Kata Bijak;

“Setiap manusia mempunyai kekuatan sejarah yang menyingkapkan masa lalunya. Sejarah telah mendudukkan kembali dalam ukuran yang lebih berat dan kokoh bagi yang bersangkutan dan beribu-ribu rahasia dari masa lalu terbit kembali dari lubuk yang tersembunyi dari cahaya matanya. Masih tidak ada sahabat yang tidak mengerti arti mimpi yang akan menjelma menjadi kenyataan sejarah satu saat nanti, karena terkadang masa lalu masih belum semua nampak. Banyak kekuatan yang agaknya belum kita ketahui”



-Friedrich Nietzsche

Senin, 24 September 2012

Happy Birthday Our Hero, Hasan Muhammad di Tiro

Simpul sejarah Aceh tak lekang dari sosok Tgk Muhammad Hasan Di Tiro. Menurut Cornelis Van Dijk, sejarawan asal Rotterdam Belanda, Hasan Muhammad di Tiro disebut sebagai seorang yang memiliki inteligen tinggi, berpendidikan baik, yang diberkahi dengan kombinasi yang jarang terdapat pada orang kebanyakan, yakni pesona dan keteguhan hati (Burham: 1961).
Hasan Muhammad di Tiro (25 September 1925 – 3 Juni 2010), salah satu tokoh besar yang dimiliki Aceh, baik dari keturunan maupun dari kejenuisan dan keteguhan hati dalam memperjuangkan harga diri bangsa Aceh. Komitmennya untuk Aceh berdiri sendiri dalam bingkai Syariat Islam lewat kemerdekaan penuh yang tidak pernah padam, sebagaimana indatu dan pejuang Aceh lainnya ketika mengusir kolonialis Belanda. Komitmennya untuk Aceh tidak perlu diragukan lagi. Membuka kembali mata rakyat Aceh dan meninggalkan pelajaran kepada kita semua tentang sebuah harga diri dan marwah, adalah pejuang sekaligus pahlawan bagi rakyat Aceh. Kita semua tahu bahwa Hasan Tiro adalah sosok sentral yang mempertinggi posisi tawar Aceh di mata Jakarta. Dari segi pemikiran, Hasan Muhammad di Tiro sangat pantas disetarakan dengan pemikir nasionalis lainnya seperti Natsir dan Hatta, dan jiwa patriotisme Hasan Muhammad di Tiro sepadan dengan Gandhi dan Mandela.
Terlepas dari sejarah bahwa beliau yang pada awalnya pernah menaruh simpati pada indonesia dan akhirnya berontak, kita melihat rasa nasionalis beliau yang tidak pernah pudar terhadap Aceh, dengan keteguhan hati rela meninggalkan keluarga dan kekayaan di New York hanya untuk memperjuangkan harga diri bangsa Aceh, hanya segelintir orang normal mampu melakukan hal tersebut. Dengan melihat realitas bahwa Aceh adalah pernah berdaulat sebagai sebuah bangsa yang besar  dan diakui oleh bangsa-bangsa lainnya di dunia, beliau paham akan sebuah arti penting kedaulattan sejarah bangsa Aceh dan bagi kita sendiri setidaknya sadar bahwa sebuah harga diri sangat penting untuk kita pertahankan dan harus dibela.
Karya-karya yang dihasilkan beliau membuktikan bahwa beliau jenius dan begitu paham tentang Aceh, dimulai dari ttugas akhir beliau pada Universitas Islam Indonesia pad 1949 dengan judul Perang Atjeh 1873-1927”. Kemudian dilanjutkan dengan disertasi dokttor pada Universitas Columbia, Amerika Serikat yang berjudul “Konstitusionalisme Kesultanan Aceh. banyak karya hasil pemikiran beliau, antara lain Demokrasi Untuk Indonesia, Indonesia Nationalism, A Westtern Invention To Subvert Islam And To Prevent Decolonization Of The Dutch East Indies, Masa Depan Politik Dunia Melayu, dll.
Hasan Muhammad di Tiro menjelajahi sejarah, menulis sekian pandangan tentang nasionalisme Aceh. Pada karyanya yang lain, “Atjeh Bak Mata Donja” (Aceh di Mata Dunia) yang ditulis dalam bahasa Aceh dan dicetak sebanyak tiga kali, pertama di New York pada 15 Maret 1968, kedua di Glee Mamplam pada 1977 dan yang ketiga di Stockholm pada 1984. Hasan Muhammad di Tiro menguraikan kausalitas hilangnya kesadaran historis dan politis rakyat Aceh setelah Perang Belanda. Beliau mulai merekonstruksi sejarah Aceh, dan menegasi kembali segala upaya integrasi dengan republik. Dalam tulisan ini pula Hasan Muhammad di Tiro menjelaskan tentang peperangan Aceh dengan Belanda dengan tiga fase peperangan, yang pertama pada 5-23 April 1873, kemudian pada Desember 1873 sampai Desember 1911 dan yang terakhir pada 1911 sampai dengan Maret 1942. Selama peperangan ini Aceh tidak pernah mengalami kekalahan dan Sultan Aceh tidak pernah menyerahkan kedaulatannya kepada Belanda walaupun Sultan Aceh sudah tertangkap Belanda. Dalam tulisan ini Hasan Muhammad di Tiro menanamkan rasa nasionalisme ke-Aceh-an, membuka kembali sejarah bahwa Aceh adalah bangsa besar yang diakui kedaulatannya oleh dunia. Aceh adalah suatu bangsa di dunia seperti bangsa lain juga, mempunyai sejarah, dan bahasa sendiri. Sejak tahun 1873 lebih dari ratusan ribu rakyat Aceh kehilangan nyawanya dalam usaha mengusir kolonialis Belanda dari Aceh. Bagi pendukung kemerdekaan Aceh ketika ini, pengorbanan itu merupakan tindakan memerdekakan diri dari penjajah Belanda, bukan merupakan perjuangan untuk memerdekakan Indonesia seperti yang yang dikatakan nasionalis Indonesia. Sementara para pakar sejarah Indonesia melihat sebagai sebuah dukungan dan persetujuan atas dasar kehendaknya sendiri untuk bergabung dengan Indonesia, karena sama-sama mengusir kolonialis Belanda dari nusantara. Hasan Muhammad di Tiro mengemukakan bahwa perjuangan rakyat Aceh dalam mengusir Kolonialis Belanda pada masa itu bukan sebagai perjuangan memerdekaan Indonesia, namun perjuangan mempertahankan marwah, harga diri dan kedaulatan bangsa Aceh. Nasionalisme keacehan sangat ditegaskan oleh Hasan Muhammad di Tiro dalam tulisan ini, pemikirannya mempengaruhi kejiwaaan rakyat Aceh sehingga menumbuhkan kembangkan kembali semangat rakyat Aceh tentang mempertahankan harga diri dan kehormatan Aceh sebagai bangsa yang besar dan pernah diakui dunia.
Kita penerus bangsa Aceh harus bangga dengan adanya tokoh kaliber dunia yang lahir di tanah Aceh, yang telah membuka mata dunia bahwa eksistensi Aceh masih bisa diperhitungkan sebagai sebuah bangsa yang besar, yang mengajarkan kita semua akan sebuah arti harga diri, sudah selayaknya kita menelaah sendiri rasa nasionalis keacehan dalam diri kita, dan melawan semua penindasan harga diri terhadap kita bangsa Aceh. 
Selamat Ulang Tahun Hasan Muhammad di Tiro (25 September 1925 - 25 September 2012), pengorbananmu akan kami lanjutkan sebagai manifestasi kedaulatan bangsa kita, walaupun hanya sebatas pikiran kecil yang bisa kami tuliskan di atas kertas...
Untuk pahlawan kami semua yang merasa “manusia” berdarah Aceh, Hasan Muhammad di Tiro.

Kamis, 16 Agustus 2012

Radikalisme Agama Sebagai Tantangan Keislaman, Kebangsaan dan Kemodernan

Radikalisme agama adalah paham keyakinan yang cenderung melegalkan konsep ekstrimitas pada setiap pemikiran dan tindakannya dalam kehidupan bermasyarakat. Radikalisme agama merupakan paham lama yang berkembang dan sering digunakan atas dasar untuk melakukan tindakan tertentu dengan dalih pembelaan terhadap agama. Paham ini menjadi tantangan bagi islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin, dan menghambat proses pembaharuan, baik konsepsi pemikiran, infrasturktur maupun pada konsep-konsep perubahan, serta memicu konflik yang mengarah pada perpecahan bangsa sehingga dapat mengganggu stabilitas kebangsaan indonesia sebagai negara yang berdaulat.
Pada dasarnya, radikalisme dalam penganut keyakinan beragama biasanya lahir dari orang-orang konservatif ataupun dari paham tradisionalis, dimana mereka mempertahankan sikap-sikap keyakinan yang menurut mereka tidak boleh diotak-atik ataupun tidak boleh dimasuki oleh pengaruh-pengaruh keyakinan lain. Saat ini radikalisme cenderung lahir dari orang yang tidak ingin melakukan perubahan dalam tatanan kehidupan masyarakat tertentu. Mereka tidak puas dengan keadaan yang ada ataupun merasa termarginalkan oleh pihak-pihak tertentu, termasuk di dalamnya pemerintah yang sah1. Sehingga satu-satunya cara untuk menunjukan kekuatan (show forces) adalah dengan melegalkan tindakan- tindakan yang agak ekstrim dalam kehidupan masyarakat, contoh misalnya terorisme. Dalam ilmu politik mereka dapat disebut dengan kelompok anomi2. Ada juga yang bertindak dengan menyebarkan isu-isu yang langsung mendeskritkan golongan tertentu, sehingga tergambarkan bahwa agama tersebut bersifat ortodoks. Akibatnya timbul paham bahwa pada konteksnya agama yang benar adalah agama yang tidak melakukan pembaharuan secara konsepsional. Dan hal tersebutlah yang nantinya akan menjadi dasar perubahan dalam kehidupan bermasyarakat suatu golongan yang terpengaruh untuk hidup berdasarkan konsep keyakinan yang lahir pada golongan mereka akibat dari perbenturan ideologi perubahan tersebut.
Sebuah tantangan bagi islam bahwa radikalisasi agama merupakan cara jitu untuk memecah-belah persaudaraan antar umat beragama, memunculkan stigma bahwa konsepsi beragama tidak lebih hanya sebatas melakukan ritual ibadah mahdhah saja, karena pada satu sisi agama hanya bersifat monumental. Sehingga timbul klaim-klaim bahwa golongan tertentulah yang paling benar dalam beragama dan terkadang bahkan melabelkan golongan lain di luar mereka. Proses-proses untuk menunjukan eksistensi mereka cenderung menghalangi orang untuk melakukan pembaharuan dalam bermasyarakat atau dipaksa melawan untuk melakukan suatu perubahan dengan cara ekstrim. Akibatnya adalah muncul pembatasan tertentu, terutama pada golongan yang berpaham berbeda dengan ideologi mereka.

Pembaharuan yang didasari modernitas juga menjadi objek cemoohan bagi golongan radikalisme ini, karena dianggap menanamkan paham barat (westernisasi) dengan memanfaatkan kondisi global. Maka mereka juga beranggapan bahwa proses ini menjadi salah satu faktor yang merusak agama, sehingga agama harus dibela dengan cara dicegah dan dibasmi. Konsep modernitas yang dipahami secara sempit inilah yang sebenarnya mengakibatkan konseptual pembaharuan tidak mampu berjalan dengan keadaan masyarakat, bahkan menyulut api konflik baru di kalangan masyarakat. Kondisi kekinian indonesia juga cenderung terpecah, terutama yang didasari pada tingkat golongan paham keyakinan beragama. Paham kebangsaan yang dianut tudak mampu meredam semua perbedaaan, karena perbedaan yang timbul begitu mendasar dan menyakiti sebagian golongan. Sehingga timbul pemikiran bahwa harus ada pemikiran baru yang dapat merubah semuanya.
Kontroversi radikalisme agama memang sangat menarik jika kita kaji lebih jauh, terdapat nilai plus minus yang timbul dari pembahasan tersebut. Bahkan jika terkait dengan konteks keislaman, kemodernan dan keindonesiaan. Radikalisme yang menlegalkan cara-cara kekerasan dalam memenuhi keinginan atau kepentingan inilah yang harus dihindari, bahkan kalau perlu dilenyapkan karena jelas-jelas kehadirannya hanya menjadi sampah peradaban.

Banyak peristiwa kekerasan yang dilatar belakangi oleh agama selama ini, yang jelas, fenomena tersebut kian membenarkan asumsi sementara bahwa agama merupakan amunisi tambahan yang sangat ampuh untuk menciptakan tindakan- tindakan radikal, ekstrem, dan anarkis agar pihak lain yang dianggap rivalnya tidak berdaya. Perbedaan kepentingan juga terjadi dengan dalih agama. Sehingga memudahkan kelompok tersebut untuk bergerak. Dan, masih banyak teori lain yang mencoba membela posisi agama sebagai faktor yang bersifat marginal sehingga tidaklah fair menyalahkan agama sebagai pemicu kerusuhan. Meski demikian, keraguan dan pertanyaan kritis selalu saja muncul. Agama yang dalam wujudnya abstrak, namun implikasinya sangat dahsyat dan riil. Agama yang selalu menganjurkan keramahtamahan ternyata bisa memicu keberingasan dan kesewenang-wenangan, bahkan saling bantai.
Dalam kenyataannya, memang tidak ada satu kelompok agama apa pun yang immune terhadap masalah di atas. Menurut Komaruddin Hidayat, ada beberapa kemungkinan mengapa hal itu terjadi. Pertama, hampir semua agama besar dunia dilahirkan pada masyarakat tertutup dan langsung berhadapan dengan musuh. Karena itu, banyak sekali ungkapan yang secara tekstual menyatakan permusuhan dan mengutuk eksistensi agama lain. Karena teks agama dianggap suci, sementara konteks sosialnya diabaikan, maka pendekatan tekstual semata, tanpa memperhatikan konteks historisnya, bisa mengawetkan rasa permusuhan terhadap kelompok agama lain. Kedua, setiap agama menawarkan jalan keselamatan yang kemudian dipahami secara eksklusif sehingga seakan-akan hanya terdapat satu jalan menuju surga. Lebih ekstrem lagi, dengan mengutuk dan membasmi keberadaan agama lain, dianggapnya sebagai suatu kesalehan. Orang semacam ini terlalu yakin bahwa seakan hanya dirinyalah yang telah mendapat mandat dari Tuhan sebagai juru kunci surga dan dialah yang paling berhak menentukan seleksinya. Ketiga, setiap agama pada urutannya melahirkan realitas sosial berupa the community of believers. Begitu muncul sebuah komunitas dengan identitas serta ikatan atau nilai yang diyakini dan dibela secara emosional, maka saat itu pula akan muncul outsiders atau the other groups, bahkan mungkin one region one faith

Ideologi tidak mengenal lawan abadi. Segala cara dihalalkan untuk memenuhi ambisi ideologi, bahkan dengan menggunakan konsep agama. Upaya kekerasan untuk memberantasnya tidak boleh menjadi jalan satu-satunya. Tidak ada hasil maksimal dengan hanya mengandalkan jalan keras. Harus ada upaya lain dalam mengatasi radikalisme agama. Beberapa Solusi antara lain adalah:
Pertama, menampilkan Islam sebagai ajaran universal yang memberikan arahan bagi terciptanya perdamaian di muka bumi. Perlunya setiap pemimpin agama memperhatikan sistem penafsiran kitab suci agama masing-masing. Masalah terbesar dalam mengatasi radikalisme adalah bagaimana menyosialisasikan penafsiran kitab suci yang lebih kontekstual tanpa harus menurunkan nilai utama agama. Penafsiran harfiah dan literal sudah terbukti menimbulkan sifat kekerasan atas nama agama. Dan ini harus diupayakan dikurangi. Pemerintah tidak hanya menekankan dialog antar umat beragama, tetapi mempromosikan lewat Kementrian Agama untuk memanggil ahli kitab suci agar menerbitkan buku dan memperbaiki kurikulum pendidikan teologi dan agama dengan sistem penafsiran yang baik. Dapat diyakini bahwa semua permasalahan radikalisme adalah dimulai dengan bagaimana teks ditafsirkan dalam konteks kekinian. Bila teks kitab suci dimaknai secara literal, maka tidak heran radikalisme tidak akan pernah bisa dikurangi.

Kedua, sudah saatnya menumbuhkan karakter keberagamaan yang moderat, dengan cara pada penekanan kepada dialog yang lebih jujur. Kebanyakan dialog yang sering terjadi hanya untuk mereka yang sepakat. Maksudnya, dialog antar umat beragama hanya terjadi di antara mereka yang moderat. Misalnya, Kristen dengan NU yang jelas mewarisi Islam moderat, dan contoh lainnya. Tetapi bagaimana jika kita menerima tantangan Frans Magnis Suseno agar berani berdialog dengan kelompok yang radikal. Apakah mau berdialog dengan yang disebut kelompok keras? Dialog dengan kelompok ini akan membuat terjadi pemahaman yang lebih terbuka walaupun jalan ini tidak akan selancar kalau berdialog dengan kelompok moderat. Di setiap agama ada elemen-elemen fundamentalismenya.
Ketiga, perlu ada upaya pencegahan munculnya sumber radikalisme agama, seperti masalah keadilan, pendidikan dan kemiskinan. Masalah kemiskinan dan ketidakadilan harus mendapat perhatian serius di negeri ini. Ada teori yang mengatakan bahwa suburnya kelompok radikal ini akibat dari kemiskinan, sehingga pemuda mudah direkrut menjadi kelompok teroris. Bisa disetujui hal ini, walaupun di negara yang relatif makmur pun seperti di Malaysia dan Timur Tengah kelompok keras ini juga tumbuh subur. Maka, adalah kewajiban pemerintah untuk menjadikan kemiskinan sebagai hal utama dalam strategi pemerintah ke depan. Dalam beberapa isu politis, kemiskinan masih menjadi komoditas politik, dan upaya pengentasan kemiskinan belum maksimal. Masalah ketidakadilan antara lain korupsi dan penyelesaian kasus pelanggaran HAM di berbagai belahan negeri. Korupsi tidak mudah diatasi sebagaimana yang sudah diwacanakan. Dan penyelesaian kasus pelanggaran HAM tidak kunjung diselesaikan. Karena terdapat keterlibatan kaum elit dalam kedua hal tersebut di atas, maka hilanglah kepercayaan dari masyarakat. Tetapi penyelesaian kemiskinan tidak hanya tugas pemerintah, ini harus menjadi tugas semua kita.

Radikalisme tidak mudah dihilangkan, tetapi bukan hal yang mustahil. Ketegasan pemerintah terhadap kelompok radikal sudah baik dan tepat. Tetapi adalah fatal jika kita menyerahkan tugas itu hanya kepada Pemerintah saja. Ini harus menjadi tanggung jawab bersama dan perhatian kita lebih serius.


(tulisan ini merupakan Ringkasan Karya Ilmiah Penulis pada LK II HMI Nasional di Ciputat Jakarta tahun 2010)
Zulfiadi Ahmedy (joel.ahmedy@live.com)

Sabtu, 21 April 2012

Ikatan Primordial Dan Politik Kebangsaan Di Negara-negara Baru

Kekaburan konsepsional sekitar pengertian-pengertian bangsa, kebangsaan dan nasionalisme telah sering dibahas dan dikecam dalam setiap karya yang mencoba mengupas masalah hubungan antara kesetiaan komunal dan kesetiaan politik. Jalan yang ditempuh untuk mengatasi persoalan ini ialah usaha memuaskan segala pihak yang memandang masalah-masalah yang berhubungan dengannya dari berbagai segi: politik, psikologi, kultur dan demografi. Akibatnya, usaha mengurangi kekaburan itu malah tidak banyak mengalami kemajuan.
Sebagian dari kekaburan ini dapat dihilangkan kalau saja disadari bahwa rakyat Negara-negara baru terdorong oleh dua jenis motif yang kuat, saling mempengaruhi, berbeda satu dari yang lain dan yang seringkali bertentangan: pertama, kehendak untuk diakui sebagai pelaku-pelaku yang bertanggung jawab dan yang hasrat, harapan, tindakan serta pendapatnya “diperhitungkan”; kedua, kehendak membina suatu Negara modern yang efisien dan dinamis. Kehendak pertama adalah ikhtiar untuk diperhatikan; ia merupakan usaha mencari identitas (kepribadian) dan bahwa identitas itu diakui secara terbuka sebagai sesuatu yang terpenting, suatu penegasan diri sosial untuk menjadi seseorang di dunia. Kehendak kedua bersifat lebih praktis suatu tuntutan untuk kemajuan, meningkatkan taraf hidup menciptakan tata susunan politik yang tertib, keadilan sosial yang lebih meluas serta lebih memainkan peranan dalam percaturan politik dunia dan menyatakan pengaruhnya dalam masyarakat internasional. Kedua motif itu saling berkaitan, karena kewargaan di dalam suatu Negara yang sungguh-sungguh modern makin lama makin diterima sebagai cara menyatakan harkat pribadi bangsa dank arena apa yang menurut Mazzini disebut sebagai tuntutan kehadiran dan mempunyai nama bagian terbesar dikobarkan akibat perasaan hina terasing dari pusat-pusat kekuasaan terpenting di dunia. Tetapi kedua motif itu tidaklah sama, keduanya berbeda asal-usulnya dan mengadakan respon terhadap tekanan-tekanan yang berbeda-beda pula. Malah ketegangan antara kedua motif itulah yang merupakan salah satu penggerak utama dalam evolusi Negara-negara baru. Dalam pada itu, ketegangan tersebut juga merupakan salah satu hambatan dalam evolusi kebangsaan.
Titik pusat kegoncangan primordial biasanya berkisar pada beberapa sebab yang seringkali timbul bersama dan berlawanan tujuan. Secara deskriptif, masalah-masalah yang adalah sebagai berikut:
1. Hubungan Darah
Pembatasan yang penting disini ialah yang bersifat kwsai-kekeluargaan, karena hubungan yang wujud, akibat ikatan biologis (keluarga besar, garis keturunan dan sebagainya) terlalu terbatas untuk dianggap cukup berarti. Oleh karena itu pengenalan lebih bersifat hubungan keluarga yang lebih sosiologis, seperti kesukuan.
2. Jenis Bangsa (ras)
Ras mirip dengan kesukuan dalam arti bahwa ia melihat teori etno-biologis.
3. Bahasa
Bahasa seringkali dipandang sebagai poros essensi konflik-konflik nasional, ada baiknya ditegaskan di sini bahwa linguisme bukanlah suatu yang lahir akibatyang pasti lahir dari keaneka-ragaman bahasa
4. Daerah
Meskipun menjadi factor di hamper setiap pelosok dunia, kedaerahan dengan sendirinya menjadi masalah gawat di daerah-daerah geografis yang heterogen.
5. Agama
Perbedaan keyakinan terkenal tentang kekuatan ikatan keagamaan dalam menghambat ataupun menggagalkan perasaan kebangsaan yang lebih luas.
6. Kebiasaan
Perbedaan-perbedaan dalam bentuk kebiasaan sering merupakan dasar dari salah satu perpecahan nasional.

Penyusunan tipologi pola-pola nyata aneka ragam primordial yang ada di Negara-negara baru seringkali dihambat oleh tiadanya keterangan terperinci dan yang dapat dipercaya. Tetapi suatu klasifikasi kasar dalam analisa tentang peranan ikatan-ikatan primordial dalam politik kebangsaan. Analisa ini diharapkan lebih tajam dan lebih cermat daripada yang dapat dilakukan melalui klise-klise sosiologis seperti pluralism, kesukuan, kedaerahan, perkauman dan sebagainya:
a. Salah satu pola umum dan yang relatif sederhana ialah adanya suatu kelompok dominan yang hampir selalu berhadapan dengan minoritas yang mengganggu
b. Hampir sama dengan pola pertama tetapi lebih rumit, ialah adanya satu kelompok sentral –seringkali dalam arti geografis di sampimg dalam arti politis- yang berhadapan dengan beberapa kelompok menengah yang agak menentang
c. Suatau pola lain yang berbentuk tiadanya homogenitas intern ialah dua kutub yang terdiri dari kelompok-kelompok besar yang seimbang
d. Ada pula yang menggambarkan urutan kepentingan yang hampir sama, baik yang terdiri dari beberapa yang besar maupun beberapa yang sedang atau yang kecil, tanpa ada yang dominan atau perbedaan-perbedaan yang jelas
e. Ada perpecahan sederhana berdasarkan pembagian etnis, yang terdiri dari banyak kelompok-kelompok kecil.

Jumat, 13 April 2012

Wacana Revolusi Aceh

Sejarah aceh adalah rangkaian kisah tentang kepahlawanan orang aceh dan kebingungan militer. Keperwiraan orang aceh dalam bertempur memang sulit terbantahkan. Bahkan, hingga pada detik-detik pergolakan aceh pada beberapa tahun yang lalu dan mungkin juga akan terjadi pada masa yang akan datang. Dibanding perang jawa atau lebih dikenal perang diponegoro (1825-1830), sejarah tak pernah mencatat adanya jenderal Belanda yang tewas. Berbeda jauh dengan sejarah perang Aceh, perlawanan rakyat di Aceh menorehkan catatan bahwa empat jenderal belanda pun ikut tewas.
Banyaknya korban itu jelas membuat Belanda putus asa. Catatan-catatan komandan perang belanda di aceh juga menunjukan betapa mereka memuji ketangguhan tentara aceh. Mereka juga menuliskan bahwa keliatan tempur musuhnya itu setaraf dengan pasukan kaisar prancis, napoleon Bonaparte. Pang nanggroe ulama besar yang dihormati oleh orang aceh sebagai orang yang keramat dan kebal senjata. Oleh pasukan marsose di bawah brigade Mosselman, dikenal sebagai ahli penyamaran dan jebakan. Kepiawaian pejuang aceh aceh tak kalah canggih dengan kecerdikan gerilyawan vietkong ketika melawan tentara amerika serikat di akhir decade 1960-an.
Pada beberapa dekade yang lalu, melalui tokoh-tokoh gerakan aceh merdeka, pimpinan Hasan tiro yang ikut berperang di tanah rencong, kepahlawanan itu mulai bangkit kembali. Suasana revolutif sudah mulai terlihat. Suasana sosiologis aceh pasca DOM (daerah operasi militer) sama seperti keadaan aceh pada 1913 pasca perang aceh (1873-1913) bahwa terdapat luka mendalam yang bersifat kejiwaan. Anthony Reid menggambarkan situasi ini sebagi kehancuran, tekanan jiwa dan sakit mental. Pembantaian keji dan biadap yang dilakukan TNI sebagi representasi kezaliman Negara terhadap orang aceh merupakan modal kemanusiaan yang paling besar artinya bagi bangkitnya sebuah revolusi. Pembantaian pulalah yang menjadikan orang aceh kehilangan kepercayaan kepada Negara, atau pemerintah pusat dalam idiom politik mereka. Keluarga-keluarga di aceh mulai menjadi keluarga gerilya, di manapun kaphe (kafir) atau pa’i ditemukan, maka akan ditikam secara kejam dan membabi buta. Tujuannya hanya satu : untuk mencapai mati syahid yang diidam-idamkanpara pejuang aceh. Dalam bahasa belanda gejala ini disebut atjeh moorden atau istilah asli aceh asli disebut aceh pungo (aceh gila)
Situasi imagined community, meminjam istilah Benedict Anderson , yang dulu sangat dipertahankan aceh, tiba-tiba berubah menjadi situasi yang egois. Rakyat aceh yang paling teretekan selama berdirinya republic indonesia, yang dalam sebutan mereka disebut kaphe Indonesia-jawa. Sebutan ini memperlihatkan betapa tidak compatible-nya alam ideologis orang aceh dengan ornag Indonesia umumnya. Dan dari semua kondisi yang tengah membara ini, aceh adalah lahan tersubur bagi munculnya revolusi islam.
Sikap berani mati yang tumbuh selama perang melawan kaphe (kafir) belanda itulah yang sampai kini terpatri kuat dalam benak rakyat aceh. Dan landasan keagamaan yang paling popular di dalam melakukan perlawanan adalah Al-Quran surat IV ayat 76, “hendaklah mereka yang menjual akhirat dengan penghidupan dunia, berperang pada jalan Allah, karena barang siapa berperang pada jalan Allah lalu terbunuh atau menang, maka kami akan beri kepadanya ganjaran yang besar”.
Maka menjadi sederhanalah pilihan hidup bagi orang-orang aceh: terbunuh atau menang. Situasi inilah yang dihadapi TNI di aceh. Lebih membingungkan lagi, bagi masyarakat aceh, TNI itu sangat kasihan: bergaji rendah, bertugas berat menumpas para mujahidin, dan jika mati nanti malah masuk neraka.
Lebih-lebih, kalau turun gunung ke Gampng-gampong, kisah-kisah tentang kepahlawanan Gerakan Aceh Merdeka begitu mengharukanbirukan. Sementara kisah tentang ketakutan dan terbirit-biritnya TNI begitu sarkastis nya. Kobaran semangat jihad fisabillah akan semakin jelas bila merujuk pada Hikayat Prang Sabi yang biasa didendangkan rakyat aceh yang pada saat itu didendangkan oleh anak-anak muda. Kepahlawanan itulah hingga kini masih tampak kuat pada tentara, sepatu lars, bahkan todongan senjata bukan hal menakutkan.
Dan kebetulan pula, kisah seorang janda yang menikam perwira marsose belanda Schimdt dengan sebilah rencongnya, saat era 1990-an juga terjadi pada diri wanita setengah baya asal Meunasah Blang Gampong Kandang, Aceh Utara. Pada malam pertama seusai penggerebekan markas Ahmad Kandang, ia dengan sangat berani masuk dalam kerumunan tentara yang tengah menjaga rumah sakit umum dan tanpa disangka, secara tiba-tiba dia menikam dua tentara. Rasa takut sepertinya sudah menghilang dari hatinya. Dia sudah tak takut lagi kepada siapapun setelah suaminya dibunuh TNI tanpa alasan yang jelas. Bagi orang aceh pada saat itu, TNI adalah mesin pembunuh yang sedang kebingungan yang tidak dapat lagi membedakan dengan jelas mana Gerakan Aceh MErdeka dan mana yang bukan Gerakan Aceh Merdeka. Minimnya ilmu antropologi bagi TNI telah mengakibatkan kefatalan yang luar biasa dan harus dibayar tunai oleh menuntut ganti nyawa secara tunai setelah serangkaian tuntutan Due Process of Law gagal diakomodasikan oleh pemerintah
Maka pada saat itu, eskalasi persoalan aceh demikian cepat terjadi: mulai dari tuntutan pencabutan DOM, permintaan kedatangan Habibie ke aceh referendum, dan akhirnya tuntutan kemerdekaan bagi aceh sebagai harga mati. Pemerintah pusat terlalu yakin dengan politik tarik ulurnya kepada rakyat aceh yang sudah terlalu kecewa dengan janji-janji palsu yang terlalu sering diumbar.
Menurut Gustave Le Bon , jika keadaaan arus bawah masyarakat sudah direspons oleh elite, maka revolusi akan mudah tersulut. Untuk kasus aceh, proses adanya sebuah revolusi merupakan kejadian yang sangat luar biasa, sangat kasar dan merupakan suatu gerakan yang paling terpadu dari seluruh gerakan-gerakan sosial apa pun
Bila ditinjau dari sudut kajian kajian psikologis sosial, menurut Eisenstandt, revolusi adalah sebuah ungkapan atau permakluman final dari suatu akumulasi pergolakan emosi mendalam yang tidak tertampung dari suatu keinginan otonom yang mampu merengkuh seluruh kapasitas yang dimiliki keorganisasian ataupun ideology dari berupa protes sosial yang dilakukan secara seksama dan cermat. Apalagi, bila dikaitkan dengan kekhususan dari revolusi tersebut, yakni adanya sebuah citra utopis atau pembebasan yang bertitik tolak pada lahirnya symbol-simbol persamaan, kemajuan dan kemerdekaan dengan memusatkan pendangannya bahwa segala tindakan yang diakibatkan bergulirnya sebuah revolusi, maka akan melahirkan suatu tatanan kehidupan sosial baru yang lebih baik.
Begitu pula tentang sebab musabab berbagai peristiwa yang tak hanya bersifat temporer atau frustasi marjinal atau kegelisahan saja. Namun meminjam istilah Theda Skocpol , “revolusi itu pun muncul karena berbagai anomaly (pergeseran) sosial dan ketimpangan yang sangat fundamental. Terutama disebabkan oleh pengaruh pertikaian antar elite perpaduan pergolakan teersebut denag kekuatan sosial, ataupun karena konflik golongan yang berlarut-larut dan menyebar.
Jika nanti sebuah revolusi islam di aceh hadir dengan berbagai latar belakang tersebut di atas, maka yang timbul kemudian adalah adanya berbagai gambaran tentang pengaruh atau akibat dari adanya revolusi.
Pertama, akan muncul suatu perubahan secara kekerasan terhadap rezim politik yang ada, didasari oleh legitimasi maupun symbol-simbolnya sendiri
Kedua, penggantian elite politik dan kelas yang sedang berkuasa dengan lainnya. Kerajaan wali naggroe hasan tiro begitu membayang di pelupuk mata orang aceh
Ketiga, perubahan secara mendasar seluruh bidang kelembagaan utama –terutama dalam hubungan kelas dan system ekonomi- yang menyebabkan modernisasi di segenap aspek kehidupan sosial, pembaruan ekonomi dan indistrialisassi, serta menumbuhkan partisipasi dalam dunia politik. Bayangan tentang gaji 4 juta rupiah per bulan tanpa harus bekerja dan setiap orang dewasa dibagikan satu mobil kijang adalah sebagian dari harapan material orang aceh jika merdeka kelak.
Keempat, pemutusan secara radikal dengan segala hal yang telah lampau (yang dijelaskan oleh Alexis de Toequeville sebagai diskontinuitas yang relative)
Kelima, memberikan ikatan ideologis dan orientasi kebangkitan (millenarian) mengenai gambaran revolusioner. Hal ini mengandaikan bahwa revolusi tidak hanya membawa transformasi kelembagaan dan system moral yang akan melahirkan manusia baru. Dibuangnya system pendidikan pancasila dan diganti dengan system dari hasan tiro merupakan seberkas sinar harapan hasil millenarian aceh.
Dalam konteks aceh, mungkin menarik konseptualisasi Carl J. Friedrich bahwa revolusi menyiratkan sesuatu yang baru dengan bahasa yang kabur, logika yang lain dan revolusi dari seluruh nilai-nilai. Maka revolusi politik dapat dirumuskan sebagai pejungkirbalikkan tatanan kekuasaaan politik.
Namun kemungkinan revolusi sebagai historical inevitability di aceh akan menyerupai apa yang oleh Eugene Kamenka rumuskan bahwa revolusi merupakan suatu perubahan mendadak dan tajam dalam siklus kekuasaan sosial. Ia tercermin dalam perubahan radikal terhadap proses pemerintah yang berdaulat pada segenap kewenangan dan legitimasi resmi, dan sekaligus perubahan radikal dalam konsepsi tatanan sosialnya. Transformasi demikian pada umumnya telah diyakini tak akan mungkin dapat terjadi tanpa kekerasan. Tapi seandainya mereka melakukannya tanpa pertumpahan darah, tetap masih dianggap sebagai revolusi.
Akankah terjadinya revolusi islam di aceh sebagaimana pernah dikatakan Samuel Huntington sebagai “suatu pengjungkirbalikkan nilai-nilai, mitos, lembaga-lembaga politik, stuktur sosial, kepemimpinan, serta aktivitas mauppun kebijaksanaan yang telah dominan di masyarakat?” semua gambaran teoritis ini bisa memberikan suatu pemandangan umum bahwa di aceh paling mungkin terjadinya sebuah revolusi politik. Tekanan hidup dan penipuan politik yang dilakukan pemerintahan pusat terhadap mereka telah membuat mereka cukup geram. Namun semua itu hanya mungkin dilakukan jika atas nama islam, agama yang secara tradisi telah melekat dengan semangat dan jiwa-jiwa revolusioner orang-orang aceh.

Zulfiadi Ahmedy
Ilmu Politik FISIP Unsyiah

Jumat, 06 April 2012

Pengaruh Chosen Trauma Konflik Terhadap Demokratisasi Di Aceh


Suasana sosiologis Aceh masa DOM (daerah operasi militer) dan dan pasca DOM (1999-2005) sama seperti keadaan aceh pada 1913 pasca perang aceh (1873-1913) bahwa terdapat luka mendalam yang bersifat kejiwaan. Anthony Reid menggambarkan situasi ini sebagai kehancuran, tekanan jiwa dan sakit mental. Hidup penuh dengan kecurigaan antar masyarakat. Kuburan tanpa nama bertebaran dimana-mana, Penyiksaan menjadi tontonan biasa di tengah aktivitas masyarakat. Hukuman di luar pengadilan dan Pembantaian nyaris menjadi hal yang biasa dengan dalih penyelamatan negara. Demikian juga pasca pencabutan DOM periode 1999-2005. Ajang pembantaian baru kembali terjadi seperti tragedi simpang KKA, pembantaian arakundo dan pembantaian Tgk Bantaqiah. Pembantaian keji dan biadap yang dilakukan TNI sebagi representasi kezaliman Negara terhadap orang aceh merupakan modal kemanusiaan yang paling besar artinya bagi bangkitnya sebuah revolusi. Pembantaian pulalah yang menjadikan orang aceh kehilangan kepercayaan kepada Negara, atau pemerintah pusat dalam idiom politik mereka. Keluarga-keluarga di aceh mulai menjadi keluarga gerilya, di manapun kaphe (kafir) atau pa’i ditemukan, maka akan dituikam secara kejam dan membabi buta. Tujuannya hanya satu : untuk mencapai mati syahid membela agama dan bangsa yang diidam-idamkan orang aceh. Dalam bahasa belanda gejala ini disebut atjeh moorden atau istilah asli aceh asli disebut aceh pungo (aceh gila)
Situasi imagined community, meminjam istilah Benedict Anderson , yang dulu sangat dipertahankan aceh, tiba-tiba berubah menjadi situasi yang egois. Rakyat aceh yang paling tertekan selama berdirinya Republik Indonesia, yang dalam sebutan mereka disebut kaphe Indonesia-jawa. Sebutan ini memperlihatkan betapa tidak compatible-nya alam ideologis orang aceh dengan orang Indonesia umumnya. Konflik yang relatif lama di aceh mengakibatkan masyarakat aceh dalam kondisi keterpurukan, banyaknya kekerasan yang dialami masyarakat membuat masyarakat menyisakan trauma yang berkepanjangan.
Membangun Aceh yang demokratis pasca damai sangat sulit mengingat masih tingginya tingkat trauma konflik yang masih melekat pada masyarakat aceh, terutama mereka yang belum memperoleh keadilan. Meminjam pendapat Larry Diamong, tatanan demokrasi dapat bertahan jika ditopang oleh pondasi ekonomi dan sosial yang kuat dan pondasi politik yang kuat pula. MoU perdamaian yang disepakati oleh GAM dan RI di Helsinki pada 15 Agustus 2005 menjadi harapan baru bagi aceh untuk menbangun pondasi demokrasi yang kuat tersebut. Ini menjadi momentum awal dari sebuah harapan selama ini, hidup damai sejahtera dan mendapatkan haknya sebagai warga negara secara demokratis. Jika masih ada trauma yang yang ditinggalkan konflik yang kemudian tidak diproses kebenaran dan keadilannya, membuat elit kehilangan kepercayaan dari masyarakat, ini memicu rusaknya pondasi demokrasi di aceh secara mendasar.
Kita semua berharap akan adanya perbaikan chossen trauma konflik yang melekat pada kehidupan masyarakat aceh dan menjadi pengaruh positif untuk sebuah perkembangan demokratisasi di aceh pasca MoU Helsinki. Masalah tersebut harus diperhatikan oleh para kandidat "penguasa" Aceh yang akan dipilih pada pemilukada Aceh tahun ini agar Proses perdamaian yang berlangsung di Aceh diharapkan sesuai dengan keinginan masyarakat agar demokrasi berjalan dengan baik.


Daftar Bacaan
Budiarjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama (Anggota IKAPI)
Davidson, Gerald C, dkk. 2006. Psikologi Abnormal. Jakarta: PT Rajagravindo Persada
Harun, Muhammad. 2009. Memahami Orang Aceh. Bandung: Citapustaka Media Perintis
Sulaiman, Isa. 2000. Aceh Merdeka; Ideologi, Kepemimpinan dan Gerakan. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Varma, Sp. 2010. Teori Politik Modern. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada


Zulfiadi Ahmedy
Mahasiswa Ilmu Politik FISIP Unsyiah

Selasa, 06 Maret 2012

Sensasi Liburan Bermakna Di Kampung Inggris Pare


Jika anda mempunyai waktu liburan sekitar dua minggu atau sebulan lebih dan ingin lebih bermanfaat, anda bisa mencoba ke tempat yang satu ini. Atau mungkin anda ingin lebih mahir dalam bahasa inggris secara terfokus dan persiapan ke luar negeri atau mungkin anda ingin mempersiapkan secara matang wawancara masuk kerja di sebuah perusahaan asing, dengan merogoh isi kantong lebih, Anda bisa mencoba ke Pare Kediri. Terletak di Jawa Timur, atau tepatnya 100 km selatan Surabaya. Pengalaman kami, dari surabaya menuju pare menempuh waktu sekitar 3 jam dengan menumpang bus ¾ Rukun Jaya tujuan Kediri dengan ongkos Rp. 20.000. Turun di simpang Telungrejo Pare, semua kondektur bus akan tahu perempatan tulungrejo ini. Atau bisa dari Yogyakarta menggunakan bus tujuan Surabaya, berhenti di Jombang dan dari Jombang naik angkutan menuju Pare sekitar 15 menit perjalanan dengan ongkos Rp. 5000. Masyarakat dari Sabang sampai Merauke berada di Pare, sehingga berbagai budaya ada di sini. Pada awalnya kami sedikit meragukan, ada apa sebenarnya di Pare?
Ada yang unik dengan Pare, disini terdapat sebuah kampung inggris, tepatnya di desa Telungrejo kecamatan Pare, kampung ini bukanlah kampung yang didomisili oleh warga negara asing, akan tetapi sebuah desa yang disulap menjadi pusat kursus bahasa inggris. Banyak sekali tempat kursus bahasa inggris di kampung ini, terdapat pula beberapa kursus bahasa mandarin, kursus musik bahkan kursus membaca kitab kuning. Suasana kampungnya jauh dari hiruk pikuk kota besar, dan terletak di pinggir kota Pare, dikelilingi perkebunan dan hamparan sawah yang indah, sehingga kampung ini sangat cocok untuk belajar atau sekedar liburan membuang kepenatan sibuknya aktivitas. Selain itu, menurut Pemerintah Kabupaten Kediri, Pare adalah wilayah yang biaya hidupnya termurah di pulau Jawa.
Terdapat banyak pilihan program belajar, ada Grammar, Speaking, Pronounciation, Writing, Listening, Public speaking, yang masing-masing dengan berbagai tingkatan, terdapat pula program TOEFL, IELTS, bahkan Job Interview, tergantung keinginan dan kebutuhan masing-masing calon peserta kursus. Tempat kursusnya pun beragam, masing-masing kursus mempunyai durasi dan keunggulan tersendiri dalam sebuah program, umumnya berdurasi dua minggu untuk sebuah program, namun ada beberapa tempat kursus yang menerapkan durasi satu, dua, tiga, dan enam bulan per programnya. Suasana belajar terkesan sangat berbeda, ada kelas yang bermeja kursi, lesehan di pinggir sawah, lesehan dengan meja kecil, bahkan ada yang belajar di pinggir jalan tergantung program dan kesepakatan peserta. Untuk waktu belajar bisa dipilih sendiri oleh calon peserta, belajar pada pagi, siang, sore atau malam hari. di Pare umumnya berdurasi 1,5 jam per pertemuannya, dan dua pertemuan plus study club dalam sehari per programnya. Maka kita bisa mengambil 2 sampai 3 program dalam satu periode. Metodenya pun tidak terlalu formal sehingga membuat peserta tidak tertekan dalam mempelajari bahasa inggris, namun terdapat pula kursus yang menetapkan target yang sangat ketat dalam programnya. Umumnya kursus disini tidak dibatasi untuk memlilih program, kemampuan awalnya boleh beragam, mulai dari yang tidak tahu sama sekali bahasa inggris, basically, sampai yang sudah berbicara cas cis cus (istilah populer di Pare bagi mereka yang sudah mahir berbahasa inggris), peserta akan diajarkan dengan berbagai metode untuk menguasai bahasa inggris secara komprehensif. Untuk biaya per program tergolong murah, umumnya sekitar Rp. 100.000 – Rp. 150.000 per periode, ini berbeda-beda pada kursusnya. Misalnya untuk sebuah tempat kursus tertua dan terbaik di Pare, yaitu BEC, BEC menawarkan program berdurasi enam bulan, peserta diajarkan dari pengenalan dasar bahasa inggris sampai bisa menguasai bahasa inggris dengan sangat baik. Semua program akan diajarkan di kursus yang satu ini dengan berbagai metode. Sertifikat BEC pun diakui oleh institusi pemerintah, institusi pendidikan dalam dan luar negeri. Biasanya mereka yang belajar di BEC adalah calon mahasiswa yang akan mengambil studi di luar negeri, dosen atau guru bahasa inggris, calon karyawan pada perusahaan asing dan bahkan calon tutor pada beberapa tempat kursus di Pare. Dan menariknya, informasi S2 ke dalam dan luar negeri serta lowongan kerja terus mengalir di tempat ini.
Tempat kursus disini semuanya membuka program pada tanggal 10 (periode 10 bulan n) dan 25 (periode 25 bulan n) setiap bulannya, untuk mendaftar sebagai peserta, bisa langsung datang ke Pare minimal 1 hari sebelum program dimulai pada masing-masing tempat kursus tujuan atau bisa juga via online dari situs-situs yang disediakan oleh berbagai tempat kursus di Pare, situsnya bisa disearch pada mesin pencari internet dengan keyword “Kampung Inggris Pare”. Semua kursus di sini bersepakat bahwa pada hari sabtu dan minggu adalah hari libur, jadi memberikan kesempatan lebih lama kepada peserta kursus untuk sekedar bersantai pada akhir pekan, atau berwisata di sekitar kota Pare.
Untuk tempat tinggal, kita ditawarkan dua opsi, pertama di Camp, camp ini semacam asrama, aktivitas berbahasa inggris tambahan di luar kursus bisa didapatkan di Camp, seperti menghapalkan vocabulary atau study club camp, nonton film berbahasa inggris, diskusi, debat dan presentasi dalam bahasa inggris, program camp boleh tidak diikuti jika beradu jadwal dengan kursus, dan bahkan pada malam jumat, beberapa camp juga mengadakan pengajian rutin camp, bagi yang beda agama dapat ditolerir. Bagi mereka yang benar-benar ingin bisa berbahasa inggris sebaiknya tinggal di Camp. Kedua, kita bisa tinggal di kost, di kost tidak terdapat program-program tambahan, sehingga bisa lebih bebas dan tidak terikat. Untuk biayanya, camp sedikit lebih mahal daripada kost. Umumnya biaya Camp sekitar Rp. 150.000 – Rp. 250.000 per bulan, sedangkan kost sekitar Rp. 80.000 – Rp. 150.000 perbulan, harganya bervariasi tergantung fasilitas yang disediakan pemilik camp atau kost, misalnya kebersihan tempat, MCK yang memadai, meja belajar, lemari, kasur, bahkan TV dan jaringan WiFi.
Untuk makanan, sebenarnya tergantung selera lidah masing-masing seseorang. Walaupun banyak pilihan makanan, makanan di Pare didominasi oleh masakan khas jawa, rasanya yang agak manis, tentunya tidak serta merta bisa diterima oleh lidah orang non jawa, sehingga bagi kebanyakan orang non Jawa butuh waktu untuk adaptasi lidah. Tetapi jangan khawatir, terdapat alternatif makanan luar jawa yang langsung dijual oleh orang asal daerah masing-masing, Harga per porsinya relatif murah, harga termurah adalah Rp. 2500, namun ada pula yang sampai Rp. 15.000 per porsi, sesuai jenis dan pastinya tergantung pada selera lidah. Kami dari Aceh lebih memilih masakan khas sumatra yang pedas dan asam, biasanya kami memesan nasi dan ikan yang rata-rata hanya Rp 4000 per porsinya. Yang lainnya hanya harga penyesuaian, seperti lauk double, kerupuk yang harganya cuma Rp. 100 dan lain-lain. Begitu pula makanan kecil lainnya, juga dijual dengan harga yang sangat murah. Dan bagi yang suka minum juice, bisa berpesta pora disini, kita bisa mendapatkan berbagai macam juice buah dengan harga murah meriah, misalnya untuk apel hanya Rp 3500 dan yang paling mahal yaitu juice durian yang harganya Rp. 7000.
Untuk urusan kebutuhan sehari-hari lainnya, sangat mudah diperoleh disini. Misalnya alat transportasi, umumnya masyarakat menggunakan sepeda, begitu pula dengan peserta kursus, mereka menggunakan sepeda sebagai alat transportasi yang paling utama di Pare. Sebuah sepeda bisa disewa di tempat penyewaan dengan harga murah, yaitu Rp. 50.000 – Rp. 100.000 per bulannya, ini biasanya dilihat dari jenis dan kualitas sepeda. Tapi saran saya, bagi yang ingin tinggal lebih lama di Pare, lebih baik membeli sepeda yang baru, harganya berkisar antara Rp. 200.000 sampai Rp. 800.000 per unitnya, selain terjamin bagus, kita bisa menjualnya kembali pada tempat jual beli sepeda tanpa harus khawatir akan harga jual yang rendah. Akses internet sangat mudah didapatkan dimana-mana, dengan bermodal Rp. 2500 warga kampung inggris bisa menikmati akses internet selama sejam, dan juga tersedia paket internet bagi yang ingin berlama-lama di depan monitor, tentunya juga dengan harga yang sangat murah. Bagi warga kampung inggris yang agak sibuk belajar sehingga tidak sempat mencuci pakaian, mereka bisa memanfaatkan jasa laundry dengan harga Rp. 3500 per kilonya.
Pare didominasi oleh masyarakat yang beragama Islam. Kehidupan sosial di Pare patut diacungkan jempol, selain aman, toleransi kepada agama dan pendatang juga tinggi. Selain bisa menerima budaya dari beragam daerah, mereka juga tidak terlalu peduli pada aktivitas pendatang, yang penting jangan melanggar aturan agama dan negara menurut mereka. Masyarakat asli kampung Inggris juga ramah dan sangat bersimpati jika pendatang ikut serta dalam kegiatan sosial kampung sewaktu-waktu.
Bagi yang suka berolahraga, terutama para pria bisa datang ke alun-alun kota dimana disediakan fasilitas olahraga dan juga terdapat lapangan futtsal jika ingin berolahraga yang lebih elit. Tempat wisata juga terdapat di sekitar kota Pare, seperti Tugu Garuda yaitu pusat berkumpulnya pemuda Pare pada malam hari, Taman kota Pare, Candi Surowono yang merupakan peninggalan kerajaan Majapahit dan lain-lain. Tapi pada akhir pekan, masyarakat Pare lebih memilih berwisata ke luar kota, misalnya kuburan mantan Presiden Indonesia, yaitu Gus Dur di Jombang, atau ke kota Kediri, terdapat Gunung Kelud yang fenomenal, ada juga Tugu Simpang Lima Gumul layaknya Monumen Arc De Thriomphe di Paris Prancis, untuk wisata kuliner, banyak sekali pilihan, tapi sekali lagi, didominasi oleh masakan khas Jawa Timur.
Biasanya setelah program belajar bahasa inggris selesai, banyak kursus yang menawarkan paket liburan pesertanya, paket liburan favorit adalah ke Bali selama 4 hari, dengan mengeluarkan Rp. 350.000, kita mendapatkan fasilitas transportasi Pare – Bali pulang pergi, makanan 3 hari sekali, penginapan dan tentunya jalan-jalan ke 10 tempat wisata Bali, diantaranya Denpasar, pantai kuta, bekas tragedi bom bali, Pura tengah laut dan lainnya. Dan yang paling penting, kita bisa langsung mempraktekkan kemampuan bahasa inggris kita dengan para turis asing yang berada di Bali. Paket liburan lainnya adalah ke Malang, dengan mengeluarkan Rp. 150.000, kita bisa camping di beberapa tempat di kawasan Malang, salah satunya adalah di sebuah pulau kecil yang indah di laut selatan Jawa, dilanjutkan dengan wilayah Savana di dataran tinggi Malang, kemudian juga mengunjungi beberapa tempat wisata di Provinsi Jawa Timur. Ada pula paket liburan ke Candi Borobudur dan Yogya, tapi paket ini tidak terlalu diminati oleh warga kampung inggris Pare.
Bagi masyarakat Aceh sendiri, biaya hidup seperti ini termasuk rendah. Sehingga bisa dijadikan destinasi liburan yang asyik dan sekaligus bermanfaat. Juga sangat disarankan bagi mereka yang mempersiapkan diri ke luar negeri ataupun ingin matang dalam job interview, bisa belajar di sini dengan terfokus. Selain harga murah, kita bisa melihat kehidupan masyarakat dunia luar. Warga Kampung Inggris asal Aceh juga mengakui bahwa terdapat kendala bagi masyarakat Aceh untuk ke Pare, antara lain jarak yang sangat jauh dan ongkos transportasi dari Aceh ke Surabaya yang tinggi, serta minimnya informasi tentang Kampung Inggris Pare sendiri di Aceh. Dan kami juga merasakan hal yang sama ketika menuju Pare.
Kami sebagai mahasiswa sangat menyarankan bahwa sudah seharusnya setiap institusi pendidikan di Aceh menyebarluaskan informasi tentang Pare, dan juga tempat-tempat bermanfaat lainnya bagi masyarakat dan terutama generasi muda Aceh. Agar bisa memanfaatkan waktu luang yang bermanfaat serta persiapan ke luar negeri dan kerja. Alumni Pare asal Aceh sudah mencapai ratusan orang dan mari kita berharap agar angka tersebut bertambah. Dan juga semoga suatu saat di Aceh juga punya tempat yang sangat bermanfaat seperti ini.



ZULFIADI AHMEDY (joel.ahmedy@live.com)
Mahasiswa Ilmu Politik FISIP Universitas Syiah Kuala
(Peserta Program English Study di Pare Jawa Timur)

Senin, 13 Februari 2012

Ekspektasi Rakyat AcehTerhadap Keadilan Pasca MoU Helsinki

Berbagai persoalan parah dewasa ini di bumi serambi makkah telah dilahirkan dari rahim sistem politik otoriter baik masa politik orde lama, orde baru atau orde setelahnya dengan kebijakan-kebijakan politik ala dikdator. Mulai dari menggilanya KKN, penginjakan hak-hak demokrasi, kesewenang-wenangan penggunaan kekuasaan, kerusakan budi pekerti diberbagai kalangan atasan, pembusukan moral secara besar-besaran dalam kehidupan masyarakat. Aceh mengalami kemunduran sosial terparah yang diikuti oleh berbagai kemunduran sisi lainnya ketika pemberontakan GAM pimpinan Hasan Tiro dimulai akibat dari keadaan tersebut diatas, berbagai kekerasan yang dialami masyarakat di masa konflik meninggalkan luka mendalam baik secara fisik maupun mental dan bahkan menimbulkan chossen trauma bagi generasi aceh selanjutnya.
Hal ini menjadi perhatian khusus dalam klausul Perdamaian MoU Helsinki yang memberikan harapan baru bagi aceh untuk membangun kembali peradaban yang telah hancur. MoU Helsinki yang kemudian dijabarkan lebih rinci dalam UU Republik Indonesia No 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh diharapkan menjadi rujukan utama dalam mempertahankan perdamaian, mengawal proses reintegrasi dan rekonsiliasi pihak bertikai serta menemukan fakta kebenaran dalam masa konflik. Tujuh tahun sudah perang RI – GAM selesai, banyak hal telah berubah, termasuk arti reintegrasi yang kini dipahami sebagai “uang basuh duka”. Banyak kritikan bahkan amarah dalam pengelolaan perdamaian aceh yang sejatinya dilakukan oleh semua pihak. Pasal-pasal perdamaian juga tidak lagi sering dibaca, korban pun hanya disebut dalam angka, rekonsiliasi untuk masyarakat yang mengalami luka masa silam bagai luput dari perhatian. Jika dikaji secara mendalam dan jika dicermati dengan teliti, maka akan nampak jelaslah bahwa pada dasarnya pertentangan pokok yang termanisfestasi dalam berbagai persoalan dewasa ini adalah perbentukan pola berfikir secara orde lama/orde baru atau sistem politik otoriter yang berhadapan dengan pola berfikir pro-HAM, pro-kemanusiaan, pro-rakyat, pro-reformasi, dan pro-referendum. Ini sedang terjadi dikalangan elite politik pemerintahan, dikalangan DPR, DPRA, DPD, elite perekonomian, kalangan militer, intelektual dan dimasyarakat luas, maka semua hal itu berimbas pada masyarakat yang terabaikan hak-haknya. Karena tidak adanya kepercayaan pada elit, timbul persepsi dari masyarakat bahwa harus menemukan sendiri solusi ideal dari semua masalah tersebut, berbagai pandangan bermunculan, bahkan timbul solusi radikal dalam memperoleh keadilan tersebut. Wajar jika kemudian masyarakat aceh dengan watak aslinya yang keras menuntut hak keadilan terhadap mereka sebagai manusia seutuhnya. Menurut Gustave Le Bon, jika keadaan arus bawah masyarakat sudah tidak direspons oleh elite, maka revolusi akan mudah tersulut.
Kesungguhan para elit dalam mempertahankan perdamaian dan mewujudkan rasa keadilan untuk seluruh rakyat aceh sangat dibutuhkan, agar masyarakat tidak melakukan tindakan yang melanggar hukum dalam menuntut hak asasinya sebagai manusia. Kemudian rasa keadilan ini menjadi pijakan awal sebuah proses rekonsiliasi dan membangun kembali peradaban aceh yang lebih baik sesuai dengan keinginan rakyat aceh.