Simpul sejarah Aceh kontemporer tak lekang dari sosok Tgk Muhammad Hasan
Di Tiro. Menurut Cornelis Van Dijk, sejarawan asal Rotterdam Belanda, Hasan
Muhammad di Tiro disebut sebagai seorang yang memiliki inteligen tinggi,
berpendidikan baik, yang diberkahi dengan kombinasi yang jarang terdapat pada
orang kebanyakan, yakni pesona dan keteguhan hati (Burham: 1961).
Hasan Muhammad di Tiro (25 September 1925 –
3 Juni 2010), salah satu tokoh
besar yang dimiliki Aceh, baik dari keturunan maupun dari kejenuisan dan
keteguhan hati dalam memperjuangkan harga diri bangsa Aceh. Secara
lengkap, namanya adalah Dr. Tengku Hasan Muhammad di Tiro, LL.D. Menurut salah
seorang keluarga Hasan Muhammad di Tiro, Tengku Musanna Tiro, gelar Tengku ini
(bukan Teungku) merupakan gelar bagi keturunan Tengku Tjhik di Tiro Muhammad
Saman. Hasan Muhammad di Tiro merupakan tokoh kharismatik yang dihormati
masyarakat Aceh ini adalah sosok yang sangat cinta Aceh. Kecintaannya terhadap
Aceh sama seperti kecintaannya terhadap Indonesia pada awalnya. Awalnya Ia
mengabdi sepenuh hati untuk Republik Indonesia. Bahkan saat berumur 20 pada
tahun 1945 ia ikut dalam Barisan Pemuda Indonesia (BPI) Tanjong Bungong, Pidie. Dalam beberapa tulisan
disebutkan bahwa Hasan Muhammad di Tiro muda mendapat banyak pelajaran tentang
nasionalisme dari gurunya, HM Nur El-Ibrahimi. Pada 24 September 1945, keluarga
besar Tiro, termasuk pamannya Umar Tiro, mengaku setia kepada Indonesia. Ia juga pernah mendapat beasiswa dari
Pemerintah Indonesia untuk kuliah di Universitas Islam Indonesia (UII)
Yogyakarta. Karena kecerdasannya, Hasan Muhammad di Tiro direkomendasikan
Teungku Daud Beureueh kepada Perdana Menteri Indonesia waktu itu, Syafruddin
Prawiranegara, untuk kuliah di UII Yogyakarta. Hasan Muhammad di Tiro diterima
di Fakultas Hukum dan tamat tahun 1949. Di Universitas ini namanya tercatat
sebagai pendiri Pustaka Universitas Islam Indonesia (UII) bersama Kahar
Muzakkar, tokoh Sulawesi Selatan yang kelak menggerakkan pemberontakan DI/TII
bersama Daud Beureueh dan Imam Kartosuwiryo (1953-1962). Saat umurnya 25 tahun,
Hasan Muhammad di Tiro terpilih sebagai mahasiswa yang mendapat beasiswa untuk melanjutkan
pendidikan program magister dan doktoral di Universitas Columbia, Amerika
Serikat (AS). Ia kuliah di Jurusan Politik dan Hukum Internasional.
Komitmen
Hasan Muhammad di Tiro untuk Aceh berdiri sendiri dalam bingkai Syariat Islam
lewat kemerdekaan penuh tidak pernah padam, sebagaimana pendahulu dan pejuang
Aceh lainnya ketika mengusir kolonialis Belanda. Komitmennya untuk Aceh tidak
perlu diragukan lagi. Membuka
kembali mata rakyat Aceh dan meninggalkan pelajaran kepada tentang sebuah harga
diri dan marwah. Bagi sebagian orang Aceh, Hasan Muhammad adalah pejuang sekaligus pahlawan. Hasan Muhammad di
Tiro adalah sosok sentral yang mempertinggi posisi tawar Aceh di mata Jakarta.
