Kata Bijak;

“Setiap manusia mempunyai kekuatan sejarah yang menyingkapkan masa lalunya. Sejarah telah mendudukkan kembali dalam ukuran yang lebih berat dan kokoh bagi yang bersangkutan dan beribu-ribu rahasia dari masa lalu terbit kembali dari lubuk yang tersembunyi dari cahaya matanya. Masih tidak ada sahabat yang tidak mengerti arti mimpi yang akan menjelma menjadi kenyataan sejarah satu saat nanti, karena terkadang masa lalu masih belum semua nampak. Banyak kekuatan yang agaknya belum kita ketahui”



-Friedrich Nietzsche

Selasa, 24 September 2013

Melupakan Hasan Muhammad di Tiro

Simpul sejarah Aceh kontemporer tak lekang dari sosok Tgk Muhammad Hasan Di Tiro. Menurut Cornelis Van Dijk, sejarawan asal Rotterdam Belanda, Hasan Muhammad di Tiro disebut sebagai seorang yang memiliki inteligen tinggi, berpendidikan baik, yang diberkahi dengan kombinasi yang jarang terdapat pada orang kebanyakan, yakni pesona dan keteguhan hati (Burham: 1961).
Hasan Muhammad di Tiro (25 September 1925 – 3 Juni 2010), salah satu tokoh besar yang dimiliki Aceh, baik dari keturunan maupun dari kejenuisan dan keteguhan hati dalam memperjuangkan harga diri bangsa Aceh. Secara lengkap, namanya adalah Dr. Tengku Hasan Muhammad di Tiro, LL.D. Menurut salah seorang keluarga Hasan Muhammad di Tiro, Tengku Musanna Tiro, gelar Tengku ini (bukan Teungku) merupakan gelar bagi keturunan Tengku Tjhik di Tiro Muhammad Saman. Hasan Muhammad di Tiro merupakan tokoh kharismatik yang dihormati masyarakat Aceh ini adalah sosok yang sangat cinta Aceh. Kecintaannya terhadap Aceh sama seperti kecintaannya terhadap Indonesia pada awalnya. Awalnya Ia mengabdi sepenuh hati untuk Republik Indonesia. Bahkan saat berumur 20 pada tahun 1945 ia ikut dalam Barisan Pemuda Indonesia (BPI) Tanjong Bungong, Pidie. Dalam beberapa tulisan disebutkan bahwa Hasan Muhammad di Tiro muda mendapat banyak pelajaran tentang nasionalisme dari gurunya, HM Nur El-Ibrahimi. Pada 24 September 1945, keluarga besar Tiro, termasuk pamannya Umar Tiro, mengaku setia kepada Indonesia. Ia juga pernah mendapat beasiswa dari Pemerintah Indonesia untuk kuliah di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Karena kecerdasannya, Hasan Muhammad di Tiro direkomendasikan Teungku Daud Beureueh kepada Perdana Menteri Indonesia waktu itu, Syafruddin Prawiranegara, untuk kuliah di UII Yogyakarta. Hasan Muhammad di Tiro diterima di Fakultas Hukum dan tamat tahun 1949. Di Universitas ini namanya tercatat sebagai pendiri Pustaka Universitas Islam Indonesia (UII) bersama Kahar Muzakkar, tokoh Sulawesi Selatan yang kelak menggerakkan pemberontakan DI/TII bersama Daud Beureueh dan Imam Kartosuwiryo (1953-1962). Saat umurnya 25 tahun, Hasan Muhammad di Tiro terpilih sebagai mahasiswa yang mendapat beasiswa untuk melanjutkan pendidikan program magister dan doktoral di Universitas Columbia, Amerika Serikat (AS). Ia kuliah di Jurusan Politik dan Hukum Internasional.
Komitmen Hasan Muhammad di Tiro untuk Aceh berdiri sendiri dalam bingkai Syariat Islam lewat kemerdekaan penuh tidak pernah padam, sebagaimana pendahulu dan pejuang Aceh lainnya ketika mengusir kolonialis Belanda. Komitmennya untuk Aceh tidak perlu diragukan lagi. Membuka kembali mata rakyat Aceh dan meninggalkan pelajaran kepada tentang sebuah harga diri dan marwah. Bagi sebagian orang Aceh, Hasan Muhammad adalah pejuang sekaligus pahlawan. Hasan Muhammad di Tiro adalah sosok sentral yang mempertinggi posisi tawar Aceh di mata Jakarta. Menurut Taufik Al-Mubarak dalam sebuah tulisannya menyebutkan, sisi pemikiran Hasan Muhammad di Tiro sangat pantas disetarakan dengan pemikir nasionalis lainnya seperti Natsir dan Hatta, dan jiwa patriotisme Hasan Muhammad di Tiro sepadan dengan Gandhi dan Mandela. Penilaian ini sangat mendasar dan harus diakui mengingat banyaknya karya yang dihasilkan oleh Hasan Muhammad di Tiro dan besarnya pengaruh beliau selama tiga dekade terakhir di Aceh. Karya-karya yang dihasilkan beliau membuktikan bahwa beliau jenius dan begitu paham tentang Aceh, dimulai dari tugas akhir beliau pada Universitas Islam Indonesia pad 1949 dengan judul Perang Atjeh 1873-1927”. Kemudian dilanjutkan dengan disertasi dokttor pada Universitas Columbia, Amerika Serikat yang berjudul “Konstitusionalisme Kesultanan Aceh”. Banyak karya hasil pemikiran beliau, antara lain Demokrasi Untuk Indonesia, Indonesia Nationalism, A Westtern Invention To Subvert Islam And To Prevent Decolonization Of The Dutch East Indies, Masa Depan Politik Dunia Melayu, dll.
Hasan Muhammad di Tiro menjelajahi sejarah, menulis sekian pandangan tentang nasionalisme Aceh (etnonasionalism). Pada karyanya yang lain, “Atjeh Bak Mata Donja” (Aceh di Mata Dunia) yang ditulis dalam bahasa Aceh dan dicetak sebanyak tiga kali, pertama di New York pada 15 Maret 1968, kedua di Glee Mamplam pada 1977 dan yang ketiga di Stockholm pada 1984. Hasan Muhammad di Tiro menguraikan kausalitas hilangnya kesadaran historis dan politis rakyat Aceh setelah Perang Belanda. Beliau mulai merekonstruksi sejarah Aceh, dan menelaah kembali segala upaya integrasi dengan Indonesia. Dalam tulisan ini pula Hasan Muhammad di Tiro menjelaskan tentang peperangan Aceh dengan Belanda dengan tiga fase peperangan, yang pertama pada 5-23 April 1873, kemudian pada Desember 1873 sampai Desember 1911 dan yang terakhir pada 1911 sampai dengan Maret 1942. Selama peperangan ini Aceh tidak pernah mengalami kekalahan dan Sultan Aceh tidak pernah menyerahkan kedaulatannya kepada Belanda walaupun Sultan Aceh sudah tertangkap Belanda. Dalam tulisan ini Hasan Muhammad di Tiro menanamkan rasa nasionalisme ke-Aceh-an, membuka kembali sejarah bahwa Aceh adalah bangsa besar yang diakui kedaulatannya oleh dunia. Aceh adalah suatu bangsa di dunia seperti bangsa lain juga, mempunyai sejarah, dan bahasa sendiri. Sejak tahun 1873 lebih dari ratusan ribu rakyat Aceh kehilangan nyawanya dalam usaha mengusir kolonialis Belanda dari Aceh. Bagi pendukung kemerdekaan Aceh ketika ini, pengorbanan itu merupakan tindakan memerdekakan diri dari penjajah Belanda, bukan merupakan perjuangan untuk memerdekakan Indonesia seperti yang yang dikatakan nasionalis Indonesia. Sementara para pakar sejarah Indonesia melihat sebagai sebuah dukungan dan persetujuan atas dasar kehendaknya sendiri untuk bergabung dengan Indonesia, karena sama-sama mengusir kolonialis Belanda dari nusantara. Hasan Muhammad di Tiro mengemukakan bahwa perjuangan rakyat Aceh dalam mengusir Kolonialis Belanda pada masa itu bukan sebagai perjuangan memerdekaan Indonesia, namun perjuangan mempertahankan marwah, harga diri dan kedaulatan bangsa Aceh. Nasionalisme ke-Aceh-an sangat ditegaskan oleh Hasan Muhammad di Tiro dalam tulisan ini, pemikirannya mempengaruhi kejiwaaan rakyat Aceh sehingga menumbuhkan kembangkan kembali semangat rakyat Aceh tentang mempertahankan harga diri dan kehormatan Aceh sebagai bangsa yang besar dan pernah diakui dunia.
Terlepas dari sejarah bahwa beliau yang pada awalnya pernah menaruh simpati pada Indonesia dan akhirnya berontak, kita melihat rasa nasionalis beliau yang tidak pernah pudar terhadap Aceh, dengan keteguhan hati rela meninggalkan keluarga dan kekayaan di New York hanya untuk memperjuangkan harga diri bangsa Aceh, hanya segelintir orang normal mampu melakukan hal tersebut. Dengan melihat realitas bahwa Aceh adalah pernah berdaulat sebagai sebuah bangsa yang besar dan diakui oleh bangsa-bangsa lainnya di dunia, beliau paham akan sebuah arti penting kedaulatan sejarah bangsa Aceh dan bagi kita sendiri setidaknya sadar bahwa sebuah harga diri sangat penting untuk kita pertahankan dan harus dibela.
Sangat miris jika melihat keadaan sekarang di berbagai belahan Aceh, nama Hasan Muhammad di Tiro sudah mulai dilupakan, baik oleh “ideolog ke-Aceh-an” maupun masyarakat Aceh umumnya. Simbolisasi Hasan Muhammad di Tiro hanya terbatas pada saat kampanye politik dan acara seremonial yang sangat rendah nilai dan sifatnya. Terbukti ketika tanggal 3 Juni 2013, tepat pada hari 3 tahun meninggalnya beliau, tidak ada kegiatan apapun yang bersifat peringatan khusus untuk pejuang Aceh kontemporer ini. Hal ini adalah proses melupakan makna sejarah yang seringkali terjadi secara berulang di Aceh. Orang Aceh hanya tenggelam dalam euforia sejarah tanpa tahu cara memaknai dan bahkan tidak mampu untuk memulai kembali kejayaan sejarah itu sendiri.
Kebanyakan anak-anak muda Aceh bahkan tidak tahu siapa sosok besar berdarah Aceh dan berjuang untuk Aceh ini, kepekaan mereka tergerus situasi monopolistik di Aceh, yang berkembang secara pesat tanpa tahu kausalita yang terjadi di Aceh di balik semua itu. Kehilangan kesadaran akan sebuah makna harga diri yang didoktrinkan oleh Hasan Muhammad di Tiro yang terjadi pada kawula muda sebenarnya diakibatkan oleh orang-orang tua Aceh terutama “ideolog ke-Aceh-an” yang sibuk mempreteli Aceh semau mereka tanpa mempertimbangkan konsekuensi masa depan yang akan terjadi pada generasi muda Aceh. Padahal semua perjuangan yang dilakukan oleh Hasan Muhammad di Tiro tidak dimaksudkan untuk beliau sendiri apalagi untuk sebuah golongan, tapi untuk semua rakyat Aceh terutama untuk generasi Aceh berikutnya agar mereka hidup nyaman dengan harga diri yang mereka punya.
Jadi mari semua bertanggung jawab untuk sebuah makna harga diri yang diajarkan oleh Hasan Muhammad di Tiro, bertanggung jawab pada seluruh generasi yang berdarah Aceh nantinya akan sebuah resiko gelar kita sebagai orang Aceh. Sepatutnya kita penerus bangsa Aceh bangga dengan adanya tokoh kaliber dunia yang lahir di tanah Aceh, yang telah membuka mata dunia bahwa eksistensi Aceh pernah diperhitungkan sebagai sebuah bangsa yang besar, yang mengajarkan kita semua akan sebuah arti harga diri, sudah selayaknya kita menelaah sendiri rasa nasionalis ke-Acehan dalam diri kita, dan melawan semua penindasan harga diri terhadap bangsa Aceh. Semoga semangat Hasan Muhammad di Tiro kembali ditanamkan dalam benak dan jiwa kita masing-masing sebagai dasar kemauan untuk memajukan Aceh yang seutuhnya. Selamat Ulang Tahun Hasan Muhammad di Tiro semoga pengorbananmu akan dilanjutkan sebagai manifestasi kejayaan Aceh.

Zulfiadi Ahmedy, S.IP
Mahasiswa Pascasarjana Politik & Pemerintahan UGM Yogyakarta
Anggota Himpunan Mahasiswa Pascasarjana Aceh Yogyakarta (Himpasay)


tulisan ini dimuat di atjehpost.com pada Kamis, 26 September 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar