Kata Bijak;

“Setiap manusia mempunyai kekuatan sejarah yang menyingkapkan masa lalunya. Sejarah telah mendudukkan kembali dalam ukuran yang lebih berat dan kokoh bagi yang bersangkutan dan beribu-ribu rahasia dari masa lalu terbit kembali dari lubuk yang tersembunyi dari cahaya matanya. Masih tidak ada sahabat yang tidak mengerti arti mimpi yang akan menjelma menjadi kenyataan sejarah satu saat nanti, karena terkadang masa lalu masih belum semua nampak. Banyak kekuatan yang agaknya belum kita ketahui”



-Friedrich Nietzsche

Selasa, 22 Oktober 2013

Politik Dinasti Banten dalam Perspektif Bossism dan Local Strongman

Bossism dalam pengertiannya adalah dominasi sebuah lingkungan oleh seseorang. Situasi di mana lingkungan tersebut dikontrol oleh seorang tokoh informal yang punya pengaruh yang besar. Bossism ini biasanya mempunyai kharisma yang kekuasaannya diperoleh secara alamiah dalam masyarakat dan ke-kharisma-an tersebut diturunkan secara kekeluargaan dan kemudian mendapat pengakuan yang lazim dari masyarakat sekitarnya. Bossism menggunakan aset ekonomi dan bergantung pada agen dan sumberdaya milik negara. Bossism dalam kajian yang lebih luas merupakan sistem kontrol politik yang berpusat pada tokoh kuat tunggal (bos) dan biasanya berafiliasi dengan organisasi (misalnya perusahaan kecil) yang kompleks terikat bersama oleh timbal balik dalam memperoleh keuntungan ekonomis dan meraup keuntungan pribadi, dan juga terkadang kepentingan sosial. Bossism ini berada dalam lingkaran masyarakat awam yang mempunyai ketergantungan kebutuhan pada Bos. Kemudian Bos didukung oleh masyarakat awam yang berada dalam kelas rendah, sehingga mampu mengendalikan masyarakat tersebut secara sporadis dan manipulatif untuk kepentingan pribadi. Ketergantungan kepentingan pribadi Bossism yang tidak terlepas pada kebutuhan dasar masyarakat, kemudian berujung pada terciptanya pelayanan-pelayanan informal oleh Bos kepada masyarakat tersebut. Pengendalian sebuah blok masyarakat ini memungkinkan Bos dan organisasinya untuk mengamankan nominasi dalam pemilihan umum atau pengangkatan kandidat untuk jabatan publik. Sebagai imbalan atas suara mereka, Bos menyediakan pelayanan informal, seperti menawarkan perlindungan terhadap masyarakat, bantuan akses yang mudah untuk urusan tertentu, dan penyediaan lapangan kerja dalam skala yang kecil.
Bossism, kemudian secara konseptual adalah istilah yang muncul dari pendapat bantahan Sidel atas konsep “Local Strongmen yang dikemukakan Joel Migdal. Analisa Migdal didasarkan pada studi empiris yang ditemukan pada negara postcolonial pada dekade 1970, temuan Migdal menunjukkan bahwa dalam weak state ternyata terkandung strong society yang didominasi oleh elit tradisional dan local strongmen.[1]
Setidaknya ada tiga pendapat yang diajukan oleh Migdal dalam tinjauan konsep ini. Pertama, Local Strongmen hanya dapat berdiri jika tidak terdapat kontrol sosial yang kuat, fragmentasi atas kontrol memungkinkan aktor ini dapat bergerak bebas dalam memperluas wilayah kekuasaan, termasuk 'bekerjasama' dengan elit negara ataupun birokrat lokal. Kedua, local strongmen umumnya memiliki strategi bertahan dengan menguasai hajat hidup penduduk lokal, yang berdasarkan kondisi ini ia memperoleh basis legitimasi yang kuat di kalangan grassroot. Ketiga, Local strongmen menguasai state agency dan sumber daya, sehingga agenda kebijakan merupakan hasil kompromi dengan kepentingan local strongmen, sehingga pembangunan nasional seringkali terhambat dengan eksistensi local strongmen, kasus ini banyak terjadi di negara dunia ketiga.[2]
Di sini Bossism merupakan bentuk local power broker yang memperoleh posisi monopoli terhadap kekerasan dan sumber daya ekonomi dalam wilayahnya masing-masing seperti penguasaan atas kontrak infrastruktur, kontrak pertambangan atau penebangan kayu, perusahaan transportasi atau aktifitas ekonomi ilegal termasuk diantaranya kemampuan untuk memobilisasi suara dan vote buying.[3] Konsep bossism, berbeda dari patronism, karena tingkat monopoli diperoleh melalui koersi sebagai pilar utama, dan disisi lain otoritas bos, tidak bergantung pada afeksi dan status, melainkan atas dasar hasrat untuk bertindak.
Posisi lokal strongman kemudian merupakan seseorang yang mempunyai kekuatan yang besar, khususnya seseorang yang mampu menunjukan kelebihan kekuatan sebagai salah satu bentuk modal untuk menguasai orang lain dalam sebuah lingkungan yang kecil. Lokal Strongman menggunakan kewenangan dalam posisinya untuk mempengaruhi orang lain agar tunduk kepadanya karena rasa takut. Perilaku strongman yang paling umum adalah menginstruksikan, memerintah dan mengintimidasi. Local strongman biasanya punya relasi yang kuat dengan politik representatif formal, walaupun dia tidak menduduki posisi penting atau jabatan puncak dalam suatu struktural lembaga politik. Tetapi dia punya akses yang besar dan pengaruh yang kuat dalam kelembagaan tersebut, sehingga mampu mengontrol kelembagaan tersebut. Dan pada akhirnya lokal strongman tersebut memperoleh keuntungan sosial politik yang besar dari keberadaan lembaga politik formal tertentu. Menurut kajian Olson & Mc Guire, Local Strongmen adalah para elit politik atau kelompok elit politik yang dibentuk oleh elit politik pusat di daerah dalam suatu Negara. Kemunculan local strongmen di suatu daerah harus ada perstujuan (restu) dari penguasa atau dari patron pusat yang ada di wilayah tersebut atau dari militer. Jika local strongmen ingin naik ke tingkat yang lebih tinggi, maka harus mempunyai modal kapital social, kapital ekonomi, dan kapital politik. Namun pada dasarnya, lokal strongman ini tidak menduduki jabatan puncak pada sebuah lembaga tertentu, dia hanya berada dalam lingkaran pengaruh yang punya implikasi besar terhadap lembaga tersebut, dan lokal strongman ini kemudian mengontrol dan mampu mengatur lembaga tersebut sesuai kehendaknya. Kemudian mengambil keuntungan-keuntungan pribadi, seperti mendapatkan penguasaan perusahaan di tingkat lokal tersebut, penguasaan lahan produktif, dan lain sebagainya. Terdapat letak persamaan antara keduanya, yaitu dalam proses pengamanan kepentingan-kepentingan ekonomi politik mereka. Mereka melanggengkan sistem politik dan kondisi struktural yang dapat menfasilitasi pemenuhan kepentingan-kepentingan mereka dengan cara-cara yang cenderung eksploitatif.
Politik dinasti yang terbangun di provinsi banten tidak terlepas dari pengaruh TB Chasan Sochib. Seorang jawara Banten yang ditakuti dan sangat berpengaruh di Banten, dia menguasai banyak perusaahaan kecil di tingkat lokal. Dan memimpin perkumpulan jawara yang ada di Banten. TB Chasan Sochib pun melindungi secara baik para pengikutnya. Selain itu, TB Chasan Sochib mempunyai banyak jaringan sejak Orde Baru, terutama akses pada Golkar dan Kodam Siliwangi yang berkedudukan di Provinsi Jawa Barat. Dalam hal ini, Militer dan Golkar juga berkepentingan atas kestabilan politik di Banten. Mereka membutuhkan orang lokal sebagai perpanjangan tangan di daerah. Atas kedekatannnya dengan Militer dan pemerintah, TB Chasan Sochib mampu memonopoli kesempatan bisnis yang ada di Banten (ketika masih dalam bagian Prov Jabar). Sampai akhirnya TB Chasan Sochib menguasai organisasi bisnis di Banten, seperti Kamar dagang dan industri (Kadin) Banten, dll.
Menurut penulis, TB Chasan Sochib ini merupakan Bossism yang terbangun di Banten, di mana pada awalnya TB Chasan Sochib menfokuskan kepentingannya pada aspek ekonomi. TB Chasan Sochib yang berasal dari kalangan jawara ini berhasil membangun bosissm yang kuat di Banten dengan memanfaatkan jaringan politik formal yang ada. Namun ketika reformasi terjadi, TB Chasan Sochib mampu mentransformasikan diri ke dalam struktur politik dan ekonomi yang baru. TB Chasan Sochib mampu mengorganisir kekuasaannya sehingga tidak mati tergerus arus perubahan. Bahkan TB Chasan Sochib menjadi new lokal strongmen di Banten yang menguasai arena politik, ekonomi dan sosial budaya di Banten. Jika pada awalnya dia sempat menolak wacana pemekaran Provinsi Banten karena merusak jaringan yang telah dibangunnya dengan militer dan pejabat di Jawa Barat, akan tetapi pada akhirnya dengan memutar haluan dan berperan aktif dalam proses pemekaran Provinsi Banten, dengan melihat kesempatan yang ada, TB Chasan Sochib pun menginisiasi pemekaran Provinsi Banten dari Provinsi Jawa Barat. Dan TB Chasan Sochib memperkuat posisinya di provinsi baru tersebut sehingga berhasil memperkuat posisinya sebagai lokal strongman Banten.
Maka Jika dulu TB Chasan Sochib hanya bertindak sebagai cleint kapitalis dengan jaringan Golkar dan Militer serta tidak ikut dalam mempengaruhi kebijakan politik di Jawa Barat, maka sekarang TB Chasan Sochib menjadi lokal strongman yang mampu mengatur secara aktif proses-proses perpolitikan di Banten. Sampai bahkan berhasil mendudukkan banyak keluarganya pada posisi penting di provinsi Banten, baik pada jabatan politik, sosial, enonomi dan sosial budaya. Sehingga di Banten melahirkan yang namanya politik dinasti. Walaupun tidak memegang jabatan politik secara langsung, dengan memanfaatkan posisinya sebagai lokal strongmen, dia mampu menjadikan keuntungan patronase yang ada untuk membangun politik dinasti di Banten. Hal ini menjadikan hampir semua hak akses politik ekonomi dan sosial kemasyarakatan dikuasai kelompok tertentu yang punya kedekatan dengan TB Chasan Sochib.
Kasus politik dinasti yang terjadi di Banten sangat menarik untuk dicermati, karena berasal dari proses transformasi seorang TB Chasan Sochib dari Bossism yang menjadi lokal strongmen di Banten, sehingga dengan rentetan proses panjang tersebut, terbangunlah politik dinasti kuat yang menguasai ruang lingkup politik, ekonomi dan sosial budaya di Provinsi Banten. Berdasarkan fenomena di atas, tiga pendapat Migdal dalam tinjauan lokal strongman terbukti dalam perspektif TB Chasan Sochib. Sehingga pandangan Migdal dapat dijadikan acuan konsep pokok dalam melihat kasus TB Chasan Sochib ini.



[1] John T. Sidel, Philippine Politics in Town, District, and Province: Bossism in Cavite and Cebu. The Journal of Asian Studies, Vol. 56, No. 4 (Nov., 1997), pp. 949
[2] Joel S. Migdal, Strong  Societies  and Weak States:  State-Society  Relations  and State Capabilities  in the Third World. Princeton:  Princeton  University  Press, 1988. Hlm. 238-258
[3] Antonius Made Tony Supriatma, Menguatnya Kartel Politik Para 'Bos'. Prisma Vol. 28, No. 2, Oktober 2009


Zulfiadi Ahmedy, S.IP
Postgraduate Student of Politic and Goverment Gadjah Mada University
Member of "Aceh Postgraduate Student Association in Yogyakarta" (Himpasay)
Mentmber of;sdsd
Mem

Selasa, 01 Oktober 2013

Kontekstualisasi Nasionalisme Aceh dalam Tinjauan Teoritis

Buku Imagined Communities (2008) karya Benedict Anderson menitik beratkan pada persoalan nasionalisme (paham kebangsaan). Sebagaimana yang dikemukakan bahwa bangsa adalah komunitas politis dan dibayangkan sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan. Anderson menjelaskan bahwa bagaimana nasionalisme terbangun berdasarkan kesadaran yang terbangun dari beberapa atau banyak kaum yang kemudian bersatu dan mendirikan entitas politik yang tidak terbayangkan sebelumnya. Masing-masing kaum tidak mengenal atau punya keterkaitan historis maupun kultural dengan yang lainnya, akan tetapi mereka membentuk sebuah ikatan politis yang bersifat terbatas mengikat dan mengukuhkan kedaulatannya sebagai sebuah bangsa yang baru agar bebas dari segala intervensi dari luar bangsa tersebut. Akhirnya kemudian bangsa ini dibayangkan sebagai sebuah komunitas. Biasanya kaum-kaum yang tergabung dalam komunitas terbayang ini juga mempunyai nasionalisme tersendiri jauh sebelum bangsa baru yang terbentuk seperti diutarakan Anderson. Tapi kemudian ketika tergabung dalam sebuah bangsa baru, nasionalisme ini menjadi etnonasionalism. Perubahan istilah nasionalism ke etnonasionalism merujuk pada makna yang berbeda konteksnya dan berdasarkan perspektif empirik terbentuknya sebuah entitas baru yang disebut oleh Anderson sebagai komunitas terbayang yang berwujud sebuah bangsa. Etnonasionalisme merupakan paham kebangsaan yang didasarkan pada sentimen suku, ras, agama sebagai dasarnya. Etnisitas atau semangat etnosentris kemudian dimanifestasikan ke dalam suatu entitas politik yang sering disebut dengan negara bangsa. Perspektif etnis di sebuah negara, merujuk pada kelompok-kelompok kecil yang mempunyai sejarah panjang dan budaya tersendiri dalam sebuah negara. Konsensus gerakan etnonasionalisme ini secara fundamental terletak pada problematik politisasi kebangsaan dan primordialistik daripada masalah ekonomi. Hal ini kemudian menjadi masalah baru bagi keutuhan nasionalisme, dan Anderson tidak menalaah hal tersebut secara komprehensif. Pembahasan Anderson hanya terbatas pada sub-nasionalism yang beragam di Indonesia. Anderson hanya membayangkan bangsa hegemonik baru tanpa memperhatikan bangsa yang ada sebelumnya. Dia tidak membayangkan kemudian bahwa terdapat gejala-gejala yang lebih merusak kaidah pendapatnya tentang sebuah bangsa baru sebagai komunitas terbayang ini.  
Dalam buku “Masalah Kesukubangsaan dan Integrasi Nasional” karya Koentjaraningrat tahun 1993 menyebutkan dalam prolognya bahwa “Suatu gejala penting yang terdapat  dalam berbagai peristiwa di dunia selama dua dasawarsa terakhir adalah timbulnya gerakan-gerakan etnik, dengan adanya sukubangsa-sukubangsa atau golongan-golongam etnik yang menuntut otonomi yang lebih besar –atau pun kemerdekaan- dari negara tempat mereka bermukim sebagai warganegaranya”. Dalam konteks kebangsaan yang lebih besar, gejala etnonasionalisme ini dapat pula dipandang sebagai pendefinisian rasa kebangsaan kepada ikatan-ikatan yang lebih primordialistik. Diperparah dengan sudut pandang bahwa etnonasionalisme dipandang sebagai hilangnya rasa loyalitas terhadap sebuah kesepakatan bersama untuk mendirikan entitas politik yang lebih besar. Gejala disintegrasi bangsa Indonesia dengan basis pengertian etnonasionalis dapat pula dipandang sebagai fenomena pemberontakan lokal dengan skala yang besar karena berkeinginan untuk memerdekakan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) untuk mewujudkan kembali bangsa yang pernah ada sebelumnya.
Untuk kasus di Indonesia, nasionalisme terbentuk karena akar pembentukan kesadaran kebangsaan indonesia awalnya justru terbentuk dari gerakan-gerakan etnonasionalime di nusantara. Keinginan bersama ini untuk mewujudkan sebuah bangsa baru yang kemudian disebut sebagai komunitas terbayang. Seperti yang disebutkan oleh Benedict Anderson dalam bukunya Imagined Communities (2008) bahwa bangsa adalah komunitas politis dan dibayangkan sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan. Di sini Anderson mempersepsikan nasionalisme sebagai wujud hasil budaya dari sebuah komunitas, untuk memahaminya harus dilihat bagaimana ke-nasional-an dapat muncul secara historis. Nasionalisme muncul sebagai hasil akulturasi berbagai kekuatan historis beberapa kaum, lalu diikat dengan sebuah ideologi kesadaran masing-masing kaum bahwa akan adanya sebuah rasa kepentingan bersama, dan akhirnya dibentuk suatu tatanan politis sebagai simbol persatuan sebuah komunitas baru tersebut. Kemudian semua kaum dalam bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka. Dasar ini sangat tidak kuat jika dikaji lebih lanjut untuk kasus Indonesia dikarenakan masing-masing etnis terbangun atas kerajaan-kerajaan yang pernah ada sebelum Indonesia terbentuk dan sangat menyatu dengan segala sisi kehidupan masing-masing bangsa. Sehingga primordialistik yang mengarah ke etnonasionalisme tidak serta merta hilang begitu saja hanya untuk ikatan kesatuan entitas baru. Kemudian pemahaman yang didapat dalam “Imagined Community” bahwa bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa (yang kecil sekalipun) tidak tahu dan tidak kenal dengan anggota-anggota lainnya. Pendapat Koentjaraningrat tentang permasalahan gerakan etnik yang berpengaruh terhadap integrasi nasional yang yang muncul kemudian di atas semakin memperkuat analisis sebelumnya tentang gerakan etnonasionalism yang mengancam nasionalisme, yang walaupun dasarnya etnonasionalism-lah yang membentuk dasar-dasar kekuatan nasionalism atas dasar historis yang sama secara politis. Pendapat Koenjaraningrat ini kemudian dapat menutupi sisi lemah pendapat Anderson, terutama dari sisi telaah pembentukan nasionalism dari etnasionalism yang tidak pernah disebutkan olehnya.
Dengan adanya beberapa analisis di atas, dapat dilihat bahwa sistem nasionalisme Indonesia rapuh dan sangat mudah untuk terjadinya disintegrasi. Munculnya gerakan etnonasionalism dalam beberapa dekade terakhir di Indonesia juga menunjukan bahwa tidak benar jika nasionalisme menjadi satu paham kebangsaan yang kokoh. Di sini kemudian Benedict Anderson menempatkan komunitas terbayang sebagai sebuah bangsa Indonesia dengan berbagai masalah kebangsaannya yang sangat kompleks. Kasus Aceh dan Papua menjadi contoh konkrit bahwa nasionalisme seperti yang diutarakan Benedict Anderson kurang tepat di Indonesia. Indonesia yang terdiri dari ribuan etnis pasti memiliki etnonasionalism-nya masing-masing walaupun tidak sampai terjadi disintegrasi dengan eskalasi yang besar, akan tetapi kemudian etnonasionalism berbagai daerah di Indonesia berwujud dengan aktivitas yang mengarah kepada permintaan hak secara lebih dari negara untuk kaumnya masing-masing. Etnonasionalis ini sebenarnya merupakan cara pandang yang dapat merusak ikatan nasionalisme yang lebih besar. Hal ini jelas melanggar kesepakatan-kesepakatan dari beberapa entitas politik lokal untuk membentuk suatu komunitas yang lebih besar ini dalam ikatan geopolitik yang kuat dan mapan.
Jacques Bertrand berpendapat dalam bukunya Nationalism and Ethnic Conflict in Indonesia yang diterbitkan pada 2004 bahwa letak masalah yang timbul dalam konflik etnis di Indonesia diawali oleh masalah pemahaman nasionalisme yang tidak mampu ditafsirkan secara faktual dan dinegosiasikan oleh Negara (kemudian disebut dengan Lembaga Pemerintah) terhadap etnis yang ada di Indonesia. Hal ini memicu konflik yang bersifat etnosentris yang menuntut hak lebih bahkan yang lebih ekstrim dalam keberadaanya di Indonesia sehingga menjadi awal dari disintegrasi. Faktor etnonasionalism yang memunculkan disintegrasi ini semakin diperkuat dengan realitas bahwa Lembaga Pemerintah tidak mampu menaungi kepentingan semua etnis yang ada, bahkan cenderung menafikan etnonasionalism yang membangun nasionalism. Terbangunlah sebuah pemahaman bersama yang mengikat dalam perspektif primordialistik untuk memperoleh haknya tersebut, pemahaman ini kemudian disebut dengan etnonasionalism. Lembaga negara yang kemudian menjadi sangat sentralisik memperkuat ilusi etnonasionalism di beberapa daerah. Pendapat Bertrand ini memperkuat pendapat Koentjaraningrat tentang bagaimana etnonasionalism terbentuk dan menjadi antitesa nasionalism sebagai ideologi perlawanan terhadap negara di beberapa daerah, seperti Aceh dan Papua. Walaupun hal ini menjadi absurd ketika dilihat dari perspektif kemajemukan yang membentuk bangsa Indonesia. Untuk kasus di Indonesia, etnonasionalism berevolusi dari diferensiasi etnis yang diciptakan oleh historis dan konflik masa lalu. Berbagai kerajaan-kerajaan di nusantara merasa memiliki kepentingan bersama melawan penjajah Belanda. Lalu bersepakat untuk kemudian mendirikan suatu bangsa baru atas dasar kepentingan bersama. Bangsa baru inilah yang kemudian disebut Anderson sebagai Komunitas Terbayang. Namun di sini Bertrand membiaskan pendapat Koentjaraningrat, yaitu gelaja etnonasionalism berawal dari dalam rasa primordialistik itu sendiri dan dipandang mampu membangkitkan semangat perlawanan terhadap Negara. Bertrand justru berpendapat bahwa etnonasionalisme timbul akibat penafsiran faktual yang tidak memenuhi kepentingan etnis oleh Negara itu sendiri. Letak pertemuan dua konsep ini lalu ketika simpul keberadaan negara atas etnis menjadi sentral dalam mengakomodasi seluruh kepentingan etnis tersebut. Jadi di sini nasionalisme harus menjadi perhatian penting oleh negara untuk menjadikan nasionalisme tersebut sebagai ikatan yang lebih besar bagi seluruh etnis dalam integrasi Indonesia.
