Antagonisme politik menurut Duverger merupakan unsur yang paling penting dalam politik; karena antagonisme ada, maka harus ada usaha (berbagai komunitas/kelompok lawan) untuk menghilangkannya atau sekurang-kurangnya untuk menguranginya guna mencapai integrasi sosial. Sudut pandang antagonisme politik, bagi kaum konservati tradisional; adalah perjuangan untuk merebut kekuasaan untuk menempatkan “elite”-mereka yang mampu melaksanakan kekuasaan- melawan “massa”- mereka yang menolak untuk mengakui superioritas alami dari elite dan haknya untuk memerintah. Artinya, ada ras-ras superior, yang ditentukan untuk berkuasa, dan ras-ras inferior yang bisa berpartisipasi dalam proses peradaban hanya dibawah bimbingan ras-ras superior. Bagi kaum liberal, menolak paham tentang ketidaksamaan alami dikalangan kelompok-kelompok sosial atau ras. Mereka melihat perjuangan politik sama seperti perjuangan ekonomi: berebut sumberdaya yang terbatas atas pemuasan kebutuhan yang tidak terperi, dimana setiap orang mencoba meraih keuntungan sebesar-besarnya bagi dirinya dengan merugikan orang lain. Disini homo politicus, tidaklah berbeda dengan homo economicus. Pergumulan politik mempunyai motif yang sama dengan seperti persaingan ekonomi dalam kondisi yang disebut struggle for life. Sedangkan bagi kaum Marxis, antagonisme politik, hakekatnya juga bersifat ekonomis, tetapi mereka lebih tergantung pada sistem produksi daripada persaingan bagi benda-benda konsumsi. Keadaan teknologi menentukan cara berproduksi, pada gilirannya menghasilkan kelas-kelas sosial pemilik faktor produksi (kaum kapitalis) yang sangat dominan atas mereka yang hanya memiliki tenaga saja (kaum pekerja). Kaum kapitalis akan mempertahankan terus dominasinya atas kaum tidak berpunya itu yang secara alami akan menolak mati-matian penindasan tersebut. Konsekuensinya, kata Duverger, perjuangan politik disebabkan perjuangan kelas.
Selain ketiga pandangan tersebut, juga ditandai dengan lahirnya teori-teori psikoanalisa yang menjelaskan motivasi psikologis tentang pergolakan-pergolakan politik. Konflik-konflik batin, misalnya, menghasilkan frustrasi yang berkembang kearah kecenderungan agresi dan dominasi. Bahwa homo politicus: keuntungan material dari kekuasaan bukanlah selalu motif utama yang mendorong manusia untuk mengejarnya.
Sebab-Sebab Antagonisme Politik
Secara katagorikal, antagonisme politik dibedakan pada tingkat individu seperti kecerdasan pribadi dan faktor psikologi serta lainnya pada tingkatan kolektif seperti faktor-faktor rasial, perbedaan di dalam kelas-kelas sosial, dan faktor-faktor sosiokultural. Setiap katagori sesuai dengan sebuah bentuk perjuangan politik. Perjuangan yang berputar disekeliling kekuasaan terjadi diantara individu-individu dalam pertentangan yang bersaing mendapatkan portofolio kabinet, kursi parlementer, pos menteri, berbagai jabatan publik dan sebagainya. Dalam konteks lebih luas, konflik-konflik individual ditingkatkan magnitudenya oleh konflik-konflik universal antar kelompok di dalam masyarakat- ras, kelas, komunitas, lokal korporasi, bangsa-bangsa dan seterusnya. Dua jenis kepentingan perjuangan -individu dan kolektif- menjadi campur baur. Arti pentingnya kemudian ditafsirkan secara berbeda oleh ideologi politik yang dianut: ideologi liberal terutama mempertimbangkan konflik-konflik individual dan mengabaikan konflik kolektif; ideologi sosialis dan konservatif berbuat persis sebaliknya, yang pertama menekankan konflik-konflik kelas, dan yang kedua, konflik diantara ras-ras atau “kelompok horizontal” (bangsa-bangsa, agama-agama,dan semacamnya).
Bakat-bakat individual/pribadi ini berasal dari faktor-faktor biologis menurut konsep Charles Darwin tentang struggle for life. Menurut Darwin dalam Origin of Species (1859), setiap individu harus bertempur melawan yang lain untuk kelangsungan hidup, dan hanya yang paling mampu berhasil. Proses seleksi alam ini menjamin terpeliharanya spesis maupun pemeliharaannya. Tokoh SYL dan HAS, sedang berada di medan struggle for life, karena mereka masing-masing sebagai pemimpin sebuah “koloni” yang memiliki prinsip: kekalahan berarti musnahnya spesis dan koloni. Teori Darwin adalah ekuivalen biologis dari filsafat Borjuis yang doktrinnya tentang persaingan bebas adalah manifestasi ekonomisnya; perjuangan bagi eksistensi dengan demikian menjelman menjadi perjuangan untuk memuaskan kebutuhan manusia. Didalam arena politik, dia menjadi “perjuangan untuk posisi utama” (struggle for preeminence) (G.Mosca), dan ini menjadi basis teori tentang Elite: bahwa persaingan merebut kekuasaan akan memunculkan yang terbaik, yang paling mampu, dan mereka yang mampu memerintah.
