Kekaburan konsepsional sekitar pengertian-pengertian bangsa, kebangsaan dan nasionalisme telah sering dibahas dan dikecam dalam setiap karya yang mencoba mengupas masalah hubungan antara kesetiaan komunal dan kesetiaan politik. Jalan yang ditempuh untuk mengatasi persoalan ini ialah usaha memuaskan segala pihak yang memandang masalah-masalah yang berhubungan dengannya dari berbagai segi: politik, psikologi, kultur dan demografi. Akibatnya, usaha mengurangi kekaburan itu malah tidak banyak mengalami kemajuan.
Sebagian dari kekaburan ini dapat dihilangkan kalau saja disadari bahwa rakyat Negara-negara baru terdorong oleh dua jenis motif yang kuat, saling mempengaruhi, berbeda satu dari yang lain dan yang seringkali bertentangan: pertama, kehendak untuk diakui sebagai pelaku-pelaku yang bertanggung jawab dan yang hasrat, harapan, tindakan serta pendapatnya “diperhitungkan”; kedua, kehendak membina suatu Negara modern yang efisien dan dinamis. Kehendak pertama adalah ikhtiar untuk diperhatikan; ia merupakan usaha mencari identitas (kepribadian) dan bahwa identitas itu diakui secara terbuka sebagai sesuatu yang terpenting, suatu penegasan diri sosial untuk menjadi seseorang di dunia. Kehendak kedua bersifat lebih praktis suatu tuntutan untuk kemajuan, meningkatkan taraf hidup menciptakan tata susunan politik yang tertib, keadilan sosial yang lebih meluas serta lebih memainkan peranan dalam percaturan politik dunia dan menyatakan pengaruhnya dalam masyarakat internasional. Kedua motif itu saling berkaitan, karena kewargaan di dalam suatu Negara yang sungguh-sungguh modern makin lama makin diterima sebagai cara menyatakan harkat pribadi bangsa dank arena apa yang menurut Mazzini disebut sebagai tuntutan kehadiran dan mempunyai nama bagian terbesar dikobarkan akibat perasaan hina terasing dari pusat-pusat kekuasaan terpenting di dunia. Tetapi kedua motif itu tidaklah sama, keduanya berbeda asal-usulnya dan mengadakan respon terhadap tekanan-tekanan yang berbeda-beda pula. Malah ketegangan antara kedua motif itulah yang merupakan salah satu penggerak utama dalam evolusi Negara-negara baru. Dalam pada itu, ketegangan tersebut juga merupakan salah satu hambatan dalam evolusi kebangsaan.
Titik pusat kegoncangan primordial biasanya berkisar pada beberapa sebab yang seringkali timbul bersama dan berlawanan tujuan. Secara deskriptif, masalah-masalah yang adalah sebagai berikut:
1. Hubungan Darah
Pembatasan yang penting disini ialah yang bersifat kwsai-kekeluargaan, karena hubungan yang wujud, akibat ikatan biologis (keluarga besar, garis keturunan dan sebagainya) terlalu terbatas untuk dianggap cukup berarti. Oleh karena itu pengenalan lebih bersifat hubungan keluarga yang lebih sosiologis, seperti kesukuan.
2. Jenis Bangsa (ras)
Ras mirip dengan kesukuan dalam arti bahwa ia melihat teori etno-biologis.
3. Bahasa
Bahasa seringkali dipandang sebagai poros essensi konflik-konflik nasional, ada baiknya ditegaskan di sini bahwa linguisme bukanlah suatu yang lahir akibatyang pasti lahir dari keaneka-ragaman bahasa
4. Daerah
Meskipun menjadi factor di hamper setiap pelosok dunia, kedaerahan dengan sendirinya menjadi masalah gawat di daerah-daerah geografis yang heterogen.
5. Agama
Perbedaan keyakinan terkenal tentang kekuatan ikatan keagamaan dalam menghambat ataupun menggagalkan perasaan kebangsaan yang lebih luas.
6. Kebiasaan
Perbedaan-perbedaan dalam bentuk kebiasaan sering merupakan dasar dari salah satu perpecahan nasional.
Penyusunan tipologi pola-pola nyata aneka ragam primordial yang ada di Negara-negara baru seringkali dihambat oleh tiadanya keterangan terperinci dan yang dapat dipercaya. Tetapi suatu klasifikasi kasar dalam analisa tentang peranan ikatan-ikatan primordial dalam politik kebangsaan. Analisa ini diharapkan lebih tajam dan lebih cermat daripada yang dapat dilakukan melalui klise-klise sosiologis seperti pluralism, kesukuan, kedaerahan, perkauman dan sebagainya:
a. Salah satu pola umum dan yang relatif sederhana ialah adanya suatu kelompok dominan yang hampir selalu berhadapan dengan minoritas yang mengganggu
b. Hampir sama dengan pola pertama tetapi lebih rumit, ialah adanya satu kelompok sentral –seringkali dalam arti geografis di sampimg dalam arti politis- yang berhadapan dengan beberapa kelompok menengah yang agak menentang
c. Suatau pola lain yang berbentuk tiadanya homogenitas intern ialah dua kutub yang terdiri dari kelompok-kelompok besar yang seimbang
d. Ada pula yang menggambarkan urutan kepentingan yang hampir sama, baik yang terdiri dari beberapa yang besar maupun beberapa yang sedang atau yang kecil, tanpa ada yang dominan atau perbedaan-perbedaan yang jelas
e. Ada perpecahan sederhana berdasarkan pembagian etnis, yang terdiri dari banyak kelompok-kelompok kecil.
Kata Bijak;
“Setiap manusia mempunyai kekuatan sejarah yang menyingkapkan masa lalunya. Sejarah telah mendudukkan kembali dalam ukuran yang lebih berat dan kokoh bagi yang bersangkutan dan beribu-ribu rahasia dari masa lalu terbit kembali dari lubuk yang tersembunyi dari cahaya matanya. Masih tidak ada sahabat yang tidak mengerti arti mimpi yang akan menjelma menjadi kenyataan sejarah satu saat nanti, karena terkadang masa lalu masih belum semua nampak. Banyak kekuatan yang agaknya belum kita ketahui”
-Friedrich Nietzsche
Sabtu, 21 April 2012
Jumat, 13 April 2012
Wacana Revolusi Aceh
Sejarah aceh adalah rangkaian kisah tentang kepahlawanan orang aceh dan kebingungan militer. Keperwiraan orang aceh dalam bertempur memang sulit terbantahkan. Bahkan, hingga pada detik-detik pergolakan aceh pada beberapa tahun yang lalu dan mungkin juga akan terjadi pada masa yang akan datang. Dibanding perang jawa atau lebih dikenal perang diponegoro (1825-1830), sejarah tak pernah mencatat adanya jenderal Belanda yang tewas. Berbeda jauh dengan sejarah perang Aceh, perlawanan rakyat di Aceh menorehkan catatan bahwa empat jenderal belanda pun ikut tewas.
Banyaknya korban itu jelas membuat Belanda putus asa. Catatan-catatan komandan perang belanda di aceh juga menunjukan betapa mereka memuji ketangguhan tentara aceh. Mereka juga menuliskan bahwa keliatan tempur musuhnya itu setaraf dengan pasukan kaisar prancis, napoleon Bonaparte. Pang nanggroe ulama besar yang dihormati oleh orang aceh sebagai orang yang keramat dan kebal senjata. Oleh pasukan marsose di bawah brigade Mosselman, dikenal sebagai ahli penyamaran dan jebakan. Kepiawaian pejuang aceh aceh tak kalah canggih dengan kecerdikan gerilyawan vietkong ketika melawan tentara amerika serikat di akhir decade 1960-an.