Ahmad Taufan Damanik dalam bukunya “Dari Imajinasi Negara Islam ke Imajinasi Etno-Nasionalis” yang terbit pada tahun 2010 mengkaji pemikiran Hasan Tiro tentang wacana pembentukan identitas politik Aceh. Kajian Damanik ini dilakukan dengan pendekatan study linguistik, berupa penelusuran teks-teks atau bahasa yang digunakan DI/TII dan GAM (terutama kedua pemimpinnya), pendekatan ini tidak dimaksudkan untuk menafikan objek material historis yang meliputi dan melatarbelakangi sejarah perlawanan Aceh kontemporer. Damanik menyebutkan bahwa kemerdekaan Aceh, sebagai a new social imaginary, semakin mengkristal dan menghegemoni wacana politik di Aceh. Sebaliknya, wacana hegemonik ini sekaligus menandai bubarnya wacana nasionalisme Indonesia di dalam benak orang Aceh. Pendapat Damanik ini mendukung pemikiran Bennedict Anderson mengenai konsep nasionalisme yang tampaknya relevan untuk kasus etnonasionalism yang terjadi di Aceh. Bahkan Damanik mutlak menempatkan pandangan Anderson dalam kasus di Aceh, antara lain bagaimana Damanik berpandangan bahwa Hasan Tiro membayangkan sebuah komunitas baru berbentuk pemahaman kebangsaan lain dalam bingkai Indonesia. Hal ini kemudian menjadi telaah khusus Damanik dalam melihat kasus Aceh.
Nationalism yang secara antropologis disebut Anderson sebagai imagined community di mana wacana pembentukan identitas politik Aceh kemudian bertransformasi ke wacana hegemonik nasionalisme lokal. Anderson berpandangan bahwa nasionalism dipahami dengan bagaimana konsep-konsep nasionalism tersebut “telah menjadi kemenjadian sejarah, di dalam cara-cara dimana makna-maknanya telah berubah sepanjang waktu”. Ini kemudian didasarkan secara konkrit oleh Damanik dalam perspektifnya melihat kasus Aceh, Damanik mengemukakan komunitas terbayang tentang Indonesia akan sangat bergantung di dalam cara mana hubungan antara Aceh dan Indonesia diartikulasikan dan bagaimana hubungan itu berubah setiap saat. (Damanik, 2010; 17). Kemudian perspektif yang diberikan Damanik juga didasari secara kuat pada pendapat Koentjaraningrat, yaitu “suatu gejala penting yang terdapat  dalam berbagai peristiwa di dunia selama dua dasawarsa terakhir adalah timbulnya gerakan-gerakan etnik, dengan adanya sukubangsa-sukubangsa atau golongan-golongam etnik yang menuntut otonomi yang lebih besar –atau pun kemerdekaan- dari negara tempat mereka bermukim sebagai warganegaranya” (Koentjaraningrat, 1993; 1). Jadi Damanik menelaah konsep Aceh dengan didasari teori yang berbeda namun diformulasikan dengan sangat jelas dalam sebuah konsep yang tepat. Perspektif keilmuan yang tepat dalam menempatkan teori Anderson untuk konteks Aceh di mana konstelasi ideologi politik yang terus-menerus akan memengaruhi bentuk gagasan nasionalisme mau pun prakteknya di dalam kehidupan sosial politik suatu masyarakat. Konstelasi itu pula yang menyebabkannya mengalami pasang-surut yang tidak pernah henti, meski adakalanya bubar atau memecah menjadi beberapa sub-nasionalisme yang kemudian berdiri sendiri. Dengan begitu, menjadi penting untuk menelaah bagaimana identitas Aceh bertindak sebagai sebuah elemen pendukung, dan secara khusus bagaimana elemen tersebut menyediakan sebuah penafsiran, merespon dan mereaksi proses perkembangan komunitas terbayangkan tersebut.


 Rujukan Teori
Hasan Tiro, Dari Imajinasi Negara Islam ke Imajinasi Etno-Nasionalis. Ahmad Taufan Damanik, terbit tahun 2010.
Imagined Communities: Reflection on the Origin and Spread of Nationalism. Benedict Anderson, terbit tahun 2002.
Masalah Kesukubangsaan dan Integrasi Nasional. Koentjaraningrat, terbit tahun 1993.
Nationalism and Ethnic Conflict in Indonesia. Jacques Bertrand, terbiat tahun 2004.



Zulfiadi Ahmedy, S.IP
Mahasiswa Pascasarjana Politik & Pemerintahan UGM Yogyakarta
Anggota Himpunan Mahasiswa Pascasarjana Aceh di Yogyakarta (Himpasay)