Pada kecenderungan psikologis, dikatakan bahwa antagonisme politik akibat dari frustrasi psikologis yang berhubungan dengan konflik dari masa kanak-kanak yang dini yang terkubur dalam alam tidak sadar. Bahwa pengalaman dari masa kanak-kanak mempunyai pengaruh yang menentukan terhadap perkembangan psikologis berikutnnya dari seorang individu. Dalam masa kanak-kanak yang dini, orang tua memegang peranan yang sangat penting; seorang pribadi merumuskan dirinya dalam hubungannya dengan masyarakat melalui mereka. Setelah itu, hubungan orang tua secara tidak sadar mempengaruhi semua hubungan sosialnya yang lain, terutama yang menyangkut otoritas. Kepatuhan pelaku politik untuk tetap berada di jalur hukum dan otoritas pada kondisi yang semakin menyesakkan dan membuka peluang untuk chaos, adalah refleksi psikologis hubungannya dengan orang tuanya. Sebaliknya, kondisi Psikologis pada pelaku politik yang “ngotot” memaksakan “golden ball” pada injury time, adalah prosesi kecemasan dari keterpaksaan atas hilangnya “surgawi” pada masa kanak-kanak yang oleh Sigmund Freud disebut infantile sexuality (seksualitas masa kanak-kanak). Kekuasaan, adalah surgawi yang akan pergi setelah Pilkada. Hal ini sangat mencemaskan. Pengalaman “traumatik” ini akan dibawanya kemasyarakat, dimana dia harus mengganti prinsip kesenangan dengan prinsip kenyataan, “realty principle”, yang berarti dia harus melepaskan kesenangan atau membatasinya dengan sangat keras. Dia tidak lagi menggenggam “rasa ketakutan” orang yang takut dimutasi atau non-job. Dia harus patuh pada peraturan, kewajiban dan larangan yang memaksanya. Konflik antara tuntutan masyarakat dan keinginan untuk kesenangan ini menghasilkan frustrasi yang kemudian menjadi sebab fundamental bagi lahirnya antagonisme sosial.
Dari Antagonisme menuju Integrasi
Integrasi politik tentu menjadi harapan setiap pelaku politik yang sehat. Namun, haruskah integrasi politik dilalui terlebih dahulu oleh jalan “rusak” yang disebut konflik? Memang ada ambivalensi antara Konflik dan integrasi. Walau berhadapan, tapi keduanya juga saling melengkapi. Antagonisme politik menghasilkan konflik, tetapi, juga sekaligus menolong membatasi konflik dan meningkatkan integrasi. Setiap perjuangan berisikan mimpi tentang perdamaian dan merupakan usaha merealisasikan mimpi tersebut. Memang, selayaknya Konflik dan integrasi, dipandang bukan sesuatu yang berlawanan, tetapi menjadi bagian tidak terpisahkan dari proses umum yang sama. Bahwa konflik secara alami akan menuju integrasi, dan antagonisme cenderung - mudah-mudahan- menuju ke arah menghapus dirinya sendiri (self elimination) dan berikutnya menghasilkan harmoni sosial.
Antagonisme adalah sisi lain dari mata uang politik. Itu adalah aksioma yang terkubur peradaban politik berbasis konsensus dan integrasi. Namun, betapapun terabaikan, aksioma itu terbukti solid. Segala upaya untuk membatalkannya selalu rontok di tengah jalan.
Sejarah republik ini membuktikan, Orde Lama gagal mengintegrasikan tiga ideologi dalam satu payung "nasakom". Juga Orde Baru. Politik netralisasi antagonisme Orde Baru lewat doktrin "SARA" berantakan.
Antagonisme
Carl Schmitt, filsuf Jerman, menyebutkan, antagonisme tidak sama dengan permusuhan pribadi yang bisa diselesaikan lewat jabat tangan. Demokrasi liberal adalah catatan sejarah kegagapan mengenali bentuk murni antagonisme. Bagi demokrasi liberal, masyarakat memerlukan konsensus kokoh, berbasis imparsialitas. Dan konsensus itu harus produk dari deliberasi rasional.
Antagonisme menolak demokrasi liberal yang mengambil model deliberatif. Antagonisme bukan sesuatu yang bisa dinegosiasikan layaknya tawar-menawar harga di pasar. Antagonisme juga tidak bisa direduksi menjadi tabrakan kepentingan yang bisa dimusyawarahkan sebab struktur kawan-lawan tidak sama dengan struktur rekan-kompetitor atau teman-musuh. Konsensus dalam kerangka antagonisme selalu bercorak konfliktual.
Riwayat republik ini mengguratkan fakta, konsensus tak pernah tak retak. Konsensus tentang konstitusi, misalnya. Konsensus pelbagai kelompok kepentingan tahun 1945 yang menghasilkan undang-undang dasar menyembunyikan antagonisme. Antagonisme itu tak juga terselesaikan dalam upaya konstituante menyusun undang-undang dasar baru. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 mengakhiri apa yang sebagian kalangan anggap sebagai bulan madu demokrasi liberal.
Akhirnya, masyarakat demokratik diikat nilai yang dipaksakan dari atas. Alias, sebuah antagonisme baru mengemuka. Ikatan nilai itu lalu dimasalahkan berbagai kelompok antagonis yang sedianya tak bersedia diikat. Ledakan politik pun muncul dan orde yang baru mengemuka. Gawatnya, kelompok tertentu dikorbankan dalam transisi ke-orde-an. Sebagai tumbal sejarah, komunis dijadikan semacam spectre guna mengawasi dan mengendalikan berbagai kelompok antagonis.
