam diri kita, dan melawan semua penindasan harga diri
terhadap kita bangsa Aceh.
Selamat Ulang
Tahun Hasan Muhammad di Tiro (25 September 1925 - 25 September 2012), pengorbananmu akan kami lanjutkan sebagai
manifestasi kedaulatan bangsa kita, walaupun hanya sebatas pikiran kecil yang
bisa kami tuliskan di atas kertas...
Untuk pahlawan
kami semua yang merasa “manusia” berdarah Aceh, Hasan Muhammad di Tiro.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar