Berbagai persoalan parah dewasa ini di bumi serambi makkah telah dilahirkan dari rahim sistem politik otoriter baik masa politik orde lama, orde baru atau orde setelahnya dengan kebijakan-kebijakan politik ala dikdator. Mulai dari menggilanya KKN, penginjakan hak-hak demokrasi, kesewenang-wenangan penggunaan kekuasaan, kerusakan budi pekerti diberbagai kalangan atasan, pembusukan moral secara besar-besaran dalam kehidupan masyarakat. Aceh mengalami kemunduran sosial terparah yang diikuti oleh berbagai kemunduran sisi lainnya ketika pemberontakan GAM pimpinan Hasan Tiro dimulai akibat dari keadaan tersebut diatas, berbagai kekerasan yang dialami masyarakat di masa konflik meninggalkan luka mendalam baik secara fisik maupun mental dan bahkan menimbulkan chossen trauma bagi generasi aceh selanjutnya.
Hal ini menjadi perhatian khusus dalam klausul Perdamaian MoU Helsinki yang memberikan harapan baru bagi aceh untuk membangun kembali peradaban yang telah hancur. MoU Helsinki yang kemudian dijabarkan lebih rinci dalam UU Republik Indonesia No 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh diharapkan menjadi rujukan utama dalam mempertahankan perdamaian, mengawal proses reintegrasi dan rekonsiliasi pihak bertikai serta menemukan fakta kebenaran dalam masa konflik. Tujuh tahun sudah perang RI – GAM selesai, banyak hal telah berubah, termasuk arti reintegrasi yang kini dipahami sebagai “uang basuh duka”. Banyak kritikan bahkan amarah dalam pengelolaan perdamaian aceh yang sejatinya dilakukan oleh semua pihak. Pasal-pasal perdamaian juga tidak lagi sering dibaca, korban pun hanya disebut dalam angka, rekonsiliasi untuk masyarakat yang mengalami luka masa silam bagai luput dari perhatian. Jika dikaji secara mendalam dan jika dicermati dengan teliti, maka akan nampak jelaslah bahwa pada dasarnya pertentangan pokok yang termanisfestasi dalam berbagai persoalan dewasa ini adalah perbentukan pola berfikir secara orde lama/orde baru atau sistem politik otoriter yang berhadapan dengan pola berfikir pro-HAM, pro-kemanusiaan, pro-rakyat, pro-reformasi, dan pro-referendum. Ini sedang terjadi dikalangan elite politik pemerintahan, dikalangan DPR, DPRA, DPD, elite perekonomian, kalangan militer, intelektual dan dimasyarakat luas, maka semua hal itu berimbas pada masyarakat yang terabaikan hak-haknya. Karena tidak adanya kepercayaan pada elit, timbul persepsi dari masyarakat bahwa harus menemukan sendiri solusi ideal dari semua masalah tersebut, berbagai pandangan bermunculan, bahkan timbul solusi radikal dalam memperoleh keadilan tersebut. Wajar jika kemudian masyarakat aceh dengan watak aslinya yang keras menuntut hak keadilan terhadap mereka sebagai manusia seutuhnya. Menurut Gustave Le Bon, jika keadaan arus bawah masyarakat sudah tidak direspons oleh elite, maka revolusi akan mudah tersulut.
Kesungguhan para elit dalam mempertahankan perdamaian dan mewujudkan rasa keadilan untuk seluruh rakyat aceh sangat dibutuhkan, agar masyarakat tidak melakukan tindakan yang melanggar hukum dalam menuntut hak asasinya sebagai manusia. Kemudian rasa keadilan ini menjadi pijakan awal sebuah proses rekonsiliasi dan membangun kembali peradaban aceh yang lebih baik sesuai dengan keinginan rakyat aceh.
Kata Bijak;
“Setiap manusia mempunyai kekuatan sejarah yang menyingkapkan masa lalunya. Sejarah telah mendudukkan kembali dalam ukuran yang lebih berat dan kokoh bagi yang bersangkutan dan beribu-ribu rahasia dari masa lalu terbit kembali dari lubuk yang tersembunyi dari cahaya matanya. Masih tidak ada sahabat yang tidak mengerti arti mimpi yang akan menjelma menjadi kenyataan sejarah satu saat nanti, karena terkadang masa lalu masih belum semua nampak. Banyak kekuatan yang agaknya belum kita ketahui”
-Friedrich Nietzsche