Kaum muda lalu menjadi pengelompokan paling abstrak dalam struktur politik antagonistik. Namun, kekuatan mereka terbukti kokoh dalam menjebol kejumudan politik kaum tua. Tahun 1998, misalnya, merupakan momen kaum muda menarik garis dari kaum tua yang notabene koruptif. Hanya saja antagonisme dalam masa kanak-kanak reformasi itu amat bercorak "momentuasi". Artinya, momentum yang membuat struktur antagonistik tercipta. Sementara, orang lupa, di dalam kaum muda ada spektrum ideologi yang tidak sederhana.
Terbukti, tidak lama setelah reformasi digulirkan, kaum muda terpecah ke pelbagai pengelompokan baru. Ada yang mengorganisasi diri menjadi partai baru, ada yang bergabung ke partai lama, dan ada yang tetap berdiam di masyarakat sipil. Lalu orang mulai ribut tentang pembajakan reformasi oleh elite lama. Ini agak berlebihan sebab tak bisa disangkal, konsensus yang dibuat kaum muda tahun 1998 bersifat "momentuasi", bukan ideologis. Konsensus yang tercipta tidak meredam antagonisme. Dengan kata lain, ada peluang besar keterpecahan, lalu diambil alih oleh orang-orang lama yang lebih solid.
Tegangan pendek
Pertanyaannya, jika pengelompokan kaum muda begitu abstrak dan mudah pecah, mengapa memiliki daya dobrak? Mengapa sebuah pengelompokan yang sejatinya merupakan agregat ideologi bisa mementalkan kemapanan. Hipotesa saya sederhana. Momentum membuat pengelompokan melupakan perbedaan di antara mereka. Krisis ekonomi yang dirasakan secara merata membuat target mereka jelas: penguasa lalim nan koruptif.
Masalahnya, ketika kekuasaan tidak lagi dijangkarkan pada ideologi tunggal, siapa target operasi kaum muda? Penguasa pascareformasi tidak lagi jelas: liberal, sosialis, atau konservatif? Kaum muda bisa saja menyusun ideologi tanding seperti ekonomi pasar sosial. Namun, pertanyaannya, apakah ideologi itu bisa mewakili spektrum ideologi yang ada pada kaum muda. Apabila saya seorang neoliberal, pasti memiliki persoalan dengan konsensusideologis sosialisme pasar macam itu.
Jawaban lebih teoretis dari hipotesa sederhana saya datang dari filsuf Slavoj Zizek. Dikatakan, politik adalah fenomena purba yang sudah ada sejak Yunani Kuno. Tepatnya saat kaum demos (kaum yang tak tercatat dalam struktur sosial yang mapan) menuntut hak artikulasinya. Mereka menuntut suaranya didengar,dikenali, dan disertakan dalam ruang publik.
Sebilah paradoks mengemuka. Kaum tak terdengar merepresentasikan dirinya sebagai wakil universalitas. Kami yang tidak tercatat dalam struktur sosial mapan adalah rakyat keseluruhan. Kami selaku keseluruhan melawan mereka yang mewakili kepentingan partikular. Maka, konflik politik selalu melibatkan ketegangan antara tubuh sosial yang terstruktur dengan bagian-tanpa-bagian atau bagian yang mengaku keseluruhan. Dalam bahasa Zizek,politik merupakan tegangan pendek antara universal dan partikular yang mendestabilisasi struktur social yang rapi.
Konflik politik bukan sekadar debat rasional antara pelbagai kepentingan guna mencapai saddle point. Konflik politik adalah perjuangan agar artikulasi satu kaum atau kelompok didengar dan dikenali sebagai artikulasi rekan sepadan. Pertaruhan utama bukan isi artikulasi (sosialisme pasar atau liberalisme sosial), tetapi hak untuk didengar selaku rekan sepadan.
Kaum muda adalah kelompok antagonis yang berperan mendestabilisasi kemapanan sosial. Karena itu, soal ideologi biar diurus belakangan.
Juga, jangan mencari-cari konsensus ideologis yang jelas sia-sia. Yang terpenting, tubuh sosial yang sudah terorganisasi rapi dilanda gempa politik berskala tinggi. Itu saja. Setelah itu biarlah satu per satu memilih jalan politik masing-masing. Yang penting, jaringan tetap dijaga dan komunikasi berlanjut sebab jika kaum muda kukuh bertahan sebagai keutuhan, gempa politik akan menimpanya di kemudian hari.
