“Tekad bulat
melahirkan perbuatan nyata, Darussalam menuju pelaksanaan cita-cita”. Demikian
goresan emas sarat makna yang kini berdebu dan terukir bisu pada monumen
Kopelma Darussalam.
Sungguh merisaukan hati mengamati dinamika kehidupan
perguruan tinggi kita sekarang. Betapa tidak, pusat akademis selama ini yang menjadi tolak ukur dari kehidupan ideal masyarakat
justru berbalik 180 derajat, fenomena negatif yang terjadi dalam masyarakat justru berbalik tertuju pada kampus.
Betapa pengelolaan lembaga pendidikan tinggi kita sedang
mengalami komplikasi “penyakit kronis”, transparansi dan akuntabilitas
pengelolaan anggaran yang lemah, arogansi elit kampus dalam pengambilan dan
pelaksanaan kebijakan, indikasi nepotisme dalam proses rekrutmen pegawai,
birokrasi pelayanan publik yang tidak professional dan
carut-marut, tanggung jawab pengajar yang lemah terhadap tugas, bahkan indikasi
politisasi aset dasar peradaban bangsa, ditambah dengan berbagai konflik internal seperti perebutan kekuasaan
dalam lingkungan Universitas dan Fakultas.
Banyak demonstrasi
untuk menyuarakan kekecewaannya terjadi di Unsyiah yang notabene adalah “jantong
hatee” rakyat Aceh. Isu yang diangkat mulai dari tuntutan dosen agar kembali ke
kampus, protes dan pemboikotan kenaikan SPP, menuntut transparansi dan
akuntabilitas pengelolaan keuangan, sampai yang terakhir adalah menolak politisasi
kampus. Para Dosen pun ikut terbawa suasana yang agak
politis sehingga mulai memposisikan diri dalam beberapa kubu tertentu dan mempengaruhi
mahasiswa untuk ikut dalam lingkaran setan yang dibangunnya. Di sini kemudian letak
awal dari berbagai permasalahan dasar yang menjadi bola-bola salju yang membesar
dan sulit untuk dihancurkan secara pelan.
Isu-isu tertentu yang berkembang dalam
lingkaran elitte kampus menjadi booming dan dianggap sebagai pemicu konflik
elitte. Kemudian penentangan terhadap kebijakan atasan yang dianggap
diskriminatif juga memperburuk hubungan antara pejabat Kampus yang berakibat
pada stagnannya proses pembanguan karakter pada intelektual.
Sebenarnya masih
banyak cara yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan permasalahan. Mulai dengan
obrolan ringan non formal, surat kepedulian melalui kotak-kotak saran, surat
resmi lembaga mahasiswa, dialog, pengiriman delegasi untuk audiensi atau
publikasi melalui media massa untuk sekedar pressure. Fenomena
demonstrasi atau politisasi isu terhadap elit (penguasa) kampusnya, mengindikasikan cara mencari
solusi di atas sudah tidak efektif lagi. Selama masih memiliki itikad baik,
maka demonstrasi tidak perlu terjadi. Karena demonstrasi adalah langkah
terakhir (last step) dalam menyuarakan
aspirasi.
Ironisnya lagi, saat gerakan-gerakan mahasiswa atau dosen-dosen yang idealis menuntut perbaikan, direspon dengan sikap anti-kritik (antipati),
malah diancam dengan sanksi akademik. Kita bersedih sekaligus tertawa
dibuatnya. Diingatkan untuk lebih baik kok
marah? Salah besar, jika aksi, kritik dan gagasan konstruktif dicurigai,
dianggap ancaman dan harus disingkirkan. Karena upaya pengekangan terhadap
gerakan resolutif adalah proses pembodohan dan pembunuhan karakter. Sifat kritis-konstruktif
mesti dibangun menjadi karakter intelektual. Seharusnya mereka diarahkan menuju
pembangunan karakter (Character Building)
tersebut. Tentunya dalam mengasah intelektualitasnya melalui kritik-kritik sosial
yang beretika.
