Buku Imagined
Communities (2008) karya Benedict Anderson menitik beratkan pada persoalan
nasionalisme (paham kebangsaan). Sebagaimana yang dikemukakan bahwa bangsa
adalah komunitas politis dan dibayangkan sebagai sesuatu yang bersifat terbatas
secara inheren sekaligus berkedaulatan. Anderson menjelaskan bahwa bagaimana nasionalisme
terbangun berdasarkan kesadaran yang terbangun dari beberapa atau banyak kaum
yang kemudian bersatu dan mendirikan entitas politik yang tidak terbayangkan
sebelumnya. Masing-masing kaum tidak mengenal atau punya keterkaitan historis
maupun kultural dengan yang lainnya, akan tetapi mereka membentuk sebuah ikatan
politis yang bersifat terbatas mengikat dan mengukuhkan kedaulatannya sebagai
sebuah bangsa yang baru agar bebas dari segala intervensi dari luar bangsa
tersebut. Akhirnya kemudian bangsa ini dibayangkan sebagai sebuah komunitas. Biasanya
kaum-kaum yang tergabung dalam komunitas terbayang ini juga mempunyai
nasionalisme tersendiri jauh sebelum bangsa baru yang terbentuk seperti diutarakan
Anderson. Tapi kemudian ketika tergabung dalam sebuah bangsa baru, nasionalisme
ini menjadi etnonasionalism. Perubahan istilah nasionalism ke etnonasionalism
merujuk pada makna yang berbeda konteksnya dan berdasarkan perspektif empirik terbentuknya
sebuah entitas baru yang disebut oleh Anderson sebagai komunitas terbayang yang
berwujud sebuah bangsa. Etnonasionalisme merupakan paham kebangsaan yang
didasarkan pada sentimen suku, ras, agama sebagai dasarnya. Etnisitas atau
semangat etnosentris kemudian dimanifestasikan ke dalam suatu entitas politik
yang sering disebut dengan negara bangsa. Perspektif etnis di sebuah negara, merujuk
pada kelompok-kelompok kecil yang mempunyai sejarah panjang dan budaya
tersendiri dalam sebuah negara. Konsensus gerakan etnonasionalisme ini secara
fundamental terletak pada problematik politisasi kebangsaan dan primordialistik
daripada masalah ekonomi. Hal ini kemudian menjadi masalah baru bagi keutuhan
nasionalisme, dan Anderson tidak menalaah hal tersebut secara komprehensif. Pembahasan
Anderson hanya terbatas pada sub-nasionalism yang beragam di Indonesia. Anderson
hanya membayangkan bangsa hegemonik baru tanpa memperhatikan bangsa yang ada sebelumnya.
Dia tidak membayangkan kemudian bahwa terdapat gejala-gejala yang lebih merusak
kaidah pendapatnya tentang sebuah bangsa baru sebagai komunitas terbayang
ini.
Dalam buku “Masalah Kesukubangsaan dan Integrasi
Nasional” karya Koentjaraningrat tahun 1993 menyebutkan dalam prolognya bahwa
“Suatu gejala penting yang terdapat
dalam berbagai peristiwa di dunia selama dua dasawarsa terakhir adalah
timbulnya gerakan-gerakan etnik, dengan adanya sukubangsa-sukubangsa atau
golongan-golongam etnik yang menuntut otonomi yang lebih besar –atau pun
kemerdekaan- dari negara tempat mereka bermukim sebagai warganegaranya”. Dalam
konteks kebangsaan yang lebih besar, gejala etnonasionalisme ini dapat pula
dipandang sebagai pendefinisian rasa kebangsaan kepada ikatan-ikatan yang lebih
primordialistik. Diperparah dengan sudut pandang bahwa etnonasionalisme
dipandang sebagai hilangnya rasa loyalitas terhadap sebuah kesepakatan bersama
untuk mendirikan entitas politik yang lebih besar. Gejala disintegrasi bangsa
Indonesia dengan basis pengertian etnonasionalis dapat pula dipandang sebagai
fenomena pemberontakan lokal dengan skala yang besar karena berkeinginan untuk
memerdekakan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) untuk
mewujudkan kembali bangsa yang pernah ada sebelumnya.
Untuk kasus di Indonesia, nasionalisme terbentuk
karena akar pembentukan kesadaran kebangsaan indonesia awalnya justru terbentuk
dari gerakan-gerakan etnonasionalime di nusantara. Keinginan bersama ini untuk
mewujudkan sebuah bangsa baru yang kemudian disebut sebagai komunitas
terbayang. Seperti yang disebutkan oleh Benedict Anderson dalam bukunya Imagined Communities (2008) bahwa bangsa
adalah komunitas politis dan dibayangkan sebagai sesuatu yang bersifat terbatas
secara inheren sekaligus berkedaulatan. Di sini Anderson
mempersepsikan nasionalisme sebagai wujud hasil budaya dari sebuah komunitas, untuk memahaminya harus dilihat bagaimana
ke-nasional-an dapat muncul secara historis. Nasionalisme muncul sebagai hasil
akulturasi berbagai kekuatan historis beberapa kaum, lalu diikat dengan sebuah ideologi
kesadaran masing-masing kaum bahwa akan adanya sebuah rasa kepentingan bersama,
dan akhirnya dibentuk suatu tatanan politis sebagai simbol persatuan
sebuah komunitas baru tersebut. Kemudian semua kaum dalam bangsa itu hidup sebuah
bayangan tentang kebersamaan mereka. Dasar ini sangat tidak kuat jika dikaji lebih lanjut untuk
kasus Indonesia dikarenakan masing-masing etnis terbangun atas
kerajaan-kerajaan yang pernah ada sebelum Indonesia terbentuk dan sangat
menyatu dengan segala sisi kehidupan masing-masing bangsa. Sehingga primordialistik
yang mengarah ke etnonasionalisme tidak serta merta hilang begitu saja hanya
untuk ikatan kesatuan entitas baru. Kemudian pemahaman yang didapat dalam
“Imagined Community” bahwa bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para
anggota bangsa (yang kecil sekalipun) tidak tahu dan tidak kenal dengan
anggota-anggota lainnya. Pendapat Koentjaraningrat tentang permasalahan gerakan etnik yang
berpengaruh terhadap integrasi nasional yang yang muncul kemudian di atas
semakin memperkuat analisis sebelumnya tentang gerakan etnonasionalism yang
mengancam nasionalisme, yang walaupun dasarnya etnonasionalism-lah yang
membentuk dasar-dasar kekuatan nasionalism atas dasar historis yang sama secara
politis. Pendapat Koenjaraningrat ini kemudian dapat menutupi sisi lemah
pendapat Anderson, terutama dari sisi telaah pembentukan nasionalism dari
etnasionalism yang tidak pernah disebutkan olehnya.
Dengan adanya beberapa analisis
di atas, dapat dilihat bahwa sistem nasionalisme Indonesia rapuh dan sangat
mudah untuk terjadinya disintegrasi. Munculnya gerakan etnonasionalism dalam beberapa
dekade terakhir di Indonesia juga menunjukan bahwa tidak benar jika
nasionalisme menjadi satu paham kebangsaan yang kokoh. Di sini kemudian
Benedict Anderson menempatkan komunitas terbayang sebagai sebuah bangsa
Indonesia dengan berbagai masalah kebangsaannya yang sangat kompleks. Kasus Aceh dan Papua menjadi
contoh konkrit bahwa nasionalisme seperti yang diutarakan Benedict Anderson
kurang tepat di Indonesia. Indonesia yang terdiri dari ribuan etnis pasti
memiliki etnonasionalism-nya masing-masing walaupun tidak sampai terjadi
disintegrasi dengan eskalasi yang besar, akan tetapi kemudian etnonasionalism
berbagai daerah di Indonesia berwujud dengan aktivitas yang mengarah kepada
permintaan hak secara lebih dari negara untuk kaumnya masing-masing. Etnonasionalis ini sebenarnya merupakan cara pandang yang dapat merusak
ikatan nasionalisme yang lebih besar. Hal ini jelas melanggar
kesepakatan-kesepakatan dari beberapa entitas politik lokal untuk membentuk
suatu komunitas yang lebih besar ini dalam ikatan geopolitik yang kuat dan
mapan.
Jacques
Bertrand berpendapat dalam bukunya Nationalism
and Ethnic Conflict in Indonesia
yang diterbitkan pada 2004 bahwa letak masalah yang timbul dalam konflik etnis
di Indonesia diawali oleh masalah pemahaman nasionalisme yang tidak mampu
ditafsirkan secara faktual dan dinegosiasikan oleh Negara (kemudian disebut
dengan Lembaga Pemerintah) terhadap etnis yang ada di Indonesia. Hal ini memicu
konflik yang bersifat etnosentris yang menuntut hak lebih bahkan yang lebih
ekstrim dalam keberadaanya di Indonesia sehingga menjadi awal dari disintegrasi.
Faktor etnonasionalism yang memunculkan disintegrasi ini semakin diperkuat
dengan realitas bahwa Lembaga Pemerintah tidak mampu menaungi kepentingan semua
etnis yang ada, bahkan cenderung menafikan etnonasionalism yang membangun
nasionalism. Terbangunlah sebuah pemahaman bersama yang mengikat dalam
perspektif primordialistik untuk memperoleh haknya tersebut, pemahaman ini
kemudian disebut dengan etnonasionalism. Lembaga negara yang kemudian menjadi
sangat sentralisik memperkuat ilusi etnonasionalism di beberapa daerah. Pendapat
Bertrand ini memperkuat pendapat Koentjaraningrat tentang bagaimana
etnonasionalism terbentuk dan menjadi antitesa nasionalism sebagai ideologi
perlawanan terhadap negara di beberapa daerah, seperti Aceh dan Papua. Walaupun
hal ini menjadi absurd ketika dilihat dari perspektif kemajemukan yang
membentuk bangsa Indonesia. Untuk kasus di Indonesia, etnonasionalism
berevolusi dari diferensiasi etnis yang
diciptakan oleh historis dan konflik masa lalu. Berbagai kerajaan-kerajaan di
nusantara merasa memiliki kepentingan bersama melawan penjajah Belanda. Lalu
bersepakat untuk kemudian mendirikan suatu bangsa baru atas dasar kepentingan
bersama. Bangsa baru inilah yang kemudian disebut Anderson sebagai Komunitas
Terbayang. Namun di sini Bertrand membiaskan pendapat Koentjaraningrat, yaitu gelaja
etnonasionalism berawal dari dalam rasa primordialistik itu sendiri dan
dipandang mampu membangkitkan semangat perlawanan terhadap Negara. Bertrand
justru berpendapat bahwa etnonasionalisme timbul akibat penafsiran faktual yang
tidak memenuhi kepentingan etnis oleh Negara itu sendiri. Letak pertemuan dua
konsep ini lalu ketika simpul keberadaan negara atas etnis menjadi sentral
dalam mengakomodasi seluruh kepentingan etnis tersebut. Jadi di sini
nasionalisme harus menjadi perhatian penting oleh negara untuk menjadikan
nasionalisme tersebut sebagai ikatan yang lebih besar bagi seluruh etnis dalam
integrasi Indonesia.
Ahmad Taufan Damanik dalam bukunya “Dari
Imajinasi Negara Islam ke Imajinasi Etno-Nasionalis” yang terbit pada tahun
2010 mengkaji pemikiran Hasan Tiro tentang wacana pembentukan identitas politik
Aceh. Kajian Damanik ini dilakukan dengan pendekatan study linguistik, berupa
penelusuran teks-teks atau bahasa yang digunakan DI/TII dan GAM (terutama kedua
pemimpinnya), pendekatan ini tidak dimaksudkan untuk menafikan objek material
historis yang meliputi dan melatarbelakangi sejarah perlawanan Aceh kontemporer.
Damanik menyebutkan bahwa kemerdekaan Aceh, sebagai a new social imaginary,
semakin mengkristal dan menghegemoni wacana politik di Aceh. Sebaliknya, wacana
hegemonik ini sekaligus menandai bubarnya wacana nasionalisme Indonesia di
dalam benak orang Aceh. Pendapat Damanik ini mendukung pemikiran Bennedict Anderson mengenai konsep
nasionalisme yang tampaknya relevan untuk kasus etnonasionalism yang terjadi di
Aceh. Bahkan Damanik mutlak menempatkan pandangan Anderson dalam kasus di Aceh,
antara lain bagaimana Damanik berpandangan bahwa Hasan Tiro membayangkan sebuah
komunitas baru berbentuk pemahaman kebangsaan lain dalam bingkai Indonesia. Hal
ini kemudian menjadi telaah khusus Damanik dalam melihat kasus Aceh.
Nationalism yang secara antropologis disebut Anderson
sebagai imagined community di mana
wacana pembentukan identitas politik Aceh
kemudian bertransformasi
ke wacana hegemonik nasionalisme lokal. Anderson berpandangan bahwa nasionalism dipahami
dengan bagaimana konsep-konsep nasionalism tersebut “telah menjadi kemenjadian
sejarah, di dalam cara-cara dimana makna-maknanya telah berubah sepanjang waktu”.
Ini kemudian didasarkan secara konkrit oleh Damanik dalam perspektifnya melihat
kasus Aceh, Damanik mengemukakan komunitas terbayang tentang Indonesia akan sangat bergantung di dalam
cara mana hubungan antara Aceh dan Indonesia diartikulasikan dan bagaimana
hubungan itu berubah setiap saat. (Damanik, 2010; 17). Kemudian perspektif yang
diberikan Damanik juga didasari secara kuat pada pendapat Koentjaraningrat,
yaitu “suatu
gejala penting yang terdapat dalam
berbagai peristiwa di dunia selama dua dasawarsa terakhir adalah timbulnya
gerakan-gerakan etnik, dengan adanya sukubangsa-sukubangsa atau
golongan-golongam etnik yang menuntut otonomi yang lebih besar –atau pun
kemerdekaan- dari negara tempat mereka bermukim sebagai warganegaranya”
(Koentjaraningrat, 1993; 1). Jadi Damanik menelaah konsep Aceh dengan didasari
teori yang berbeda namun diformulasikan dengan sangat jelas dalam sebuah konsep
yang tepat. Perspektif keilmuan yang tepat dalam menempatkan teori Anderson untuk
konteks Aceh di mana konstelasi ideologi politik yang terus-menerus akan
memengaruhi bentuk gagasan nasionalisme mau pun prakteknya di dalam kehidupan
sosial politik suatu masyarakat. Konstelasi itu pula yang menyebabkannya mengalami
pasang-surut yang tidak pernah henti, meski adakalanya bubar atau memecah
menjadi beberapa sub-nasionalisme yang kemudian berdiri sendiri. Dengan begitu, menjadi penting untuk menelaah
bagaimana identitas Aceh bertindak sebagai sebuah elemen pendukung, dan secara
khusus bagaimana elemen tersebut menyediakan sebuah penafsiran, merespon dan
mereaksi proses perkembangan komunitas terbayangkan tersebut.
Rujukan Teori
Hasan Tiro, Dari Imajinasi Negara Islam ke Imajinasi Etno-Nasionalis. Ahmad Taufan Damanik, terbit tahun 2010.
Imagined Communities: Reflection on the Origin and Spread of Nationalism. Benedict Anderson, terbit tahun 2002.
Masalah Kesukubangsaan dan Integrasi Nasional. Koentjaraningrat, terbit tahun 1993.
Nationalism and Ethnic Conflict in Indonesia. Jacques Bertrand, terbiat tahun 2004.
Zulfiadi Ahmedy, S.IP
Mahasiswa Pascasarjana Politik & Pemerintahan UGM Yogyakarta
Anggota Himpunan Mahasiswa Pascasarjana Aceh di Yogyakarta (Himpasay)
mantap ini Mas Zul, telaah pandangan kontemporer primordialistik yang membentuk "(etno)"-nasionalisme. teruskan berkarya....
BalasHapusPuja Sundari