zulfiadi ahmedy
Kata Bijak;
“Setiap manusia mempunyai kekuatan sejarah yang menyingkapkan masa lalunya. Sejarah telah mendudukkan kembali dalam ukuran yang lebih berat dan kokoh bagi yang bersangkutan dan beribu-ribu rahasia dari masa lalu terbit kembali dari lubuk yang tersembunyi dari cahaya matanya. Masih tidak ada sahabat yang tidak mengerti arti mimpi yang akan menjelma menjadi kenyataan sejarah satu saat nanti, karena terkadang masa lalu masih belum semua nampak. Banyak kekuatan yang agaknya belum kita ketahui”
-Friedrich Nietzsche
Senin, 28 November 2011
Sabtu, 12 November 2011
Gagalnya Reformasi Birokrasi
Rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap system birokrasi pemerintah dapat diwajarkan, karena melihat dari sisi kemanusiaan yang begitu naïf. Dalam mendapatkan akses pelayanan public misalnya, penyedia akses pelayanan public tadi harus mempertimbangkan sisi kemanusiaan, ketika orang awam yang tingkat pendidikannya rendah, berada dalam golongan menengah ke bawah, kemudian memerlukan akses pelayanan darurat untuk pengurusan administrasi public, ini dapat menjadi salah satu pertimbangannya untuk sedikit memudahkan akses pelayanan public, tapi harus dalam konteks yang bersih dan sehat. Dapat dipastikan bahwa orang lebih memilih diam dan tidak mau repot dalam mendapatkan akses pelayanan public tadi, karena beranggapan sangat sulit dan terkesan terbelit-belit. Pada akhirnya muncul alternative-alternatif lain untuk mendapatkan akses pelayanan public yang lebih mudah dan beresiko pastinya, terutama jika menyangkut dengan hukum. Orang akan memanfaatkan hal-hal yang lebih instant dalam mendapatkan akses pelayanan public tadi, sector yang rentan terjadi adalah pada bidang kesehatan, pengurusan administrasi pubik, seperti pengurusan Kartu Tanda Penduduk (KTP), pengurusan Surat Izin Mengemudi (SIM), dan lain-lain. Modusnya seringkali atau bahkan memang dengan cara-cara kotor dan melanggar hukum, yang seperti membayar petugas (suap), menggelapkan asset Negara, menyelewengkan kewenangan, dan sebagainya. Hal ini dapat berakibat fatal pada perkembangan sumber daya manusia yang optimal, seolah-olah terkesan adanya pendidikan fiktif bahwa birokrasi tersebut harus dimanipulasi secara komprehensif pada semua bidang pelayanan public. Kemudian seperti apa mudahnya mendapatkan akses pelayanan public bagi orang-orang tertentu, misalnya pejabat, militer, dan orang-orang golongan menegah ke atas yang mempunyai kepentingan tertentu, terutama yang menyangkut dengan kepentingan elit politisi. Serta orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat atau “relasi khusus” dengan orang-orang di atas tersebut. Hal tersebut di atas merupakan gambaran bagaimana carut-marutnya system birokrasi dalam akses pelayanan public.
Jika melihat kebelakang maka perjalanan bangsa ini dalam membenahi dirinya dalam hal reformasi birokrasi sebenarnya cukup panjang dan melelahkan. Pada saat orde lama dan orde baru, keberadaan birokrasi disalahartikan oleh penguasa, yang pada akhirnya birokrasi dijadikan tunggangan untuk tetap mempertahankan kekuasaan.
Tahun 1998 seharusnya menjadi tonggak berdirinya sebuah kepemerintahan baru yang mampu menciptakan kesejahteraan umum bagi masyarakat. Berawal dari naiknya harga kebutuhan pokok, sampai langkanya minyak tanah, bahkan harga minyak tanah yang seharusnya dapat disesuaikan oleh kantong rakyat malah melebihi harga bahan bakar premium kendaran bermotor. Suatu hal yang ironis memang. Dan ini tidak sekedar menjadi pekerjaan rumah bagi para wakil rakyat yang konon lebih mementingkan meng-amandemen UUD dari pada memikirkan keadaan rakyat yang sedang mengalami kelaparan akibat terhimpitnya perekonomian keluarga, tetapi menjadi tanggung jawab dunia akhirat bagi mereka. Semenjak reformasi bergulir, gaung reformasi birokrasi telah menjadi agenda bersama dalam mengatasi krisis saat itu, namun justru reformasi birokrasi masih tertinggal jauh dibandingkan dengan reformasi politik dan reformasi perundang-undangan.
Barangkali partai politik - yang telah beralih fungsinya, yang dulunya sebagai jembatan antara rakyat dan pemerintah sekarang menjadi pemutus rakyat dan menjadi reklame birokrasi – lebih mementingkan berapa jumlah kursi di gedung pantat (MPR/DPR) yang akan mereka dapatkan pada pemilihan umum yang akan datang. Fenomena ini bukanlah hal yang luar biasa pada saat sekarang ini, melainkan santapan para wakil rakyat yang heboh akan berapa gaji, tunjangan ini, tunjangan itu yang akan mereka kantongi di balik jas-jas mewah dan safari mereka. Fenomena ini tak lebihnya perceraian selebriti yang haus akan berita harta gono-gini di televisi nasional.
Apakah kinerja mereka sebanding dengan apa yang mereka dapatkan? Pertanyaan ini apabila ditanyakan ke masyarakat luas akan didominasi oleh jawaban yang singkat, padat dan jelas, yaitu Tidak!. Banyak sekali permasalahan yang terjadi di dalam negara ini. Pertama, prahara buruknya birokrasi pemerintah yang semakin lama semakin jauh dari apa yang harusnya dikedepankan pada waktu awal reformasi, yaitu “Good Governance”. Kedua, adanya politisasi birokrasi yang membuat tidak maksimalnya pelayanan public di masyarakat. Ketiga, terjadinya perubahan drastis dalam Undang-Undang, dimana para wakil rakyat lebih mementingkan ke-individualisme mereka dan lebih mengedepankan kroniisme di dalam kebijakan yang mereka buat.
Prinsip-prinsip good governance yang pada awal reformasi didengungkan oleh para petinggi Negara ini dan tak ketinggalan para wakil rakyat, adalah omong kosong belaka. Ketika mereka beranjak naik menjadi penguasa birokrasi, apa yang mereka implementasikan tak sebanding dengan janji-janji mereka. Alih-alih sejahtera, yang ada sengsara.