Menurut Taufik Al-Mubarak dalam sebuah tulisannya menyebutkan, sisi pemikiran
Hasan Muhammad di Tiro sangat pantas disetarakan dengan pemikir nasionalis
lainnya seperti Natsir dan Hatta, dan jiwa patriotisme Hasan Muhammad di Tiro
sepadan dengan Gandhi dan Mandela. Penilaian ini sangat mendasar dan harus diakui mengingat banyaknya
karya yang dihasilkan oleh Hasan Muhammad di Tiro dan besarnya pengaruh beliau
selama tiga dekade terakhir di Aceh. Karya-karya yang dihasilkan beliau
membuktikan bahwa beliau jenius dan begitu paham tentang Aceh, dimulai dari tugas
akhir beliau pada Universitas Islam Indonesia pad 1949 dengan judul Perang
Atjeh 1873-1927”.
Kemudian dilanjutkan dengan disertasi dokttor pada Universitas Columbia,
Amerika Serikat yang berjudul “Konstitusionalisme Kesultanan Aceh”. Banyak
karya hasil pemikiran beliau, antara lain
Demokrasi Untuk Indonesia, Indonesia
Nationalism, A Westtern Invention To Subvert Islam And To Prevent
Decolonization Of The Dutch East Indies, Masa Depan Politik Dunia Melayu,
dll.
Hasan Muhammad di Tiro menjelajahi sejarah, menulis sekian pandangan
tentang nasionalisme Aceh (etnonasionalism). Pada karyanya yang lain, “Atjeh
Bak Mata Donja” (Aceh di Mata Dunia) yang ditulis dalam bahasa Aceh dan dicetak
sebanyak tiga kali, pertama di New York pada 15 Maret 1968, kedua di Glee
Mamplam pada 1977 dan yang ketiga di Stockholm pada 1984. Hasan Muhammad di
Tiro menguraikan kausalitas hilangnya kesadaran historis dan politis rakyat
Aceh setelah Perang Belanda. Beliau mulai merekonstruksi sejarah Aceh, dan
menelaah kembali segala upaya integrasi dengan Indonesia. Dalam tulisan ini
pula Hasan Muhammad di Tiro menjelaskan tentang peperangan Aceh dengan Belanda
dengan tiga fase peperangan, yang pertama pada 5-23 April 1873, kemudian pada
Desember 1873 sampai Desember 1911 dan yang terakhir pada 1911 sampai dengan
Maret 1942. Selama peperangan ini Aceh tidak pernah mengalami kekalahan dan
Sultan Aceh tidak pernah menyerahkan kedaulatannya kepada Belanda walaupun
Sultan Aceh sudah tertangkap Belanda. Dalam tulisan ini Hasan Muhammad di Tiro
menanamkan rasa nasionalisme ke-Aceh-an, membuka kembali sejarah bahwa Aceh
adalah bangsa besar yang diakui kedaulatannya oleh dunia. Aceh adalah suatu
bangsa di dunia seperti bangsa lain juga, mempunyai sejarah, dan bahasa
sendiri. Sejak tahun 1873 lebih dari ratusan ribu rakyat Aceh kehilangan
nyawanya dalam usaha mengusir kolonialis Belanda dari Aceh. Bagi pendukung
kemerdekaan Aceh ketika ini, pengorbanan itu merupakan tindakan memerdekakan
diri dari penjajah Belanda, bukan merupakan perjuangan untuk memerdekakan Indonesia
seperti yang yang dikatakan nasionalis Indonesia. Sementara para pakar sejarah
Indonesia melihat sebagai sebuah dukungan dan persetujuan atas dasar
kehendaknya sendiri untuk bergabung dengan Indonesia, karena sama-sama mengusir
kolonialis Belanda dari nusantara. Hasan Muhammad di Tiro mengemukakan bahwa
perjuangan rakyat Aceh dalam mengusir Kolonialis Belanda pada masa itu bukan
sebagai perjuangan memerdekaan Indonesia, namun perjuangan mempertahankan
marwah, harga diri dan kedaulatan bangsa Aceh. Nasionalisme ke-Aceh-an sangat
ditegaskan oleh Hasan Muhammad di Tiro dalam tulisan ini, pemikirannya
mempengaruhi kejiwaaan rakyat Aceh sehingga menumbuhkan kembangkan kembali
semangat rakyat Aceh tentang mempertahankan harga diri dan kehormatan Aceh
sebagai bangsa yang besar dan pernah diakui dunia.
Terlepas dari sejarah bahwa beliau yang pada awalnya pernah menaruh
simpati pada Indonesia dan akhirnya berontak, kita melihat rasa nasionalis beliau
yang tidak pernah pudar terhadap Aceh, dengan keteguhan hati rela meninggalkan
keluarga dan kekayaan di New York hanya untuk memperjuangkan harga diri bangsa Aceh,
hanya segelintir orang normal mampu melakukan hal tersebut. Dengan melihat
realitas bahwa Aceh adalah pernah berdaulat sebagai sebuah bangsa yang besar dan
diakui oleh bangsa-bangsa lainnya di dunia, beliau paham akan sebuah arti
penting kedaulatan sejarah bangsa Aceh dan bagi kita sendiri setidaknya sadar
bahwa sebuah harga diri sangat penting untuk kita pertahankan dan harus dibela.
Sangat miris jika melihat keadaan sekarang di berbagai
belahan Aceh, nama Hasan Muhammad di Tiro sudah mulai dilupakan, baik oleh
“ideolog ke-Aceh-an” maupun masyarakat Aceh umumnya. Simbolisasi Hasan Muhammad
di Tiro hanya terbatas pada saat kampanye politik dan acara seremonial yang
sangat rendah nilai dan sifatnya. Terbukti ketika tanggal 3 Juni 2013, tepat
pada hari 3 tahun meninggalnya beliau, tidak ada kegiatan apapun yang bersifat
peringatan khusus untuk pejuang Aceh kontemporer ini. Hal ini adalah proses
melupakan makna sejarah yang seringkali terjadi secara berulang di Aceh. Orang
Aceh hanya tenggelam dalam euforia sejarah tanpa tahu cara memaknai dan bahkan
tidak mampu untuk memulai kembali kejayaan sejarah itu sendiri.
Kebanyakan anak-anak muda Aceh bahkan tidak tahu siapa sosok
besar berdarah Aceh dan berjuang untuk Aceh ini, kepekaan mereka tergerus
situasi monopolistik di Aceh, yang berkembang secara pesat tanpa tahu kausalita
yang terjadi di Aceh di balik semua itu. Kehilangan kesadaran akan sebuah makna
harga diri yang didoktrinkan oleh Hasan Muhammad di Tiro yang terjadi pada
kawula muda sebenarnya diakibatkan oleh orang-orang tua Aceh terutama “ideolog
ke-Aceh-an” yang sibuk mempreteli Aceh semau mereka tanpa mempertimbangkan
konsekuensi masa depan yang akan terjadi pada generasi muda Aceh. Padahal semua
perjuangan yang dilakukan oleh Hasan Muhammad di Tiro tidak dimaksudkan untuk
beliau sendiri apalagi untuk sebuah golongan, tapi untuk semua rakyat Aceh
terutama untuk generasi Aceh berikutnya agar mereka hidup nyaman dengan harga
diri yang mereka punya.
Jadi mari semua bertanggung jawab untuk sebuah makna harga
diri yang diajarkan oleh Hasan Muhammad di Tiro, bertanggung jawab pada seluruh
generasi yang berdarah Aceh nantinya akan sebuah resiko gelar kita sebagai
orang Aceh. Sepatutnya kita penerus bangsa Aceh bangga dengan adanya tokoh
kaliber dunia yang lahir di tanah Aceh, yang telah membuka mata dunia bahwa
eksistensi Aceh pernah diperhitungkan sebagai sebuah bangsa yang besar, yang
mengajarkan kita semua akan sebuah arti harga diri, sudah selayaknya kita
menelaah sendiri rasa nasionalis ke-Acehan dalam diri kita, dan melawan semua
penindasan harga diri terhadap bangsa Aceh. Semoga semangat Hasan Muhammad di
Tiro kembali ditanamkan dalam benak dan jiwa kita masing-masing sebagai dasar
kemauan untuk memajukan Aceh yang seutuhnya. Selamat Ulang Tahun Hasan Muhammad
di Tiro semoga pengorbananmu akan dilanjutkan sebagai manifestasi kejayaan
Aceh.
Zulfiadi Ahmedy, S.IP
Mahasiswa Pascasarjana Politik & Pemerintahan UGM Yogyakarta
Anggota Himpunan Mahasiswa Pascasarjana Aceh Yogyakarta (Himpasay)tulisan ini dimuat di atjehpost.com pada Kamis, 26 September 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar