Bossism dalam pengertiannya adalah dominasi
sebuah lingkungan oleh seseorang. Situasi di mana lingkungan tersebut dikontrol oleh seorang tokoh
informal yang
punya pengaruh yang besar. Bossism ini biasanya mempunyai
kharisma yang kekuasaannya diperoleh secara alamiah dalam masyarakat dan
ke-kharisma-an tersebut diturunkan secara kekeluargaan dan kemudian mendapat
pengakuan yang lazim dari masyarakat sekitarnya. Bossism menggunakan aset ekonomi dan bergantung pada
agen dan sumberdaya milik negara. Bossism dalam kajian yang lebih luas merupakan sistem kontrol politik yang berpusat pada tokoh kuat tunggal (bos) dan biasanya berafiliasi dengan organisasi
(misalnya perusahaan kecil) yang kompleks terikat bersama oleh timbal balik dalam memperoleh keuntungan ekonomis dan meraup keuntungan pribadi, dan juga terkadang kepentingan sosial. Bossism ini berada dalam lingkaran masyarakat awam yang mempunyai
ketergantungan kebutuhan pada Bos. Kemudian Bos didukung oleh masyarakat awam
yang berada dalam kelas rendah, sehingga mampu mengendalikan masyarakat
tersebut secara sporadis dan manipulatif untuk kepentingan pribadi. Ketergantungan kepentingan pribadi Bossism yang tidak terlepas pada kebutuhan
dasar masyarakat, kemudian berujung pada terciptanya pelayanan-pelayanan informal oleh Bos kepada masyarakat
tersebut. Pengendalian sebuah blok masyarakat
ini memungkinkan Bos dan organisasinya untuk mengamankan nominasi dalam pemilihan umum atau pengangkatan kandidat untuk jabatan publik. Sebagai imbalan atas suara mereka, Bos
menyediakan pelayanan informal, seperti menawarkan perlindungan
terhadap masyarakat, bantuan akses yang mudah untuk urusan tertentu, dan
penyediaan lapangan kerja dalam skala yang kecil.
Bossism, kemudian secara
konseptual adalah istilah yang muncul dari pendapat bantahan Sidel atas konsep “Local Strongmen” yang
dikemukakan Joel Migdal. Analisa Migdal didasarkan pada
studi empiris yang ditemukan pada negara postcolonial pada dekade 1970, temuan Migdal menunjukkan bahwa dalam weak state ternyata terkandung strong society yang didominasi oleh elit
tradisional dan local strongmen.[1]
Setidaknya ada tiga pendapat yang diajukan oleh Migdal
dalam tinjauan
konsep ini.
Pertama, Local Strongmen hanya dapat berdiri jika tidak terdapat kontrol sosial
yang kuat, fragmentasi atas kontrol memungkinkan aktor ini dapat bergerak bebas
dalam memperluas wilayah kekuasaan, termasuk 'bekerjasama' dengan elit negara
ataupun birokrat lokal. Kedua, local strongmen umumnya memiliki strategi
bertahan dengan menguasai hajat hidup penduduk lokal, yang berdasarkan kondisi
ini ia memperoleh basis legitimasi yang kuat di kalangan grassroot. Ketiga, Local strongmen menguasai state agency
dan sumber daya, sehingga agenda kebijakan merupakan hasil kompromi dengan
kepentingan local strongmen, sehingga pembangunan nasional
seringkali terhambat dengan eksistensi local
strongmen, kasus ini banyak terjadi di negara dunia
ketiga.[2]
Di sini Bossism merupakan bentuk local power broker yang memperoleh posisi monopoli terhadap kekerasan dan sumber daya
ekonomi dalam wilayahnya masing-masing seperti penguasaan atas kontrak
infrastruktur, kontrak pertambangan atau penebangan kayu, perusahaan
transportasi atau aktifitas ekonomi ilegal termasuk diantaranya kemampuan untuk
memobilisasi suara dan vote buying.[3]
Konsep bossism, berbeda dari patronism, karena tingkat monopoli diperoleh melalui koersi sebagai pilar utama,
dan disisi lain otoritas bos, tidak bergantung pada afeksi dan status,
melainkan atas dasar hasrat untuk bertindak.
