Kata Bijak;

“Setiap manusia mempunyai kekuatan sejarah yang menyingkapkan masa lalunya. Sejarah telah mendudukkan kembali dalam ukuran yang lebih berat dan kokoh bagi yang bersangkutan dan beribu-ribu rahasia dari masa lalu terbit kembali dari lubuk yang tersembunyi dari cahaya matanya. Masih tidak ada sahabat yang tidak mengerti arti mimpi yang akan menjelma menjadi kenyataan sejarah satu saat nanti, karena terkadang masa lalu masih belum semua nampak. Banyak kekuatan yang agaknya belum kita ketahui”



-Friedrich Nietzsche

Selasa, 22 Oktober 2013

Politik Dinasti Banten dalam Perspektif Bossism dan Local Strongman

Bossism dalam pengertiannya adalah dominasi sebuah lingkungan oleh seseorang. Situasi di mana lingkungan tersebut dikontrol oleh seorang tokoh informal yang punya pengaruh yang besar. Bossism ini biasanya mempunyai kharisma yang kekuasaannya diperoleh secara alamiah dalam masyarakat dan ke-kharisma-an tersebut diturunkan secara kekeluargaan dan kemudian mendapat pengakuan yang lazim dari masyarakat sekitarnya. Bossism menggunakan aset ekonomi dan bergantung pada agen dan sumberdaya milik negara. Bossism dalam kajian yang lebih luas merupakan sistem kontrol politik yang berpusat pada tokoh kuat tunggal (bos) dan biasanya berafiliasi dengan organisasi (misalnya perusahaan kecil) yang kompleks terikat bersama oleh timbal balik dalam memperoleh keuntungan ekonomis dan meraup keuntungan pribadi, dan juga terkadang kepentingan sosial. Bossism ini berada dalam lingkaran masyarakat awam yang mempunyai ketergantungan kebutuhan pada Bos. Kemudian Bos didukung oleh masyarakat awam yang berada dalam kelas rendah, sehingga mampu mengendalikan masyarakat tersebut secara sporadis dan manipulatif untuk kepentingan pribadi. Ketergantungan kepentingan pribadi Bossism yang tidak terlepas pada kebutuhan dasar masyarakat, kemudian berujung pada terciptanya pelayanan-pelayanan informal oleh Bos kepada masyarakat tersebut. Pengendalian sebuah blok masyarakat ini memungkinkan Bos dan organisasinya untuk mengamankan nominasi dalam pemilihan umum atau pengangkatan kandidat untuk jabatan publik. Sebagai imbalan atas suara mereka, Bos menyediakan pelayanan informal, seperti menawarkan perlindungan terhadap masyarakat, bantuan akses yang mudah untuk urusan tertentu, dan penyediaan lapangan kerja dalam skala yang kecil.
Bossism, kemudian secara konseptual adalah istilah yang muncul dari pendapat bantahan Sidel atas konsep “Local Strongmen yang dikemukakan Joel Migdal. Analisa Migdal didasarkan pada studi empiris yang ditemukan pada negara postcolonial pada dekade 1970, temuan Migdal menunjukkan bahwa dalam weak state ternyata terkandung strong society yang didominasi oleh elit tradisional dan local strongmen.[1]
Setidaknya ada tiga pendapat yang diajukan oleh Migdal dalam tinjauan konsep ini. Pertama, Local Strongmen hanya dapat berdiri jika tidak terdapat kontrol sosial yang kuat, fragmentasi atas kontrol memungkinkan aktor ini dapat bergerak bebas dalam memperluas wilayah kekuasaan, termasuk 'bekerjasama' dengan elit negara ataupun birokrat lokal. Kedua, local strongmen umumnya memiliki strategi bertahan dengan menguasai hajat hidup penduduk lokal, yang berdasarkan kondisi ini ia memperoleh basis legitimasi yang kuat di kalangan grassroot. Ketiga, Local strongmen menguasai state agency dan sumber daya, sehingga agenda kebijakan merupakan hasil kompromi dengan kepentingan local strongmen, sehingga pembangunan nasional seringkali terhambat dengan eksistensi local strongmen, kasus ini banyak terjadi di negara dunia ketiga.[2]