Pada beberapa dekade yang lalu, melalui tokoh-tokoh gerakan aceh merdeka, pimpinan Hasan tiro yang ikut berperang di tanah rencong, kepahlawanan itu mulai bangkit kembali. Suasana revolutif sudah mulai terlihat. Suasana sosiologis aceh pasca DOM (daerah operasi militer) sama seperti keadaan aceh pada 1913 pasca perang aceh (1873-1913) bahwa terdapat luka mendalam yang bersifat kejiwaan. Anthony Reid menggambarkan situasi ini sebagi kehancuran, tekanan jiwa dan sakit mental. Pembantaian keji dan biadap yang dilakukan TNI sebagi representasi kezaliman Negara terhadap orang aceh merupakan modal kemanusiaan yang paling besar artinya bagi bangkitnya sebuah revolusi. Pembantaian pulalah yang menjadikan orang aceh kehilangan kepercayaan kepada Negara, atau pemerintah pusat dalam idiom politik mereka. Keluarga-keluarga di aceh mulai menjadi keluarga gerilya, di manapun kaphe (kafir) atau pa’i ditemukan, maka akan ditikam secara kejam dan membabi buta. Tujuannya hanya satu : untuk mencapai mati syahid yang diidam-idamkanpara pejuang aceh. Dalam bahasa belanda gejala ini disebut atjeh moorden atau istilah asli aceh asli disebut aceh pungo (aceh gila)
Situasi imagined community, meminjam istilah Benedict Anderson , yang dulu sangat dipertahankan aceh, tiba-tiba berubah menjadi situasi yang egois. Rakyat aceh yang paling teretekan selama berdirinya republic indonesia, yang dalam sebutan mereka disebut kaphe Indonesia-jawa. Sebutan ini memperlihatkan betapa tidak compatible-nya alam ideologis orang aceh dengan ornag Indonesia umumnya. Dan dari semua kondisi yang tengah membara ini, aceh adalah lahan tersubur bagi munculnya revolusi islam.
Sikap berani mati yang tumbuh selama perang melawan kaphe (kafir) belanda itulah yang sampai kini terpatri kuat dalam benak rakyat aceh. Dan landasan keagamaan yang paling popular di dalam melakukan perlawanan adalah Al-Quran surat IV ayat 76, “hendaklah mereka yang menjual akhirat dengan penghidupan dunia, berperang pada jalan Allah, karena barang siapa berperang pada jalan Allah lalu terbunuh atau menang, maka kami akan beri kepadanya ganjaran yang besar”.
Maka menjadi sederhanalah pilihan hidup bagi orang-orang aceh: terbunuh atau menang. Situasi inilah yang dihadapi TNI di aceh. Lebih membingungkan lagi, bagi masyarakat aceh, TNI itu sangat kasihan: bergaji rendah, bertugas berat menumpas para mujahidin, dan jika mati nanti malah masuk neraka.
Lebih-lebih, kalau turun gunung ke Gampng-gampong, kisah-kisah tentang kepahlawanan Gerakan Aceh Merdeka begitu mengharukanbirukan. Sementara kisah tentang ketakutan dan terbirit-biritnya TNI begitu sarkastis nya. Kobaran semangat jihad fisabillah akan semakin jelas bila merujuk pada Hikayat Prang Sabi yang biasa didendangkan rakyat aceh yang pada saat itu didendangkan oleh anak-anak muda. Kepahlawanan itulah hingga kini masih tampak kuat pada tentara, sepatu lars, bahkan todongan senjata bukan hal menakutkan.
Dan kebetulan pula, kisah seorang janda yang menikam perwira marsose belanda Schimdt dengan sebilah rencongnya, saat era 1990-an juga terjadi pada diri wanita setengah baya asal Meunasah Blang Gampong Kandang, Aceh Utara. Pada malam pertama seusai penggerebekan markas Ahmad Kandang, ia dengan sangat berani masuk dalam kerumunan tentara yang tengah menjaga rumah sakit umum dan tanpa disangka, secara tiba-tiba dia menikam dua tentara. Rasa takut sepertinya sudah menghilang dari hatinya. Dia sudah tak takut lagi kepada siapapun setelah suaminya dibunuh TNI tanpa alasan yang jelas. Bagi orang aceh pada saat itu, TNI adalah mesin pembunuh yang sedang kebingungan yang tidak dapat lagi membedakan dengan jelas mana Gerakan Aceh MErdeka dan mana yang bukan Gerakan Aceh Merdeka. Minimnya ilmu antropologi bagi TNI telah mengakibatkan kefatalan yang luar biasa dan harus dibayar tunai oleh menuntut ganti nyawa secara tunai setelah serangkaian tuntutan Due Process of Law gagal diakomodasikan oleh pemerintah
Maka pada saat itu, eskalasi persoalan aceh demikian cepat terjadi: mulai dari tuntutan pencabutan DOM, permintaan kedatangan Habibie ke aceh referendum, dan akhirnya tuntutan kemerdekaan bagi aceh sebagai harga mati. Pemerintah pusat terlalu yakin dengan politik tarik ulurnya kepada rakyat aceh yang sudah terlalu kecewa dengan janji-janji palsu yang terlalu sering diumbar.
Menurut Gustave Le Bon , jika keadaaan arus bawah masyarakat sudah direspons oleh elite, maka revolusi akan mudah tersulut. Untuk kasus aceh, proses adanya sebuah revolusi merupakan kejadian yang sangat luar biasa, sangat kasar dan merupakan suatu gerakan yang paling terpadu dari seluruh gerakan-gerakan sosial apa pun
Bila ditinjau dari sudut kajian kajian psikologis sosial, menurut Eisenstandt, revolusi adalah sebuah ungkapan atau permakluman final dari suatu akumulasi pergolakan emosi mendalam yang tidak tertampung dari suatu keinginan otonom yang mampu merengkuh seluruh kapasitas yang dimiliki keorganisasian ataupun ideology dari berupa protes sosial yang dilakukan secara seksama dan cermat. Apalagi, bila dikaitkan dengan kekhususan dari revolusi tersebut, yakni adanya sebuah citra utopis atau pembebasan yang bertitik tolak pada lahirnya symbol-simbol persamaan, kemajuan dan kemerdekaan dengan memusatkan pendangannya bahwa segala tindakan yang diakibatkan bergulirnya sebuah revolusi, maka akan melahirkan suatu tatanan kehidupan sosial baru yang lebih baik.
Begitu pula tentang sebab musabab berbagai peristiwa yang tak hanya bersifat temporer atau frustasi marjinal atau kegelisahan saja. Namun meminjam istilah Theda Skocpol , “revolusi itu pun muncul karena berbagai anomaly (pergeseran) sosial dan ketimpangan yang sangat fundamental. Terutama disebabkan oleh pengaruh pertikaian antar elite perpaduan pergolakan teersebut denag kekuatan sosial, ataupun karena konflik golongan yang berlarut-larut dan menyebar.
Jika nanti sebuah revolusi islam di aceh hadir dengan berbagai latar belakang tersebut di atas, maka yang timbul kemudian adalah adanya berbagai gambaran tentang pengaruh atau akibat dari adanya revolusi.
Pertama, akan muncul suatu perubahan secara kekerasan terhadap rezim politik yang ada, didasari oleh legitimasi maupun symbol-simbolnya sendiri
Kedua, penggantian elite politik dan kelas yang sedang berkuasa dengan lainnya. Kerajaan wali naggroe hasan tiro begitu membayang di pelupuk mata orang aceh
Ketiga, perubahan secara mendasar seluruh bidang kelembagaan utama –terutama dalam hubungan kelas dan system ekonomi- yang menyebabkan modernisasi di segenap aspek kehidupan sosial, pembaruan ekonomi dan indistrialisassi, serta menumbuhkan partisipasi dalam dunia politik. Bayangan tentang gaji 4 juta rupiah per bulan tanpa harus bekerja dan setiap orang dewasa dibagikan satu mobil kijang adalah sebagian dari harapan material orang aceh jika merdeka kelak.
Keempat, pemutusan secara radikal dengan segala hal yang telah lampau (yang dijelaskan oleh Alexis de Toequeville sebagai diskontinuitas yang relative)
Kelima, memberikan ikatan ideologis dan orientasi kebangkitan (millenarian) mengenai gambaran revolusioner. Hal ini mengandaikan bahwa revolusi tidak hanya membawa transformasi kelembagaan dan system moral yang akan melahirkan manusia baru. Dibuangnya system pendidikan pancasila dan diganti dengan system dari hasan tiro merupakan seberkas sinar harapan hasil millenarian aceh.
Dalam konteks aceh, mungkin menarik konseptualisasi Carl J. Friedrich bahwa revolusi menyiratkan sesuatu yang baru dengan bahasa yang kabur, logika yang lain dan revolusi dari seluruh nilai-nilai. Maka revolusi politik dapat dirumuskan sebagai pejungkirbalikkan tatanan kekuasaaan politik.
Namun kemungkinan revolusi sebagai historical inevitability di aceh akan menyerupai apa yang oleh Eugene Kamenka rumuskan bahwa revolusi merupakan suatu perubahan mendadak dan tajam dalam siklus kekuasaan sosial. Ia tercermin dalam perubahan radikal terhadap proses pemerintah yang berdaulat pada segenap kewenangan dan legitimasi resmi, dan sekaligus perubahan radikal dalam konsepsi tatanan sosialnya. Transformasi demikian pada umumnya telah diyakini tak akan mungkin dapat terjadi tanpa kekerasan. Tapi seandainya mereka melakukannya tanpa pertumpahan darah, tetap masih dianggap sebagai revolusi.