Posisi lokal strongman kemudian merupakan
seseorang yang mempunyai kekuatan yang besar, khususnya seseorang yang mampu
menunjukan kelebihan kekuatan sebagai salah satu bentuk modal untuk menguasai
orang lain dalam sebuah lingkungan yang kecil. Lokal Strongman menggunakan kewenangan dalam posisinya untuk
mempengaruhi orang lain agar tunduk kepadanya karena rasa takut. Perilaku strongman
yang paling umum adalah menginstruksikan, memerintah dan mengintimidasi. Local strongman biasanya punya relasi yang kuat dengan politik
representatif formal, walaupun dia tidak menduduki posisi penting atau jabatan
puncak dalam suatu struktural lembaga politik. Tetapi dia punya akses yang
besar dan pengaruh yang kuat dalam kelembagaan tersebut, sehingga mampu
mengontrol kelembagaan tersebut. Dan pada akhirnya lokal strongman tersebut
memperoleh keuntungan sosial politik yang besar dari keberadaan lembaga politik
formal tertentu. Menurut kajian Olson & Mc
Guire, Local Strongmen adalah para elit politik atau kelompok elit politik yang
dibentuk oleh elit politik pusat di daerah dalam suatu Negara. Kemunculan
local strongmen di suatu daerah harus ada perstujuan (restu) dari
penguasa atau dari patron pusat yang ada di wilayah tersebut atau dari militer.
Jika local strongmen ingin naik ke tingkat yang lebih tinggi, maka harus
mempunyai modal kapital social, kapital ekonomi, dan kapital politik. Namun
pada dasarnya, lokal strongman ini tidak menduduki jabatan
puncak pada sebuah lembaga tertentu, dia hanya berada dalam lingkaran pengaruh
yang punya implikasi besar terhadap lembaga tersebut, dan lokal strongman ini
kemudian mengontrol dan mampu mengatur lembaga tersebut sesuai kehendaknya.
Kemudian mengambil keuntungan-keuntungan pribadi, seperti mendapatkan
penguasaan perusahaan di tingkat lokal tersebut, penguasaan lahan produktif,
dan lain sebagainya. Terdapat letak persamaan antara keduanya, yaitu dalam
proses pengamanan kepentingan-kepentingan ekonomi politik mereka. Mereka melanggengkan
sistem politik dan kondisi struktural yang dapat menfasilitasi pemenuhan
kepentingan-kepentingan mereka dengan cara-cara yang cenderung eksploitatif.
Politik dinasti yang terbangun di provinsi banten tidak terlepas dari
pengaruh TB Chasan Sochib. Seorang jawara Banten yang ditakuti dan sangat berpengaruh di Banten, dia menguasai
banyak perusaahaan kecil di tingkat lokal. Dan memimpin perkumpulan jawara yang
ada di Banten. TB Chasan Sochib pun melindungi secara
baik para pengikutnya. Selain itu, TB Chasan Sochib mempunyai banyak
jaringan sejak Orde Baru, terutama akses
pada Golkar dan Kodam Siliwangi yang berkedudukan di Provinsi Jawa Barat. Dalam
hal ini, Militer dan Golkar juga berkepentingan atas kestabilan politik di Banten.
Mereka membutuhkan orang lokal sebagai perpanjangan tangan di daerah. Atas kedekatannnya
dengan Militer dan pemerintah, TB Chasan Sochib mampu memonopoli kesempatan bisnis yang ada di Banten (ketika masih dalam
bagian Prov Jabar). Sampai akhirnya TB Chasan Sochib menguasai organisasi bisnis di Banten, seperti Kamar dagang
dan industri (Kadin) Banten, dll.