Banyak sekali contoh yang dapat diambil akibat buruknya birokrasi di negeri ini, antara lain, pertama tragedi tsunami yang menimpa rakyat Aceh, Pangandaran dan Yogyakarta. Kedua tragedi gempa di daerah pesisir barat pulau Sumatera, Papua, selatan Jawa dan sebagian pulau Sulawesi. Ketiga lumpur lapindo di Sidoarjo. Dan masih banyak lagi. Dari sebagian tragedi tersebut, masyarakat yang seharusnya mendapatkan hak mereka akibat menjadi korban, malah menjadi bahasan yang sangat ulet di tingkatan para elite pilitik. Bahkan yang lebih ironis adalah, orang yang bermain dalam lingkungan tersebut dan mengatasnamakan korban bencana tadi.
Dana bantuan yang seharusnya mudah mereka dapatkan dan sangat mereka nantikan, sampai detik ini hanya kurang dari seperempat yang dijanjikan oleh pemerintah. Yang lebih kacau lagi kasus Lumpur Lapindo di Sidoarjo. Dampak yang diakibatkan oleh meluapnya Lumpur sangatlah luas. Dari mulai ditutupnya pabrik-pabrik yang mengakibatkan ribuan karyawan menjadi pengangguran, rumah-rumah masyarakat yang tergenang, para perajin di Sidoarjo, warung-warung kecil, bahkan akses jalan utama ke tiap-tiap desa terputus akibat luapan Lumpur Lapindo. Seharusnya perusaahan yang menaungi lapindo haruslah bertanggung jawab atas apa yang terjadi di Sidoarjo, Jawa Timur. Pemerintah tak perlu menjadikan kasus ini menjadi bencana nasional, karena penyebab terjadinya luapan Lumpur tersebut adalah kesalahan dari Perusahaan tersebut, dan pemerintah tidaklah harus mengganti rugi. Apakah pemerintah takut untuk mengatakan yang sebenarnya terhadap public? Ataukah adanya pemegang saham di perusahaan tersebut menduduki jabatan petinggi negara (Menteri) saat itu? Itu baru satu kasus dari ribuan kasus buruknya kinerja birokrasi di Negara ini.
Tak sedikit pula penyakit birokrasi kita . Masih banyaknya KKN, keserakahan, fanatisme, iri hati, adu domba, hingga adanya perampokan dalam administrasi, pembunuhan karakter, penjajahan, pemalsuan dan rekayasa administrasi membuat bangsa kita semakin terpuruk akibat watak yang rakus di dalam hati para wakil rakyat yang ironisnya kita pilih langsung dalam pemilu. Seharusnya kepercayaan yang telah rakyat berikan terhadap para wakil rakyat yang duduk di dalam lembaga-lembaga tinggi negara dapat mereka kaji dan laksanakan secara benar. Yang terjadi bahkan seperti mencari bagaimana modal kampanye mereka yang telah mereka keluarkan kembali menjadi dua kali lipat. Ironis memang ulah para petinggi negara ini.
Tuntutan untuk segera merealisasikan reformasi birokrasi semakin menguat, tuntutan ini bukan hanya berasal dan masyarakat sipil dan dunia usaha, namun juga dari internal pemerintah semakin mengkristal. Tuntutan yang semakin menguat dari internal Pemerintah sebenarnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan Pengawai Negeri. Dalam hal ini sudah tentu tekanan utamanya adalah adanya kenaikan gaji yang signifikan, begitu juga tentang status kepegawaian mereka.
Masalah penegakan hukum, masyarakat kita masih apatis melihat aparat hukum dalam menyelesaikan suatu kasus. Persoalan utamanya terletaknya sudah hilangkan kepercayaan masyarakat karena kasus – kasus hukum justru berpihak kepada yang berkuasa dan berduit, sebaliknya rakyat biasa hanya akan pasra dihadapan penggawa hukum. Penyimpangan dan jual beli kasus bukan hal yang tabu dilakukan oleh aparat penegak hukum, bahkan dengan gamblang mereka bisa mengatakan ”hukum adalah kami”. Alasan aparat hukum dalam malakukan penyimpangan profesi cukup sederhana; ”Gaji mereka sangat kecil”, sehingga jalan keluar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya adalah menjual hukum itu sendiri.
Reformasi Birokrasi bisa difokuskan pada upaya peningkatan kesejahteraan aparat hukum, dalam hal ini yang akan menjadi fokus adalah Kepolisian, Kejaksaan, Peradilan, dan Militer. Bila dilihat dari kemampuan Anggaran Negara yang tersedia maka keempat instansi tersebut juga belum sepenuhnya dilaksanakan secara bersamaan.
Ketika kebijakan negara tidak dapat menjadi barometer kesejahteraan masyarakat, begitu juga pelayanan yang masyarakat terima. Pelayanan yang seharusnya ditujukan pada masyarakat umum kadang dibalik menjadi pelayanan masyarakat terhadap negara. Pemerintahan milik masyarakat akan tercipta jika birokrat dapat mendefinisikan ulang tugas dan fungsinya. Patut diduga bahwa banyak birokrat yang tidak banyak memahami secara pasti atau setdaknya tidak mengerti filosofi pelayanan yang akan diberikannya sehingga pelayanan publik yang diimpikan oleh masyarakat jauh dari kenyataan yang mereka alami.