Akankah terjadinya revolusi islam di aceh sebagaimana pernah dikatakan Samuel Huntington sebagai “suatu pengjungkirbalikkan nilai-nilai, mitos, lembaga-lembaga politik, stuktur sosial, kepemimpinan, serta aktivitas mauppun kebijaksanaan yang telah dominan di masyarakat?” semua gambaran teoritis ini bisa memberikan suatu pemandangan umum bahwa di aceh paling mungkin terjadinya sebuah revolusi politik. Tekanan hidup dan penipuan politik yang dilakukan pemerintahan pusat terhadap mereka telah membuat mereka cukup geram. Namun semua itu hanya mungkin dilakukan jika atas nama islam, agama yang secara tradisi telah melekat dengan semangat dan jiwa-jiwa revolusioner orang-orang aceh.
Zulfiadi Ahmedy
Ilmu Politik FISIP Unsyiah
Banyaknya korban itu jelas membuat Belanda putus asa. Catatan-catatan komandan perang belanda di aceh juga menunjukan betapa mereka memuji ketangguhan tentara aceh. Mereka juga menuliskan bahwa keliatan tempur musuhnya itu setaraf dengan pasukan kaisar prancis, napoleon Bonaparte. Pang nanggroe ulama besar yang dihormati oleh orang aceh sebagai orang yang keramat dan kebal senjata. Oleh pasukan marsose di bawah brigade Mosselman, dikenal sebagai ahli penyamaran dan jebakan. Kepiawaian pejuang aceh aceh tak kalah canggih dengan kecerdikan gerilyawan vietkong ketika melawan tentara amerika serikat di akhir decade 1960-an.
Pada beberapa dekade yang lalu, melalui tokoh-tokoh gerakan aceh merdeka, pimpinan Hasan tiro yang ikut berperang di tanah rencong, kepahlawanan itu mulai bangkit kembali. Suasana revolutif sudah mulai terlihat. Suasana sosiologis aceh pasca DOM (daerah operasi militer) sama seperti keadaan aceh pada 1913 pasca perang aceh (1873-1913) bahwa terdapat luka mendalam yang bersifat kejiwaan. Anthony Reid menggambarkan situasi ini sebagi kehancuran, tekanan jiwa dan sakit mental. Pembantaian keji dan biadap yang dilakukan TNI sebagi representasi kezaliman Negara terhadap orang aceh merupakan modal kemanusiaan yang paling besar artinya bagi bangkitnya sebuah revolusi. Pembantaian pulalah yang menjadikan orang aceh kehilangan kepercayaan kepada Negara, atau pemerintah pusat dalam idiom politik mereka. Keluarga-keluarga di aceh mulai menjadi keluarga gerilya, di manapun kaphe (kafir) atau pa’i ditemukan, maka akan ditikam secara kejam dan membabi buta. Tujuannya hanya satu : untuk mencapai mati syahid yang diidam-idamkanpara pejuang aceh. Dalam bahasa belanda gejala ini disebut atjeh moorden atau istilah asli aceh asli disebut aceh pungo (aceh gila)
Situasi imagined community, meminjam istilah Benedict Anderson , yang dulu sangat dipertahankan aceh, tiba-tiba berubah menjadi situasi yang egois. Rakyat aceh yang paling teretekan selama berdirinya republic indonesia, yang dalam sebutan mereka disebut kaphe Indonesia-jawa. Sebutan ini memperlihatkan betapa tidak compatible-nya alam ideologis orang aceh dengan ornag Indonesia umumnya. Dan dari semua kondisi yang tengah membara ini, aceh adalah lahan tersubur bagi munculnya revolusi islam.
Sikap berani mati yang tumbuh selama perang melawan kaphe (kafir) belanda itulah yang sampai kini terpatri kuat dalam benak rakyat aceh. Dan landasan keagamaan yang paling popular di dalam melakukan perlawanan adalah Al-Quran surat IV ayat 76, “hendaklah mereka yang menjual akhirat dengan penghidupan dunia, berperang pada jalan Allah, karena barang siapa berperang pada jalan Allah lalu terbunuh atau menang, maka kami akan beri kepadanya ganjaran yang besar”.