Menurut penulis, TB Chasan
Sochib ini merupakan Bossism
yang terbangun di Banten, di mana pada awalnya TB Chasan
Sochib menfokuskan kepentingannya pada aspek ekonomi. TB Chasan Sochib yang berasal dari kalangan jawara ini berhasil membangun
bosissm yang kuat di Banten dengan memanfaatkan jaringan politik formal yang
ada. Namun ketika reformasi terjadi, TB Chasan
Sochib mampu mentransformasikan diri ke dalam struktur politik
dan ekonomi yang baru. TB Chasan Sochib mampu mengorganisir
kekuasaannya sehingga tidak mati tergerus arus perubahan. Bahkan TB Chasan Sochib menjadi new lokal
strongmen di Banten yang menguasai arena politik, ekonomi dan sosial budaya
di Banten. Jika pada awalnya dia sempat menolak wacana pemekaran Provinsi
Banten karena merusak jaringan yang telah dibangunnya dengan militer dan pejabat
di Jawa Barat, akan tetapi pada akhirnya dengan memutar haluan dan berperan
aktif dalam proses pemekaran Provinsi Banten, dengan melihat kesempatan yang
ada, TB Chasan Sochib pun menginisiasi
pemekaran Provinsi Banten dari Provinsi Jawa Barat. Dan TB Chasan Sochib memperkuat posisinya di provinsi baru tersebut sehingga
berhasil memperkuat posisinya sebagai lokal
strongman Banten.
Maka Jika dulu TB Chasan
Sochib hanya bertindak sebagai cleint kapitalis dengan jaringan Golkar dan Militer serta tidak
ikut dalam mempengaruhi kebijakan politik di Jawa Barat, maka sekarang TB Chasan Sochib menjadi lokal strongman
yang mampu mengatur secara aktif proses-proses perpolitikan di Banten. Sampai
bahkan berhasil mendudukkan banyak keluarganya pada posisi penting di provinsi Banten,
baik pada jabatan politik, sosial, enonomi dan sosial budaya. Sehingga di Banten
melahirkan yang namanya politik dinasti. Walaupun tidak memegang jabatan
politik secara langsung, dengan memanfaatkan posisinya sebagai lokal strongmen, dia mampu menjadikan
keuntungan patronase yang ada untuk membangun politik dinasti di Banten. Hal ini
menjadikan hampir semua hak akses politik ekonomi dan sosial kemasyarakatan
dikuasai kelompok tertentu yang punya kedekatan dengan TB Chasan Sochib.
Kasus politik dinasti yang terjadi di Banten sangat
menarik untuk dicermati, karena berasal dari proses transformasi seorang TB Chasan Sochib dari Bossism yang
menjadi lokal strongmen di Banten, sehingga dengan rentetan proses panjang tersebut,
terbangunlah politik dinasti kuat yang menguasai ruang lingkup politik, ekonomi
dan sosial budaya di Provinsi Banten. Berdasarkan fenomena di atas, tiga
pendapat Migdal dalam tinjauan lokal strongman terbukti dalam perspektif TB Chasan Sochib. Sehingga pandangan
Migdal dapat dijadikan acuan konsep pokok dalam melihat kasus TB Chasan Sochib
ini.
[1] John T.
Sidel, Philippine Politics in Town,
District, and Province: Bossism in Cavite and Cebu. The Journal of Asian
Studies, Vol. 56, No. 4 (Nov., 1997), pp. 949
[2]
Joel S. Migdal, Strong Societies
and Weak States:
State-Society Relations and State Capabilities in the Third World. Princeton: Princeton
University Press, 1988. Hlm.
238-258
[3]
Antonius Made Tony Supriatma, Menguatnya
Kartel Politik Para 'Bos'. Prisma Vol. 28, No. 2, Oktober 2009
Zulfiadi Ahmedy, S.IP
Postgraduate Student of Politic and Goverment Gadjah Mada University
Member of "Aceh Postgraduate Student Association in Yogyakarta" (Himpasay)
Mentmber of;sdsd
Mem