Di sini Bossism merupakan bentuk local power broker yang memperoleh posisi monopoli terhadap kekerasan dan sumber daya ekonomi dalam wilayahnya masing-masing seperti penguasaan atas kontrak infrastruktur, kontrak pertambangan atau penebangan kayu, perusahaan transportasi atau aktifitas ekonomi ilegal termasuk diantaranya kemampuan untuk memobilisasi suara dan vote buying.[3] Konsep bossism, berbeda dari patronism, karena tingkat monopoli diperoleh melalui koersi sebagai pilar utama, dan disisi lain otoritas bos, tidak bergantung pada afeksi dan status, melainkan atas dasar hasrat untuk bertindak.
Posisi lokal strongman kemudian merupakan seseorang yang mempunyai kekuatan yang besar, khususnya seseorang yang mampu menunjukan kelebihan kekuatan sebagai salah satu bentuk modal untuk menguasai orang lain dalam sebuah lingkungan yang kecil. Lokal Strongman menggunakan kewenangan dalam posisinya untuk mempengaruhi orang lain agar tunduk kepadanya karena rasa takut. Perilaku strongman yang paling umum adalah menginstruksikan, memerintah dan mengintimidasi. Local strongman biasanya punya relasi yang kuat dengan politik representatif formal, walaupun dia tidak menduduki posisi penting atau jabatan puncak dalam suatu struktural lembaga politik. Tetapi dia punya akses yang besar dan pengaruh yang kuat dalam kelembagaan tersebut, sehingga mampu mengontrol kelembagaan tersebut. Dan pada akhirnya lokal strongman tersebut memperoleh keuntungan sosial politik yang besar dari keberadaan lembaga politik formal tertentu. Menurut kajian Olson & Mc Guire, Local Strongmen adalah para elit politik atau kelompok elit politik yang dibentuk oleh elit politik pusat di daerah dalam suatu Negara. Kemunculan local strongmen di suatu daerah harus ada perstujuan (restu) dari penguasa atau dari patron pusat yang ada di wilayah tersebut atau dari militer. Jika local strongmen ingin naik ke tingkat yang lebih tinggi, maka harus mempunyai modal kapital social, kapital ekonomi, dan kapital politik. Namun pada dasarnya, lokal strongman ini tidak menduduki jabatan puncak pada sebuah lembaga tertentu, dia hanya berada dalam lingkaran pengaruh yang punya implikasi besar terhadap lembaga tersebut, dan lokal strongman ini kemudian mengontrol dan mampu mengatur lembaga tersebut sesuai kehendaknya. Kemudian mengambil keuntungan-keuntungan pribadi, seperti mendapatkan penguasaan perusahaan di tingkat lokal tersebut, penguasaan lahan produktif, dan lain sebagainya. Terdapat letak persamaan antara keduanya, yaitu dalam proses pengamanan kepentingan-kepentingan ekonomi politik mereka. Mereka melanggengkan sistem politik dan kondisi struktural yang dapat menfasilitasi pemenuhan kepentingan-kepentingan mereka dengan cara-cara yang cenderung eksploitatif.
Politik dinasti yang terbangun di provinsi banten tidak terlepas dari pengaruh TB Chasan Sochib. Seorang jawara Banten yang ditakuti dan sangat berpengaruh di Banten, dia menguasai banyak perusaahaan kecil di tingkat lokal. Dan memimpin perkumpulan jawara yang ada di Banten. TB Chasan Sochib pun melindungi secara baik para pengikutnya. Selain itu, TB Chasan Sochib mempunyai banyak jaringan sejak Orde Baru, terutama akses pada Golkar dan Kodam Siliwangi yang berkedudukan di Provinsi Jawa Barat. Dalam hal ini, Militer dan Golkar juga berkepentingan atas kestabilan politik di Banten. Mereka membutuhkan orang lokal sebagai perpanjangan tangan di daerah. Atas kedekatannnya dengan Militer dan pemerintah, TB Chasan Sochib mampu memonopoli kesempatan bisnis yang ada di Banten (ketika masih dalam bagian Prov Jabar). Sampai akhirnya TB Chasan Sochib menguasai organisasi bisnis di Banten, seperti Kamar dagang dan industri (Kadin) Banten, dll.