Maka menjadi sederhanalah pilihan hidup bagi orang-orang aceh: terbunuh atau menang. Situasi inilah yang dihadapi TNI di aceh. Lebih membingungkan lagi, bagi masyarakat aceh, TNI itu sangat kasihan: bergaji rendah, bertugas berat menumpas para mujahidin, dan jika mati nanti malah masuk neraka.
Lebih-lebih, kalau turun gunung ke Gampng-gampong, kisah-kisah tentang kepahlawanan Gerakan Aceh Merdeka begitu mengharukanbirukan. Sementara kisah tentang ketakutan dan terbirit-biritnya TNI begitu sarkastis nya. Kobaran semangat jihad fisabillah akan semakin jelas bila merujuk pada Hikayat Prang Sabi yang biasa didendangkan rakyat aceh yang pada saat itu didendangkan oleh anak-anak muda. Kepahlawanan itulah hingga kini masih tampak kuat pada tentara, sepatu lars, bahkan todongan senjata bukan hal menakutkan.
Dan kebetulan pula, kisah seorang janda yang menikam perwira marsose belanda Schimdt dengan sebilah rencongnya, saat era 1990-an juga terjadi pada diri wanita setengah baya asal Meunasah Blang Gampong Kandang, Aceh Utara. Pada malam pertama seusai penggerebekan markas Ahmad Kandang, ia dengan sangat berani masuk dalam kerumunan tentara yang tengah menjaga rumah sakit umum dan tanpa disangka, secara tiba-tiba dia menikam dua tentara. Rasa takut sepertinya sudah menghilang dari hatinya. Dia sudah tak takut lagi kepada siapapun setelah suaminya dibunuh TNI tanpa alasan yang jelas. Bagi orang aceh pada saat itu, TNI adalah mesin pembunuh yang sedang kebingungan yang tidak dapat lagi membedakan dengan jelas mana Gerakan Aceh MErdeka dan mana yang bukan Gerakan Aceh Merdeka. Minimnya ilmu antropologi bagi TNI telah mengakibatkan kefatalan yang luar biasa dan harus dibayar tunai oleh menuntut ganti nyawa secara tunai setelah serangkaian tuntutan Due Process of Law gagal diakomodasikan oleh pemerintah
Maka pada saat itu, eskalasi persoalan aceh demikian cepat terjadi: mulai dari tuntutan pencabutan DOM, permintaan kedatangan Habibie ke aceh referendum, dan akhirnya tuntutan kemerdekaan bagi aceh sebagai harga mati. Pemerintah pusat terlalu yakin dengan politik tarik ulurnya kepada rakyat aceh yang sudah terlalu kecewa dengan janji-janji palsu yang terlalu sering diumbar.
Menurut Gustave Le Bon , jika keadaaan arus bawah masyarakat sudah direspons oleh elite, maka revolusi akan mudah tersulut. Untuk kasus aceh, proses adanya sebuah revolusi merupakan kejadian yang sangat luar biasa, sangat kasar dan merupakan suatu gerakan yang paling terpadu dari seluruh gerakan-gerakan sosial apa pun
Bila ditinjau dari sudut kajian kajian psikologis sosial, menurut Eisenstandt, revolusi adalah sebuah ungkapan atau permakluman final dari suatu akumulasi pergolakan emosi mendalam yang tidak tertampung dari suatu keinginan otonom yang mampu merengkuh seluruh kapasitas yang dimiliki keorganisasian ataupun ideology dari berupa protes sosial yang dilakukan secara seksama dan cermat. Apalagi, bila dikaitkan dengan kekhususan dari revolusi tersebut, yakni adanya sebuah citra utopis atau pembebasan yang bertitik tolak pada lahirnya symbol-simbol persamaan, kemajuan dan kemerdekaan dengan memusatkan pendangannya bahwa segala tindakan yang diakibatkan bergulirnya sebuah revolusi, maka akan melahirkan suatu tatanan kehidupan sosial baru yang lebih baik.
Begitu pula tentang sebab musabab berbagai peristiwa yang tak hanya bersifat temporer atau frustasi marjinal atau kegelisahan saja. Namun meminjam istilah Theda Skocpol , “revolusi itu pun muncul karena berbagai anomaly (pergeseran) sosial dan ketimpangan yang sangat fundamental. Terutama disebabkan oleh pengaruh pertikaian antar elite perpaduan pergolakan teersebut denag kekuatan sosial, ataupun karena konflik golongan yang berlarut-larut dan menyebar.