Dengan demikian, pelayanan public adalah pemenuhan keinginan dan kebutuhan masyarakat oleh penyelenggara negara. Negara didirikan oleh publik (masyarakat) tentu saja dengan tujuan agar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Sampai kapan negara kita akan mengalami dekadensi dalam birokrasi administrasi pemerintah. Kita harus bangkit, rakyat sesungguhnya tidaklah bodoh, melainkan terlalu pasrah terhadap keadaan mereka dan selalu beranggapan ini adalah cobaan dari Tuhan Yang Maha Esa. Solusi Good Governance yang seharusnya menjadi kunci kebangkitan, seakan terlupakan akibat semakin tebalnya kantong, dompet dan buku tabungan para wakil rakyat. Mari bersama-sama kita bangkit memperbaiki tatanan system birokrasi yang sudah rusak, kita tinggalkan masing-masing kepentingan, kita kedepankan pembangunan suprastruktur, yang birokrasi termasuk dari salah satunya.
Jika melihat kebelakang maka perjalanan bangsa ini dalam membenahi dirinya dalam hal reformasi birokrasi sebenarnya cukup panjang dan melelahkan. Pada saat orde lama dan orde baru, keberadaan birokrasi disalahartikan oleh penguasa, yang pada akhirnya birokrasi dijadikan tunggangan untuk tetap mempertahankan kekuasaan.
Tahun 1998 seharusnya menjadi tonggak berdirinya sebuah kepemerintahan baru yang mampu menciptakan kesejahteraan umum bagi masyarakat. Berawal dari naiknya harga kebutuhan pokok, sampai langkanya minyak tanah, bahkan harga minyak tanah yang seharusnya dapat disesuaikan oleh kantong rakyat malah melebihi harga bahan bakar premium kendaran bermotor. Suatu hal yang ironis memang. Dan ini tidak sekedar menjadi pekerjaan rumah bagi para wakil rakyat yang konon lebih mementingkan meng-amandemen UUD dari pada memikirkan keadaan rakyat yang sedang mengalami kelaparan akibat terhimpitnya perekonomian keluarga, tetapi menjadi tanggung jawab dunia akhirat bagi mereka. Semenjak reformasi bergulir, gaung reformasi birokrasi telah menjadi agenda bersama dalam mengatasi krisis saat itu, namun justru reformasi birokrasi masih tertinggal jauh dibandingkan dengan reformasi politik dan reformasi perundang-undangan.
Barangkali partai politik - yang telah beralih fungsinya, yang dulunya sebagai jembatan antara rakyat dan pemerintah sekarang menjadi pemutus rakyat dan menjadi reklame birokrasi – lebih mementingkan berapa jumlah kursi di gedung pantat (MPR/DPR) yang akan mereka dapatkan pada pemilihan umum yang akan datang. Fenomena ini bukanlah hal yang luar biasa pada saat sekarang ini, melainkan santapan para wakil rakyat yang heboh akan berapa gaji, tunjangan ini, tunjangan itu yang akan mereka kantongi di balik jas-jas mewah dan safari mereka. Fenomena ini tak lebihnya perceraian selebriti yang haus akan berita harta gono-gini di televisi nasional.
Apakah kinerja mereka sebanding dengan apa yang mereka dapatkan? Pertanyaan ini apabila ditanyakan ke masyarakat luas akan didominasi oleh jawaban yang singkat, padat dan jelas, yaitu Tidak!. Banyak sekali permasalahan yang terjadi di dalam negara ini. Pertama, prahara buruknya birokrasi pemerintah yang semakin lama semakin jauh dari apa yang harusnya dikedepankan pada waktu awal reformasi, yaitu “Good Governance”. Kedua, adanya politisasi birokrasi yang membuat tidak maksimalnya pelayanan public di masyarakat. Ketiga, terjadinya perubahan drastis dalam Undang-Undang, dimana para wakil rakyat lebih mementingkan ke-individualisme mereka dan lebih mengedepankan kroniisme di dalam kebijakan yang mereka buat.
Prinsip-prinsip good governance yang pada awal reformasi didengungkan oleh para petinggi Negara ini dan tak ketinggalan para wakil rakyat, adalah omong kosong belaka. Ketika mereka beranjak naik menjadi penguasa birokrasi, apa yang mereka implementasikan tak sebanding dengan janji-janji mereka. Alih-alih sejahtera, yang ada sengsara.
Banyak sekali contoh yang dapat diambil akibat buruknya birokrasi di negeri ini, antara lain, pertama tragedi tsunami yang menimpa rakyat Aceh, Pangandaran dan Yogyakarta. Kedua tragedi gempa di daerah pesisir barat pulau Sumatera, Papua, selatan Jawa dan sebagian pulau Sulawesi. Ketiga lumpur lapindo di Sidoarjo. Dan masih banyak lagi. Dari sebagian tragedi tersebut, masyarakat yang seharusnya mendapatkan hak mereka akibat menjadi korban, malah menjadi bahasan yang sangat ulet di tingkatan para elite pilitik. Bahkan yang lebih ironis adalah, orang yang bermain dalam lingkungan tersebut dan mengatasnamakan korban bencana tadi.