Ada beberapa
resolusi menurut penulis, Pertama terbukanya akses
mendapatkan informasi terhadap asset dan anggaran dengan penerapan
transparansi dan akuntabilitas pengelolaannya. Semua pihak dimungkinkan untuk
mendapatkan informasi, yang bagi pengelola kampus kita di Aceh masih dianggap
“teritorial” kekuasaan yang tertutup untuk umum. Akses untuk memperoleh
informasi ini secara otomatis berfungsi pengawasan bersama (public controlling). Sehingga setiap
ada kesalahan (penyimpangan) bisa langsung diperbaiki bersama.
Kedua, terdapat ruang partisipasi untuk
para pihak dalam setiap perumusan dan pengambilan kebijakan. Sehingga, setiap
kebijakan yang diputuskan bisa mengakomodir hak dan kebutuhan semua pihak. Hal
ini akan membentuk dan membangun tanggung jawab bersama dalam implementasi dan
pengawasannya. Sekaligus berfungsi sebagai sosialisasi kebijakan. Di sini kemudian menjadi awal dari sebuah kebersamaan untuk proses pembangunan
karakter yang baik dan mampu menghargai perbedaan.
Ketiga, karakteristik pro kritik dan
i’tikad baik dalam menyelesaikan permasalahan. Hemat penulis, setiap ada pemasalahan,
upaya penyelesaiannya tidak sampai pada last
step penyampaian aspirasi, yaitu demonstrasi mahasiswa terhadap kampusnya
sendiri. Sehingga tidak menjadi preseden buruk bagi dinamika demokrasi dalam
ranah kampus, “rumahnya” para intelektual.
Selama belum ada partisipasi para
pihak dalam perumusan dan pengambilan kebijakan, belum siap menerima kritik
serta itikad baik untuk menyelesaikan masalah. Maka kita yakin, masih akan ada
demonstrasi selanjutnya di “Jantung hati” masyarakat Aceh atau kampus-kampus
daerah lainnya. Dan energi pergerakan masih akan terkuras untuk menuntut perbaikan kampusnya
sendiri, yang seyogyanya dipakai untuk menyuarakan kepentingan masyarakat. Setiap
tindakan egois individual yang dipraktekkan dalam pengelolaan lembaga
pendidikan tinggi adalah proses penghilangan jati diri intelektual dan
merupakan proses penghancuran yang sistematis terhadap sebuah peradaban.
Sejatinya, lembaga pendidikan tinggi
adalah barometer alam demokrasi yang menjadi teladan bagi lembaga-lembaga lain,
khususnya lembaga pemerintahan. Kampus dengan tradisi intelektual yang
independen menjadi hilang ruhnya, saat pengelolaannya tidak lagi mencerminkan
kehidupan demokrasi yang berbasis akademik, sosial dan spiritual. Lalu, monumen
Kopelma Darussalam hanyalah seonggok batu pualam yang makin berdebu dan
kehilangan makna.
Dan mari kita berharap untuk dapat
merealisasikan goresan emas pada monumen Kopelma Darussalam. Menurut penulis, mengembalikan
kejayaan Darussalam tidak mesti mengikuti ambisi untuk menjadi yang paling
atas, tapi cukup dengan memperbaiki apa yang selama ini dianggap perlu
perbaikan di dalam kampus kita sendiri dengan saling mendengar, menyediakan
kebutuhan subtantif dari pengembangan intelektualitas itu sendiri dan yang
paling penting adalah mengedepankan ego sosial daripada ego pribadi, maka
dengan itu Penulis yakin kita semua dapat mengembalikan kejayaan darussalam
bersama-sama, dan kampus “Jantong Hatee” kembali menjadi lembaga intelektual
kepercayaan dan patut dibanggakan oleh masyarakat Aceh, semoga..