Jika nanti sebuah revolusi islam di aceh hadir dengan berbagai latar belakang tersebut di atas, maka yang timbul kemudian adalah adanya berbagai gambaran tentang pengaruh atau akibat dari adanya revolusi.
Pertama, akan muncul suatu perubahan secara kekerasan terhadap rezim politik yang ada, didasari oleh legitimasi maupun symbol-simbolnya sendiri
Kedua, penggantian elite politik dan kelas yang sedang berkuasa dengan lainnya. Kerajaan wali naggroe hasan tiro begitu membayang di pelupuk mata orang aceh
Ketiga, perubahan secara mendasar seluruh bidang kelembagaan utama –terutama dalam hubungan kelas dan system ekonomi- yang menyebabkan modernisasi di segenap aspek kehidupan sosial, pembaruan ekonomi dan indistrialisassi, serta menumbuhkan partisipasi dalam dunia politik. Bayangan tentang gaji 4 juta rupiah per bulan tanpa harus bekerja dan setiap orang dewasa dibagikan satu mobil kijang adalah sebagian dari harapan material orang aceh jika merdeka kelak.
Keempat, pemutusan secara radikal dengan segala hal yang telah lampau (yang dijelaskan oleh Alexis de Toequeville sebagai diskontinuitas yang relative)
Kelima, memberikan ikatan ideologis dan orientasi kebangkitan (millenarian) mengenai gambaran revolusioner. Hal ini mengandaikan bahwa revolusi tidak hanya membawa transformasi kelembagaan dan system moral yang akan melahirkan manusia baru. Dibuangnya system pendidikan pancasila dan diganti dengan system dari hasan tiro merupakan seberkas sinar harapan hasil millenarian aceh.
Dalam konteks aceh, mungkin menarik konseptualisasi Carl J. Friedrich bahwa revolusi menyiratkan sesuatu yang baru dengan bahasa yang kabur, logika yang lain dan revolusi dari seluruh nilai-nilai. Maka revolusi politik dapat dirumuskan sebagai pejungkirbalikkan tatanan kekuasaaan politik.
Namun kemungkinan revolusi sebagai historical inevitability di aceh akan menyerupai apa yang oleh Eugene Kamenka rumuskan bahwa revolusi merupakan suatu perubahan mendadak dan tajam dalam siklus kekuasaan sosial. Ia tercermin dalam perubahan radikal terhadap proses pemerintah yang berdaulat pada segenap kewenangan dan legitimasi resmi, dan sekaligus perubahan radikal dalam konsepsi tatanan sosialnya. Transformasi demikian pada umumnya telah diyakini tak akan mungkin dapat terjadi tanpa kekerasan. Tapi seandainya mereka melakukannya tanpa pertumpahan darah, tetap masih dianggap sebagai revolusi.
Akankah terjadinya revolusi islam di aceh sebagaimana pernah dikatakan Samuel Huntington sebagai “suatu pengjungkirbalikkan nilai-nilai, mitos, lembaga-lembaga politik, stuktur sosial, kepemimpinan, serta aktivitas mauppun kebijaksanaan yang telah dominan di masyarakat?” semua gambaran teoritis ini bisa memberikan suatu pemandangan umum bahwa di aceh paling mungkin terjadinya sebuah revolusi politik. Tekanan hidup dan penipuan politik yang dilakukan pemerintahan pusat terhadap mereka telah membuat mereka cukup geram. Namun semua itu hanya mungkin dilakukan jika atas nama islam, agama yang secara tradisi telah melekat dengan semangat dan jiwa-jiwa revolusioner orang-orang aceh.