Dana bantuan yang seharusnya mudah mereka dapatkan dan sangat mereka nantikan, sampai detik ini hanya kurang dari seperempat yang dijanjikan oleh pemerintah. Yang lebih kacau lagi kasus Lumpur Lapindo di Sidoarjo. Dampak yang diakibatkan oleh meluapnya Lumpur sangatlah luas. Dari mulai ditutupnya pabrik-pabrik yang mengakibatkan ribuan karyawan menjadi pengangguran, rumah-rumah masyarakat yang tergenang, para perajin di Sidoarjo, warung-warung kecil, bahkan akses jalan utama ke tiap-tiap desa terputus akibat luapan Lumpur Lapindo. Seharusnya perusaahan yang menaungi lapindo haruslah bertanggung jawab atas apa yang terjadi di Sidoarjo, Jawa Timur. Pemerintah tak perlu menjadikan kasus ini menjadi bencana nasional, karena penyebab terjadinya luapan Lumpur tersebut adalah kesalahan dari Perusahaan tersebut, dan pemerintah tidaklah harus mengganti rugi. Apakah pemerintah takut untuk mengatakan yang sebenarnya terhadap public? Ataukah adanya pemegang saham di perusahaan tersebut menduduki jabatan petinggi negara (Menteri) saat itu? Itu baru satu kasus dari ribuan kasus buruknya kinerja birokrasi di Negara ini.
Tak sedikit pula penyakit birokrasi kita . Masih banyaknya KKN, keserakahan, fanatisme, iri hati, adu domba, hingga adanya perampokan dalam administrasi, pembunuhan karakter, penjajahan, pemalsuan dan rekayasa administrasi membuat bangsa kita semakin terpuruk akibat watak yang rakus di dalam hati para wakil rakyat yang ironisnya kita pilih langsung dalam pemilu. Seharusnya kepercayaan yang telah rakyat berikan terhadap para wakil rakyat yang duduk di dalam lembaga-lembaga tinggi negara dapat mereka kaji dan laksanakan secara benar. Yang terjadi bahkan seperti mencari bagaimana modal kampanye mereka yang telah mereka keluarkan kembali menjadi dua kali lipat. Ironis memang ulah para petinggi negara ini.
Tuntutan untuk segera merealisasikan reformasi birokrasi semakin menguat, tuntutan ini bukan hanya berasal dan masyarakat sipil dan dunia usaha, namun juga dari internal pemerintah semakin mengkristal. Tuntutan yang semakin menguat dari internal Pemerintah sebenarnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan Pengawai Negeri. Dalam hal ini sudah tentu tekanan utamanya adalah adanya kenaikan gaji yang signifikan, begitu juga tentang status kepegawaian mereka.
Masalah penegakan hukum, masyarakat kita masih apatis melihat aparat hukum dalam menyelesaikan suatu kasus. Persoalan utamanya terletaknya sudah hilangkan kepercayaan masyarakat karena kasus – kasus hukum justru berpihak kepada yang berkuasa dan berduit, sebaliknya rakyat biasa hanya akan pasra dihadapan penggawa hukum. Penyimpangan dan jual beli kasus bukan hal yang tabu dilakukan oleh aparat penegak hukum, bahkan dengan gamblang mereka bisa mengatakan ”hukum adalah kami”. Alasan aparat hukum dalam malakukan penyimpangan profesi cukup sederhana; ”Gaji mereka sangat kecil”, sehingga jalan keluar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya adalah menjual hukum itu sendiri.
Reformasi Birokrasi bisa difokuskan pada upaya peningkatan kesejahteraan aparat hukum, dalam hal ini yang akan menjadi fokus adalah Kepolisian, Kejaksaan, Peradilan, dan Militer. Bila dilihat dari kemampuan Anggaran Negara yang tersedia maka keempat instansi tersebut juga belum sepenuhnya dilaksanakan secara bersamaan.
Ketika kebijakan negara tidak dapat menjadi barometer kesejahteraan masyarakat, begitu juga pelayanan yang masyarakat terima. Pelayanan yang seharusnya ditujukan pada masyarakat umum kadang dibalik menjadi pelayanan masyarakat terhadap negara. Pemerintahan milik masyarakat akan tercipta jika birokrat dapat mendefinisikan ulang tugas dan fungsinya. Patut diduga bahwa banyak birokrat yang tidak banyak memahami secara pasti atau setdaknya tidak mengerti filosofi pelayanan yang akan diberikannya sehingga pelayanan publik yang diimpikan oleh masyarakat jauh dari kenyataan yang mereka alami.
Dengan demikian, pelayanan public adalah pemenuhan keinginan dan kebutuhan masyarakat oleh penyelenggara negara. Negara didirikan oleh publik (masyarakat) tentu saja dengan tujuan agar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Sampai kapan negara kita akan mengalami dekadensi dalam birokrasi administrasi pemerintah. Kita harus bangkit, rakyat sesungguhnya tidaklah bodoh, melainkan terlalu pasrah terhadap keadaan mereka dan selalu beranggapan ini adalah cobaan dari Tuhan Yang Maha Esa. Solusi Good Governance yang seharusnya menjadi kunci kebangkitan, seakan terlupakan akibat semakin tebalnya kantong, dompet dan buku tabungan para wakil rakyat. Mari bersama-sama kita bangkit memperbaiki tatanan system birokrasi yang sudah rusak, kita tinggalkan masing-masing kepentingan, kita kedepankan pembangunan suprastruktur, yang birokrasi termasuk dari salah satunya.