Menurut penulis, TB Chasan Sochib ini merupakan Bossism yang terbangun di Banten, di mana pada awalnya TB Chasan Sochib menfokuskan kepentingannya pada aspek ekonomi. TB Chasan Sochib yang berasal dari kalangan jawara ini berhasil membangun bosissm yang kuat di Banten dengan memanfaatkan jaringan politik formal yang ada. Namun ketika reformasi terjadi, TB Chasan Sochib mampu mentransformasikan diri ke dalam struktur politik dan ekonomi yang baru. TB Chasan Sochib mampu mengorganisir kekuasaannya sehingga tidak mati tergerus arus perubahan. Bahkan TB Chasan Sochib menjadi new lokal strongmen di Banten yang menguasai arena politik, ekonomi dan sosial budaya di Banten. Jika pada awalnya dia sempat menolak wacana pemekaran Provinsi Banten karena merusak jaringan yang telah dibangunnya dengan militer dan pejabat di Jawa Barat, akan tetapi pada akhirnya dengan memutar haluan dan berperan aktif dalam proses pemekaran Provinsi Banten, dengan melihat kesempatan yang ada, TB Chasan Sochib pun menginisiasi pemekaran Provinsi Banten dari Provinsi Jawa Barat. Dan TB Chasan Sochib memperkuat posisinya di provinsi baru tersebut sehingga berhasil memperkuat posisinya sebagai lokal strongman Banten.
Maka Jika dulu TB Chasan Sochib hanya bertindak sebagai cleint kapitalis dengan jaringan Golkar dan Militer serta tidak ikut dalam mempengaruhi kebijakan politik di Jawa Barat, maka sekarang TB Chasan Sochib menjadi lokal strongman yang mampu mengatur secara aktif proses-proses perpolitikan di Banten. Sampai bahkan berhasil mendudukkan banyak keluarganya pada posisi penting di provinsi Banten, baik pada jabatan politik, sosial, enonomi dan sosial budaya. Sehingga di Banten melahirkan yang namanya politik dinasti. Walaupun tidak memegang jabatan politik secara langsung, dengan memanfaatkan posisinya sebagai lokal strongmen, dia mampu menjadikan keuntungan patronase yang ada untuk membangun politik dinasti di Banten. Hal ini menjadikan hampir semua hak akses politik ekonomi dan sosial kemasyarakatan dikuasai kelompok tertentu yang punya kedekatan dengan TB Chasan Sochib.
Kasus politik dinasti yang terjadi di Banten sangat menarik untuk dicermati, karena berasal dari proses transformasi seorang TB Chasan Sochib dari Bossism yang menjadi lokal strongmen di Banten, sehingga dengan rentetan proses panjang tersebut, terbangunlah politik dinasti kuat yang menguasai ruang lingkup politik, ekonomi dan sosial budaya di Provinsi Banten. Berdasarkan fenomena di atas, tiga pendapat Migdal dalam tinjauan lokal strongman terbukti dalam perspektif TB Chasan Sochib. Sehingga pandangan Migdal dapat dijadikan acuan konsep pokok dalam melihat kasus TB Chasan Sochib ini.



[1] John T. Sidel, Philippine Politics in Town, District, and Province: Bossism in Cavite and Cebu. The Journal of Asian Studies, Vol. 56, No. 4 (Nov., 1997), pp. 949
[2] Joel S. Migdal, Strong  Societies  and Weak States:  State-Society  Relations  and State Capabilities  in the Third World. Princeton:  Princeton  University  Press, 1988. Hlm. 238-258
[3] Antonius Made Tony Supriatma, Menguatnya Kartel Politik Para 'Bos'. Prisma Vol. 28, No. 2, Oktober 2009


Zulfiadi Ahmedy, S.IP
Postgraduate Student of Politic and Goverment Gadjah Mada University
Member of "Aceh Postgraduate Student Association in Yogyakarta" (Himpasay)
Mentmber of;sdsd
Mem