Zulfiadi Ahmedy
Ilmu Politik FISIP Unsyiah
Jumat, 06 April 2012
Pengaruh Chosen Trauma Konflik Terhadap Demokratisasi Di Aceh
Suasana sosiologis Aceh masa DOM (daerah operasi militer) dan dan pasca DOM (1999-2005) sama seperti keadaan aceh pada 1913 pasca perang aceh (1873-1913) bahwa terdapat luka mendalam yang bersifat kejiwaan. Anthony Reid menggambarkan situasi ini sebagai kehancuran, tekanan jiwa dan sakit mental. Hidup penuh dengan kecurigaan antar masyarakat. Kuburan tanpa nama bertebaran dimana-mana, Penyiksaan menjadi tontonan biasa di tengah aktivitas masyarakat. Hukuman di luar pengadilan dan Pembantaian nyaris menjadi hal yang biasa dengan dalih penyelamatan negara. Demikian juga pasca pencabutan DOM periode 1999-2005. Ajang pembantaian baru kembali terjadi seperti tragedi simpang KKA, pembantaian arakundo dan pembantaian Tgk Bantaqiah. Pembantaian keji dan biadap yang dilakukan TNI sebagi representasi kezaliman Negara terhadap orang aceh merupakan modal kemanusiaan yang paling besar artinya bagi bangkitnya sebuah revolusi. Pembantaian pulalah yang menjadikan orang aceh kehilangan kepercayaan kepada Negara, atau pemerintah pusat dalam idiom politik mereka. Keluarga-keluarga di aceh mulai menjadi keluarga gerilya, di manapun kaphe (kafir) atau pa’i ditemukan, maka akan dituikam secara kejam dan membabi buta. Tujuannya hanya satu : untuk mencapai mati syahid membela agama dan bangsa yang diidam-idamkan orang aceh. Dalam bahasa belanda gejala ini disebut atjeh moorden atau istilah asli aceh asli disebut aceh pungo (aceh gila)
Situasi imagined community, meminjam istilah Benedict Anderson , yang dulu sangat dipertahankan aceh, tiba-tiba berubah menjadi situasi yang egois. Rakyat aceh yang paling tertekan selama berdirinya Republik Indonesia, yang dalam sebutan mereka disebut kaphe Indonesia-jawa. Sebutan ini memperlihatkan betapa tidak compatible-nya alam ideologis orang aceh dengan orang Indonesia umumnya. Konflik yang relatif lama di aceh mengakibatkan masyarakat aceh dalam kondisi keterpurukan, banyaknya kekerasan yang dialami masyarakat membuat masyarakat menyisakan trauma yang berkepanjangan.
Membangun Aceh yang demokratis pasca damai sangat sulit mengingat masih tingginya tingkat trauma konflik yang masih melekat pada masyarakat aceh, terutama mereka yang belum memperoleh keadilan. Meminjam pendapat Larry Diamong, tatanan demokrasi dapat bertahan jika ditopang oleh pondasi ekonomi dan sosial yang kuat dan pondasi politik yang kuat pula. MoU perdamaian yang disepakati oleh GAM dan RI di Helsinki pada 15 Agustus 2005 menjadi harapan baru bagi aceh untuk menbangun pondasi demokrasi yang kuat tersebut. Ini menjadi momentum awal dari sebuah harapan selama ini, hidup damai sejahtera dan mendapatkan haknya sebagai warga negara secara demokratis. Jika masih ada trauma yang yang ditinggalkan konflik yang kemudian tidak diproses kebenaran dan keadilannya, membuat elit kehilangan kepercayaan dari masyarakat, ini memicu rusaknya pondasi demokrasi di aceh secara mendasar.
Kita semua berharap akan adanya perbaikan chossen trauma konflik yang melekat pada kehidupan masyarakat aceh dan menjadi pengaruh positif untuk sebuah perkembangan demokratisasi di aceh pasca MoU Helsinki. Masalah tersebut harus diperhatikan oleh para kandidat "penguasa" Aceh yang akan dipilih pada pemilukada Aceh tahun ini agar Proses perdamaian yang berlangsung di Aceh diharapkan sesuai dengan keinginan masyarakat agar demokrasi berjalan dengan baik.
Daftar Bacaan
Budiarjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama (Anggota IKAPI)
Davidson, Gerald C, dkk. 2006. Psikologi Abnormal. Jakarta: PT Rajagravindo Persada
Harun, Muhammad. 2009. Memahami Orang Aceh. Bandung: Citapustaka Media Perintis
Sulaiman, Isa. 2000. Aceh Merdeka; Ideologi, Kepemimpinan dan Gerakan. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Varma, Sp. 2010. Teori Politik Modern. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada
Zulfiadi Ahmedy
Mahasiswa Ilmu Politik FISIP Unsyiah
Kutaradja, aceh
Sigli, Indonesia
Langganan:
Postingan (Atom)