Rabu, 02 November 2011
Mengurai Kartel Politik Era Reformasi
Pada dasarnya kartel adalah penggabungan kelompok kepentingan yang bertujuan memonopoli teristimewanya hak dalam mengatur yang menguntungkan mereka. Dalam dinamika politik, terutama dalam mekanisme perpolitikan partai, partai-partai bekerjasama sebagai suatu entitas untuk menjaga kepentingan bersama, hal ini cenderung corrupt (penyalahgunaan kekuasaan) jika mereka berada dalam lingkungan eksekutif maupun legislatif, misalnya menjadikan lembaga negara sebagai sumber keuangan utama bagi partai, sehingga KKN sangat rentan terjadi. Mereka membentuk koalisi untuk memperoleh kekuasaan secara berlebihan dengan bergabungnya banyak partai yang sarat kepentingan, koalisi terbentuk dari partai-partai yang pada dasarnya berbeda ideology antara satu dengan lainnya, akan tetapi mereka bekerjasama untuk memperoleh kepentingan masing-masing dalam wadah yang sama, sehingga kepentingan rakyat banyak menjadi prioritas nomor sekian. Kekuatan mereka jika bersatu bisa menjadi rival yang kuat untuk menghimpun suara yang banyak dalam pemilihan jabatan politik. Inilah yang menjadikan alasan mengapa pemimpin terpilih harus memenuhi syarat bahwa dengan menang harus merangkul semua kekuatan politik terutama partai politik. Seorang jurnalis pernah menuliskan hal ini dalam artikelnya, bahwa bila ingin membuat pemerintahan yang utuh, semua kekuatan politik yang ada harus dapat dikuasai atau dimonopoli dengan baik seperti apa yang terjadi pada era Orde Baru pimpinan Soeharto.
Pemerintahan yang ideal selayaknya mempertimbangkan koalisi yang terlalu berlebihan, sehingga mampu mengambil arah kebijakan yang efektif dan efesien tanpa harus terlalu mempertimbangkan kepentingan partai koalisinya, akan tetapi jika bahan pertimbangannya adalah kepentingan golongan dalam lingkungan kekuasaan, maka yang terjadi adalah pembagian kekuasaan yang proporsional baik dalam perlemen maupun kabinet pemerintahan eksekutif, sehingga menempatkan orang-orang yang tidak berkompeten (non qualified) dalam bidang jabatan yang diperolehnya, sehingga arah kebijakan yang diterapkan jauh dari kebutuhan rakyat. Hal ini membuat kesejahteraan semakin menjadi tidak terjamin. Apa yang kita harapkan dari reformasi 1998 yaitu kehidupan ideal tidak akan pernah terwujud jika masih mempertimbangkan kepentingan partai secara akomodatif.
Sejatinya kebijakan publik yang diambil harus sesuai dengan kebutuhan rakyat, tidak menempatkan rakyat sebagai komoditas kepentingan. Sehingga bisa mewujudkan kehidupan ideal yang diinginkan. Pada dasarnya, partai adalah sarana yang paling efektif untuk menyalurkan kepentingan rakyat secara aspiratif, akan tetapi pada realitanya, rakyatlah yang dijadikan sebagai komoditas kepentingan mereka tadi. Dengan sebuah kartel yang menyengsarakan rakyat, partai tadi menyatakan bahwa ideologi mereka berpihak kepada rakyat, akan tetapi pada kenyataannya keuangan negara secara legal maupun illegal dikuras habis-habisan oleh mereka yang berada dalam pemerintahan dan parlemen.
Sudah saatnya kita bersatu untuk dapat memahami realitas politik di negeri plural ini. Dengan pemahaman yang matang, kita mampu untuk mengurai kartel-kartel yang menyengsarakan rakyat, sehingga kehidupan ideal yang diinginkan terwujud secara utuh dan dirasakan bersama oleh semua lapisan masyarakat.
Pemerintahan yang ideal selayaknya mempertimbangkan koalisi yang terlalu berlebihan, sehingga mampu mengambil arah kebijakan yang efektif dan efesien tanpa harus terlalu mempertimbangkan kepentingan partai koalisinya, akan tetapi jika bahan pertimbangannya adalah kepentingan golongan dalam lingkungan kekuasaan, maka yang terjadi adalah pembagian kekuasaan yang proporsional baik dalam perlemen maupun kabinet pemerintahan eksekutif, sehingga menempatkan orang-orang yang tidak berkompeten (non qualified) dalam bidang jabatan yang diperolehnya, sehingga arah kebijakan yang diterapkan jauh dari kebutuhan rakyat. Hal ini membuat kesejahteraan semakin menjadi tidak terjamin. Apa yang kita harapkan dari reformasi 1998 yaitu kehidupan ideal tidak akan pernah terwujud jika masih mempertimbangkan kepentingan partai secara akomodatif.
Sejatinya kebijakan publik yang diambil harus sesuai dengan kebutuhan rakyat, tidak menempatkan rakyat sebagai komoditas kepentingan. Sehingga bisa mewujudkan kehidupan ideal yang diinginkan. Pada dasarnya, partai adalah sarana yang paling efektif untuk menyalurkan kepentingan rakyat secara aspiratif, akan tetapi pada realitanya, rakyatlah yang dijadikan sebagai komoditas kepentingan mereka tadi. Dengan sebuah kartel yang menyengsarakan rakyat, partai tadi menyatakan bahwa ideologi mereka berpihak kepada rakyat, akan tetapi pada kenyataannya keuangan negara secara legal maupun illegal dikuras habis-habisan oleh mereka yang berada dalam pemerintahan dan parlemen.
Sudah saatnya kita bersatu untuk dapat memahami realitas politik di negeri plural ini. Dengan pemahaman yang matang, kita mampu untuk mengurai kartel-kartel yang menyengsarakan rakyat, sehingga kehidupan ideal yang diinginkan terwujud secara utuh dan dirasakan bersama oleh semua lapisan masyarakat.
Langganan:
Postingan (Atom)