Kata Bijak;

“Setiap manusia mempunyai kekuatan sejarah yang menyingkapkan masa lalunya. Sejarah telah mendudukkan kembali dalam ukuran yang lebih berat dan kokoh bagi yang bersangkutan dan beribu-ribu rahasia dari masa lalu terbit kembali dari lubuk yang tersembunyi dari cahaya matanya. Masih tidak ada sahabat yang tidak mengerti arti mimpi yang akan menjelma menjadi kenyataan sejarah satu saat nanti, karena terkadang masa lalu masih belum semua nampak. Banyak kekuatan yang agaknya belum kita ketahui”



-Friedrich Nietzsche

Kamis, 16 Agustus 2012

Radikalisme Agama Sebagai Tantangan Keislaman, Kebangsaan dan Kemodernan

Radikalisme agama adalah paham keyakinan yang cenderung melegalkan konsep ekstrimitas pada setiap pemikiran dan tindakannya dalam kehidupan bermasyarakat. Radikalisme agama merupakan paham lama yang berkembang dan sering digunakan atas dasar untuk melakukan tindakan tertentu dengan dalih pembelaan terhadap agama. Paham ini menjadi tantangan bagi islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin, dan menghambat proses pembaharuan, baik konsepsi pemikiran, infrasturktur maupun pada konsep-konsep perubahan, serta memicu konflik yang mengarah pada perpecahan bangsa sehingga dapat mengganggu stabilitas kebangsaan indonesia sebagai negara yang berdaulat.
Pada dasarnya, radikalisme dalam penganut keyakinan beragama biasanya lahir dari orang-orang konservatif ataupun dari paham tradisionalis, dimana mereka mempertahankan sikap-sikap keyakinan yang menurut mereka tidak boleh diotak-atik ataupun tidak boleh dimasuki oleh pengaruh-pengaruh keyakinan lain. Saat ini radikalisme cenderung lahir dari orang yang tidak ingin melakukan perubahan dalam tatanan kehidupan masyarakat tertentu. Mereka tidak puas dengan keadaan yang ada ataupun merasa termarginalkan oleh pihak-pihak tertentu, termasuk di dalamnya pemerintah yang sah1. Sehingga satu-satunya cara untuk menunjukan kekuatan (show forces) adalah dengan melegalkan tindakan- tindakan yang agak ekstrim dalam kehidupan masyarakat, contoh misalnya terorisme. Dalam ilmu politik mereka dapat disebut dengan kelompok anomi2. Ada juga yang bertindak dengan menyebarkan isu-isu yang langsung mendeskritkan golongan tertentu, sehingga tergambarkan bahwa agama tersebut bersifat ortodoks. Akibatnya timbul paham bahwa pada konteksnya agama yang benar adalah agama yang tidak melakukan pembaharuan secara konsepsional. Dan hal tersebutlah yang nantinya akan menjadi dasar perubahan dalam kehidupan bermasyarakat suatu golongan yang terpengaruh untuk hidup berdasarkan konsep keyakinan yang lahir pada golongan mereka akibat dari perbenturan ideologi perubahan tersebut.
Sebuah tantangan bagi islam bahwa radikalisasi agama merupakan cara jitu untuk memecah-belah persaudaraan antar umat beragama, memunculkan stigma bahwa konsepsi beragama tidak lebih hanya sebatas melakukan ritual ibadah mahdhah saja, karena pada satu sisi agama hanya bersifat monumental. Sehingga timbul klaim-klaim bahwa golongan tertentulah yang paling benar dalam beragama dan terkadang bahkan melabelkan golongan lain di luar mereka. Proses-proses untuk menunjukan eksistensi mereka cenderung menghalangi orang untuk melakukan pembaharuan dalam bermasyarakat atau dipaksa melawan untuk melakukan suatu perubahan dengan cara ekstrim. Akibatnya adalah muncul pembatasan tertentu, terutama pada golongan yang berpaham berbeda dengan ideologi mereka.

Pembaharuan yang didasari modernitas juga menjadi objek cemoohan bagi golongan radikalisme ini, karena dianggap menanamkan paham barat (westernisasi) dengan memanfaatkan kondisi global. Maka mereka juga beranggapan bahwa proses ini menjadi salah satu faktor yang merusak agama, sehingga agama harus dibela dengan cara dicegah dan dibasmi. Konsep modernitas yang dipahami secara sempit inilah yang sebenarnya mengakibatkan konseptual pembaharuan tidak mampu berjalan dengan keadaan masyarakat, bahkan menyulut api konflik baru di kalangan masyarakat. Kondisi kekinian indonesia juga cenderung terpecah, terutama yang didasari pada tingkat golongan paham keyakinan beragama. Paham kebangsaan yang dianut tudak mampu meredam semua perbedaaan, karena perbedaan yang timbul begitu mendasar dan menyakiti sebagian golongan. Sehingga timbul pemikiran bahwa harus ada pemikiran baru yang dapat merubah semuanya.
Kontroversi radikalisme agama memang sangat menarik jika kita kaji lebih jauh, terdapat nilai plus minus yang timbul dari pembahasan tersebut. Bahkan jika terkait dengan konteks keislaman, kemodernan dan keindonesiaan. Radikalisme yang menlegalkan cara-cara kekerasan dalam memenuhi keinginan atau kepentingan inilah yang harus dihindari, bahkan kalau perlu dilenyapkan karena jelas-jelas kehadirannya hanya menjadi sampah peradaban.

Banyak peristiwa kekerasan yang dilatar belakangi oleh agama selama ini, yang jelas, fenomena tersebut kian membenarkan asumsi sementara bahwa agama merupakan amunisi tambahan yang sangat ampuh untuk menciptakan tindakan- tindakan radikal, ekstrem, dan anarkis agar pihak lain yang dianggap rivalnya tidak berdaya. Perbedaan kepentingan juga terjadi dengan dalih agama. Sehingga memudahkan kelompok tersebut untuk bergerak. Dan, masih banyak teori lain yang mencoba membela posisi agama sebagai faktor yang bersifat marginal sehingga tidaklah fair menyalahkan agama sebagai pemicu kerusuhan. Meski demikian, keraguan dan pertanyaan kritis selalu saja muncul. Agama yang dalam wujudnya abstrak, namun implikasinya sangat dahsyat dan riil. Agama yang selalu menganjurkan keramahtamahan ternyata bisa memicu keberingasan dan kesewenang-wenangan, bahkan saling bantai.
Dalam kenyataannya, memang tidak ada satu kelompok agama apa pun yang immune terhadap masalah di atas. Menurut Komaruddin Hidayat, ada beberapa kemungkinan mengapa hal itu terjadi. Pertama, hampir semua agama besar dunia dilahirkan pada masyarakat tertutup dan langsung berhadapan dengan musuh. Karena itu, banyak sekali ungkapan yang secara tekstual menyatakan permusuhan dan mengutuk eksistensi agama lain. Karena teks agama dianggap suci, sementara konteks sosialnya diabaikan, maka pendekatan tekstual semata, tanpa memperhatikan konteks historisnya, bisa mengawetkan rasa permusuhan terhadap kelompok agama lain. Kedua, setiap agama menawarkan jalan keselamatan yang kemudian dipahami secara eksklusif sehingga seakan-akan hanya terdapat satu jalan menuju surga. Lebih ekstrem lagi, dengan mengutuk dan membasmi keberadaan agama lain, dianggapnya sebagai suatu kesalehan. Orang semacam ini terlalu yakin bahwa seakan hanya dirinyalah yang telah mendapat mandat dari Tuhan sebagai juru kunci surga dan dialah yang paling berhak menentukan seleksinya. Ketiga, setiap agama pada urutannya melahirkan realitas sosial berupa the community of believers. Begitu muncul sebuah komunitas dengan identitas serta ikatan atau nilai yang diyakini dan dibela secara emosional, maka saat itu pula akan muncul outsiders atau the other groups, bahkan mungkin one region one faith

Ideologi tidak mengenal lawan abadi. Segala cara dihalalkan untuk memenuhi ambisi ideologi, bahkan dengan menggunakan konsep agama. Upaya kekerasan untuk memberantasnya tidak boleh menjadi jalan satu-satunya. Tidak ada hasil maksimal dengan hanya mengandalkan jalan keras. Harus ada upaya lain dalam mengatasi radikalisme agama. Beberapa Solusi antara lain adalah:
Pertama, menampilkan Islam sebagai ajaran universal yang memberikan arahan bagi terciptanya perdamaian di muka bumi. Perlunya setiap pemimpin agama memperhatikan sistem penafsiran kitab suci agama masing-masing. Masalah terbesar dalam mengatasi radikalisme adalah bagaimana menyosialisasikan penafsiran kitab suci yang lebih kontekstual tanpa harus menurunkan nilai utama agama. Penafsiran harfiah dan literal sudah terbukti menimbulkan sifat kekerasan atas nama agama. Dan ini harus diupayakan dikurangi. Pemerintah tidak hanya menekankan dialog antar umat beragama, tetapi mempromosikan lewat Kementrian Agama untuk memanggil ahli kitab suci agar menerbitkan buku dan memperbaiki kurikulum pendidikan teologi dan agama dengan sistem penafsiran yang baik. Dapat diyakini bahwa semua permasalahan radikalisme adalah dimulai dengan bagaimana teks ditafsirkan dalam konteks kekinian. Bila teks kitab suci dimaknai secara literal, maka tidak heran radikalisme tidak akan pernah bisa dikurangi.

Kedua, sudah saatnya menumbuhkan karakter keberagamaan yang moderat, dengan cara pada penekanan kepada dialog yang lebih jujur. Kebanyakan dialog yang sering terjadi hanya untuk mereka yang sepakat. Maksudnya, dialog antar umat beragama hanya terjadi di antara mereka yang moderat. Misalnya, Kristen dengan NU yang jelas mewarisi Islam moderat, dan contoh lainnya. Tetapi bagaimana jika kita menerima tantangan Frans Magnis Suseno agar berani berdialog dengan kelompok yang radikal. Apakah mau berdialog dengan yang disebut kelompok keras? Dialog dengan kelompok ini akan membuat terjadi pemahaman yang lebih terbuka walaupun jalan ini tidak akan selancar kalau berdialog dengan kelompok moderat. Di setiap agama ada elemen-elemen fundamentalismenya.
Ketiga, perlu ada upaya pencegahan munculnya sumber radikalisme agama, seperti masalah keadilan, pendidikan dan kemiskinan. Masalah kemiskinan dan ketidakadilan harus mendapat perhatian serius di negeri ini. Ada teori yang mengatakan bahwa suburnya kelompok radikal ini akibat dari kemiskinan, sehingga pemuda mudah direkrut menjadi kelompok teroris. Bisa disetujui hal ini, walaupun di negara yang relatif makmur pun seperti di Malaysia dan Timur Tengah kelompok keras ini juga tumbuh subur. Maka, adalah kewajiban pemerintah untuk menjadikan kemiskinan sebagai hal utama dalam strategi pemerintah ke depan. Dalam beberapa isu politis, kemiskinan masih menjadi komoditas politik, dan upaya pengentasan kemiskinan belum maksimal. Masalah ketidakadilan antara lain korupsi dan penyelesaian kasus pelanggaran HAM di berbagai belahan negeri. Korupsi tidak mudah diatasi sebagaimana yang sudah diwacanakan. Dan penyelesaian kasus pelanggaran HAM tidak kunjung diselesaikan. Karena terdapat keterlibatan kaum elit dalam kedua hal tersebut di atas, maka hilanglah kepercayaan dari masyarakat. Tetapi penyelesaian kemiskinan tidak hanya tugas pemerintah, ini harus menjadi tugas semua kita.

Radikalisme tidak mudah dihilangkan, tetapi bukan hal yang mustahil. Ketegasan pemerintah terhadap kelompok radikal sudah baik dan tepat. Tetapi adalah fatal jika kita menyerahkan tugas itu hanya kepada Pemerintah saja. Ini harus menjadi tanggung jawab bersama dan perhatian kita lebih serius.


(tulisan ini merupakan Ringkasan Karya Ilmiah Penulis pada LK II HMI Nasional di Ciputat Jakarta tahun 2010)
Zulfiadi Ahmedy (joel.ahmedy@live.com)